Oleh: Risimonia
Selasa (02/03/2021) presiden Jokowi resmi mencabut lampiran Perpres Nomor 10 Tahun 2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri miras. Alasannya presiden menerima masukan dari para ulama dan tokoh agama, baik MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya, provinsi maupun daerah. Banyak pihak lega terhadap keputusan presiden, sehingga dapat meredam pro kontra yang memanas dalam seminggu terakhir.
Tapi sayangnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui titik perkara masalahnya. Dicabutnya lampiran tersebut bukan berarti investasi miras stop atau menjadi illegal. Ternyata tidak. Pelarangan izin investasi miras tersebut hanya berlaku bagi pihak yang baru ingin memulai investasi. Izin investasi miras dari pemerintah sebelumnya, tetap berlaku.
Mengutip penjelasan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) yang dimuat dalam cnbcindonesia.com. Bahwa sejak Orde Lama sampai saat ini sudah ada 109 izin investasi miras pada 13 provinsi. Artinya miras masih dapat berkeliaran secara legal di negeri ini oleh pihak/perusahaan yang sudah mengantongi izin sebelum lampiran tersebut dicabut.
Tak ayal lagi maraknya kriminalitas akibat miras di negeri ini tidak akan terselesaikan. Karena memang hakikatnya legalitas miras tersebut dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan berbagai dalih yang tak rasional. Misal menambah pendapatan negara atau mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Padahal pakar ekonomi dan kesehatan menjelaskan bahwa investasi miras lebih banyak mudharatnya. Bahkan sebenarnya biaya yang harus dikeluarkan negara untuk rehabilitasi dampak negatif miras lebih besar dibandingkan pendapatan yang diterima negara.
Miras Legal, Produk Sistem Demokrasi Kapitalis
Ekonom INDEF Enny Sri Hartati menanggapi segera dicabutnya lampiran, padahal baru beberapa hari diteken. Beliau mengatakan nampak kurang adanya koordinasi pemerintah dalam membuat kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat. Bahkan seorang wapres Ma’ruf Amin pun tak tahu menahu diterbitkannya Perpres tersebut. Menurut pengakuan, Beliau tidak dilibatkan sama sekali dalam penyusunannya. (www.tribunnews.com, 4/03/2021).
Ya inilah wajah demokrasi kapitalis. Katanya dalam demokrasi : Vox populei vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tapi nyatanya keputusan pelegalan miras tersebut tak memakai persetujuan atau diskusi dari wakil rakyat. Langsung diputuskan tanpa menunggu persetujuan rakyat. Ini menunjukkan bahwa demokrasi hanyalah slogan.
Sinyalisasi pesanan dari Perpres tersebut semakin meneguhkan bahwa yang berkuasa dalam sistem demokrasi bukanlah rakyat. Tapi para pemilik modal yang berkepentingan. Tak peduli dengan rusak dan merusaknya miras bagi masyarakat dan negara. Yang terpenting pundi-pundi uang mengalir dalam saku pemilik modal. Mirisnya pemerintah ‘tunduk’ pada pemilik modal tersebut. Menjalani kepentingan mereka dengan mengatasnamakan rakyat.
Urgensi Sistem Islam Kaffah
Allah SWT berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung (QS. Al Maidah ayat 90).
Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ» (رواه مسلم)
Artinya : Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Setiap hal yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram(H.R. Muslim).
Ayat Al Quran dan hadits Rasulullah SAW di atas menjelaskan keharaman miras secara qath’i. Dalam khasanah fikih Islam, para mujtahid dan ulama sudah sepakat terkait keharamannya (muttafaq fihi). Mengkonsumsi miras termasuk dosa besar. Bahkan dalam hadits Rasulullah SAW yang lain menjelaskan ada 10 golongan yang akan mendapat dosa dari miras. Artinya keharaman miras ini sudah final. Tapi mengapa negeri yang mayoritas muslim ini melegalkan miras dan berani mengerjakan larangan Allah SWT ?
Sekuler. Penerapan syari’at Islam di negeri ini hanya diafirmasi pada ibadah ritual, pernikahan dan kematian. Tapi terkait pengaturan kehidupan publik (ekonomi, sosial, pemerintahan, pergaulan, hukum, dan sebagainya) di‘mati suri’kan. Bahkan penyuaraannya dikriminalisasi. Padahal melaksanakan syari’at Allah SWT secara parsial adalah bentuk kekufuran. Miras dilegalkan karena dianggap memiliki nilai ekonomi, walaupun jelas keharamannya. Inilah watak kapitalis.
Untuk hukum syara’ yang qath’i saja dalam sistem sekuler demokrasi kapitalis tidak diizinkan untuk diterapkan. Apatah lagi selain hukum yang qath’i. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan, bukankah ini kemaksiatan sistemik ?
Kaum muslim butuh sistem Islam bukan demokrasi kapitalis, agar syari’at Islam terterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Ini penting sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban seorang muslim dan ketaqwaan pada Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawabi. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google