Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Dalam pidatonya Presiden Joko Widodo mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk membenci produk-produk asing, serta meminta produk asing tersebut ditaruh di tempat yang sepi. Dengan begitu masyarakat menjadi konsumen yang loyal terhadap produk-produk Indonesia. Hal tersebut disampaikan dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kemendag secara virtual pada Kamis, 14/3 .
Sementara itu, menurut ekonom Universitas Indonesia yang juga direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal menganggap bahwa Indonesia belum sepenuhnya lepas dari produk asing.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), periode Januari-Desember 2020, nilai impor mencapai USD 141.568,8 juta. Di periode yang sama tahun lalu, nilai impor ada di angka 171.257,7 juta. Dan dalam data 5 tahun terakhir, nilai impor terbesar terjadi pada tahun 2018 dengan nilai impor mencapai USD 188.711,30 juta. (m.kumparan.com, 6/3/2021)
Jika dilihat secara seksama asal komoditas impor terbanyak berasal dari Cina. Dan terbanyak adalah kategori peralatan dan suku cadang telekomunikasi. Dengan angka yang cukup fantastis yaitu mencapai USD 39.634,7 juta, dalam kurun waktu Januari-Desember 2020. Artinya impor dari negeri Tirai Bambu tersebut menguasai 28 persen dari total impor nasional. Setidaknya terdapat 10 propinsi dengan impor terbanyak di Indonesia.
Bahkan dalam beberapa kasus, Indonesia menggantungkan hingga 100 persen impor kepada suatu negara terhadap komoditas tertentu. Sebut saja bawang putih. Lantas benarkah bisa benci dengan produk asing, kalau pada kenyataannya produk impor menjamur di bumi pertiwi? Bahkan saat menjelang panen raya aktivitas impor tetap berjalan.
Tidak salah dengan seruan untuk membenci produk luar negeri, namun sayangnya tidak sesuai dengan fakta yang ada. Aktivitas impor terus berlansung bahkan pada sektor vital dan strategis. Padahal impor pada sektor strategis dikhawatirkan bisa menyebabkan tidak adanya kemandirian sebuah negara. Berpotensi dikuasai oleh asing. Asumsi bahwa ini merupakan politik untuk memikat hati rakyat akhirnya muncul dibenak publik. Ya, seruan untuk membenci produk luar negeri seharusnya sejalan dan sebanding dengan usaha untuk memandirikan kemampuan dalam negeri.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang sangat luar biasa. Potensi sumber daya alam di laut maupun di darat yang terkandung di dalam bumi Indonesia tidak terhitung jumlahnya. Baik sumber daya alam mikro maupun makro. Maka tidak heran istilah,” tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” untuk menggambarkan kayanya alam nusantara. Indonesia negeri yang kaya raya memang nyata adanya.
Perlu dipahami bahwa langgengnya aktivitas impor adalah karena sistem ekonomi yang tidak berlandaskan syariat. Sistem ekonomi yang pro kepada pemilik modal sejatinya akan terus meningkatkan tsunami impor. Regulasi yang tidak jelas terkait impor, mengakibatkan menjamurnya produk impor. Untuk itu dibutuhkan negara dengan visi yang jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.
Oleh sebab itu hanya negara yang memiliki visi besar dan lengkap, dengan pengaturan yang digali dari Al Quran dan Sunah yang mampu mengatasi urusan ekspor impor. Menjalankan ekonomi syariat berdasarkan aturan Sang Pencipta, bebas dari kepentingan manusia. Ini telah terbukti 1.300 tahun lebih, berhasil meratakan kesejahteraan, dan menciptakan keadilan bagi umat.
Tidak hanya itu, pemimpin yang sadar akan perannya sebagai pelayan umat, akan menjamin agar produk dalam negeri lebih berkembang, serta memberikan dukungan dan jaminan terhadap usaha dalam negeri. Menolak berbagai tekanan global terkait perdagangan bebas yang bisa menggerus usaha rakyat dan dapat membuka jalan bagi kaum kafir untuk menguasai umat muslim.
Maka hanya keterikatan pada Islam kaffah yang mampu menuntaskan problem impor dan masalah lainnya yang terjadi pada negeri. Agar stabilitas ekonomi bisa terjamin, menciptakan kesejahteraan rakyat, serta terpenuhinya hak-hak rakyat sebagaimana mestinya. Wallahu’alam bisshawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google