Oleh: Alga Biru
Ramadhan kian mendekati ujungnya. Waktu demi waktu kita lalui dengan menunaikan ibadah puasa dan amalan-amalan sunnah dengan pahala berlipat ganda. Ramadhan tahun ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Seolah tiada henti air mata dan peringatan ditampakkan di tengah-tengah kita, mulai dari kesulitan ekonomi sampai kehilangan nyawa.
Ya, inilah tahun kedua kita menjalani bulan suci Ramadhan dalam suasana pandemi COVID19. Virus ini menular dan menjalar hingga menelan banyak korban, yang mana tak jarang adalah orang-orang yang kita kenal. Belum hilang dari ingatan kita, Syaikh Ali Jaber salah satu ulama yang berpulang ke rahmatullah setelah sempat menderita virus COVID-19.
Ustadz Tengku Zulkarnain pun mengembuskan napas terakhirnya setelah dirawat intensif di Rumah Sakit Tabrani, Pekanbaru, Riau akibat positif terpapar virus. Tokoh kelahiran Medan, Sumatera Utara, 14 Agustus 1963 ini terbilang memiliki latar belakang pendidikan serta pengalaman organisasi yang mumpuni. Beliau merupakan alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Inggris(S-1) dan sempat menjadi dosen untuk jurusan yang sama.
Sosoknya kerap melontarkan kritik tajam atas berbagai kemungkaran yang terjadi di masyarakat maupun pemerintahan. Meski tidak sedikit yang membenci, beliau tidak gentar pada hasutan dan ancaman para pembencinya. Dengan kepergian beliau, seolah kita diperingatkan akan dahsyatnya ilmu dan dakwah menegakkan amar makruf nahi mungkar ini. Jika tidak ada orang-orang yang vokal menyebarkan ilmu dan menghempaskan kemungkaran, niscaya kita akan terjerumus pada kemungkaran itu sendiri. Mau ke mana umat ini dibawa?
"Sesungguhnya Allah SWT tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan." (HR Al Bukhari nomor 98)
Bagaimana jika ulama wafat sedangkan pada merekalah kunci-kunci ilmu dan dakwah berada? Hendaknya kita memandang tanda dan peristiwa ini sebagai motivasi terbesar kita untuk segera meneruskan estafet perjuangan. Kita tidak boleh berpangku tangan dan membiarkan ilmu serta khazanah islam itu terkubur dalam kitab-kitab para ulama di perpustakaan yang megah.
Alih-alih menjadikan karya mereka bahan pajangan, saatnya kita membumikan kalimatullah yang juga diperjuangkan para ulama dari masa ke masa. Peradaban islam bukanlah pelengkap lembar-lembar nostalgia, anak-anak dan cucu-cucu kaum muslimin berhak hidup berkah di dalam naungan Islam. Bukankah selama ini kita lelah dan menderita ketika diri kita jauh dari aturan agama? Bukankah kerap kali orang-orang munafiq itu dengan seenak perutnya mencaci para ulama tanpa rasa takut sedikit pun?
Pada riwayat lain disebutkan bahwa seorang badui bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Nabi Allah, bagaimana ilmu diangkat sedangkan ada pada kami mushaf-mushaf, dan kami telah belajar darinya apa yang ada di dalamnya dan kami mengajarkan istri-istri, anak-anak dan para pembantu kami?" Rasulullah mendongakkan wajah dan beliau marah lalu bersabda, "Ini orang-orang Yahudi dan Nashrani ada pada mereka lembaran-lembaran, mereka tidak mempelajari darinya mengenai apa yang datang kepada mereka dari para nabi mereka."
Hadist ini menjadi isyarat penting bagi kita untuk tidak menyerahkan ilmu pada aspek fisik (lembaran-lembaran ilmu) semata tetapi belajar langsung secara mendalam melalui nabi dan penerusnya (ulama). Tidak bisa tidak, kita harus melakukan kaderisasi ulama dari apa-apa yang masih ditinggalkan oleh Allah Swt di depan mata. Meningkatkan aspek kuantitas dan kualitas kader, dan bagaimana mengefektifkan dakwah sehingga mampu menjangkau ke setiap lini kehidupan umat. Dakwah hendaknya meliputi setiap segemen umat baik mereka yang tinggal di kota maupun daerah terpencil, kalangan usia tua maupun muda, secara tatap muka maupun dalam jaringan (online).
Duka dan lara kita setelah kepergian para ulama selayaknya kian menguatkan kita untuk menyeriusi proyek kaderisasi dan regenerasi ulama. Bukan tidak mungkin, lewat tangan-tangan kita Allah menganugerahkan apa-apa yang telah Dia janjikan kepada hambaNya. Hadirnya khoiru ummah (umat terbaik) dalam kehidupan tidak lepas dari kesungguhan akan kaderisasi ini.
Kita secara kolektif bertanggung jawab membumikan kembali kalimat laailaahailallah, yakni dengan hadirnya para penjaga dan penyeru agama di muka bumi. Mulai sekarang, jangan remehkah halaqah-halaqah intesif, kajian-kajian kitab di pesantren, konten kreatif islami, maupun pendalaman bahasa dan makna Alquran. Semua itu jadi langkah kecil kita menuju mega proyek tegaknya Islam dan tersampaikannya dakwah. Wallahualam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google