Oleh: Dian F. Hasibuan
Pendemi menghempas banyak rencana. Semula kita optimis bahwa badai virus ini akan cepat berlalu dan hidup bisa kembali seperti sedia kala. Nyatanya, 2 tahun hampir berlalu dalam pembatasan gerak serta kabar kematian serta angka kesakitan tak kunjung berhenti.
Depresi telah menyentuh segala sisi, penurunan pendapatan dan pengangguran telah menyampiri kali pertama. Dunia pendidikan dan pekerjaan yang konon dikompensasi lewat jalur daring belum maksimal menyentuh segala potensi. Anak-anak sudah lelah di rumah terus, sedangkan orangtua mau tidak mau terus melanjutkan hidup di mana pun berada.
Sudah banyak solusi yang ditawarkan, tetapi tidak semua bisa dilakukan atau terbentur dengan banyak kepentingan. Dalam situasi di mana orang mengambil kesempatan dalam kesempitan, wajar timbul pemikiran skeptis memandang pandemi yang terjadi tak lebih dari ladang bisnis. Kendati tenaga kesehatan menolong dengan segenap rasa kemanusiaan, polarisasi sikap masyarakat tidak dapat ditepis.
Berangkat dari ketidakpercayaan masyarakat kita pada lemahnya penanganan pandemi, sikap abai dan penyangkalan hadir sebagai sikap perlawanan, miris sebenarnya. Kepercayaan masyarakat kandas setiap kali para pejabat melontarkan keluhan dan komentar pedas mereka. Misalkan saja oknum pejabat yang meminta layanan khusus dan penanganan khusus. Itu nalarnya bagaimana? Rakyat terpaksa dirawat di selasar rumah sakit akibat membludaknya angka kesakitan Covid-19.
Kenyataan di atas belum termasuk dengan fenomena pejabat menonton dan mengomentari sinetron di tengah badai pandemi sampai menjadi lelucon miris di dunia maya. Rektor UI rangkap jabatan yang akhirnya disahkan Perpress lebih lucu lagi. Presiden seolah menjilat ludahnya sendiri, yang dulunya anti kerja rangkap-rangkap begini. PP 75/2021 Pasal 39, rangkap jabatan di BUMN/BUMN hanya dilarang untuk jabatan direksi. Artinya, ada celah untuk rangkap jabatan di posisi lain karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut. Berikut perbandingan isi pasal larangan rangkap jabatan: PP 58/2013 berbunyi, Rektor dan wakil Rektor dilarang merangkap sebagai:
a. pejabat pada satuan pendidikan lain, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat.
b. pejabat pada instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah;
c. pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta;
d. anggota partai politik atau organisasi yang berafiliasi dengan partai politik; dan/atau
e. pejabat pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI
Empati, Amanah dan Tepat Sasaran
Empati adalah sifat di mana seseorang punya kecenderungan memahami perasaan orang lain. Kemampuan untuk merasakan kepentingan, kesusahan bahkan penderitaan. Secara kemanusiaan, kita diberi anugerah untuk merasakan, saling bantu dan bersikap timbal balik kepada sesama manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Al Maidah ayat 2 sebagai berikut,
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ...
Artinya: "...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. Al Maidah: 2).
Ya, tentu saja agama membatasi sikap tolong menolong hendaknya diarahkan kepada jalan kebaikan, bukan kezaliman. Seseorang yang zalim akan mendorong kerusakan dan kerakusan. Dunia bisa memenuhi kebutuhan manusia tetapi tidak dengan kerakusannya. Bahkan kita diibaratkan satu tubuh, di mana jika satu tubuh timbul rasa sakit maka tubuh lainnya bergerak merespon kesakitan tersebut. "Perumpamaan orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh tubuhnya juga akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kerasukan menggerus rasa empati. Susah lihat orang senang, senang melihat orang susah. Sifat itu diakomodir lewat jabatan dan kekuasaan. Padahal keras sekali ancaman Allah pada orang-orang yang tidak menjaga amanah dan kepemimpinannya. Sebagaimana firman Allah Subhana Wata’ala telah berfirman di dalam Al-quran surat Al-Anfal ayat 27 yang artinya; ”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhiati Allah dan juga Rasul-Nya, dan juga janganlah kamu mengkhiati amanah-amanah yang telah dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahuinya”(TQS. Surah Al-Anfal : 27).
Kita diingatkan pula beratnya kepemimpinan di pundak seseorang lewat amanah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Kamu sekalian pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggung-jawabannya tentang apa yang kamu pimpin, imam (pejabat apa saja) adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawabannya tentang apa yang dipimpinnya, dan orang laki-laki (suami) adalah pemimpin dalam lingkungan keluarganya, dan ia akan ditanya tentang apa yang ia pimpin, orang perempuan (istri) juga pemimpin, dalam mengendalikan rumah tangga suaminya, dan ia juga akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, dan pembantu rumah tangga juga pemimpin dalam mengawasi harta benda majikannya, dan dia juga akan ditanya tentang apa yang ia pimpin.” (H.R. Ahmad, Muttafaq ‘alaih, Abu Daud dan Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Apakah langkah-langkah kepemimpinan kita cenderung pada sikap yang dicintai ataukah memancing amarah Allah Swt? Takutlah kita pada pemimpin yang tidak amanah, marahlah kita jika hukum-hukum Allah diselewengkan. Jangan persulit keadaan dengan birokrasi yang berbelit-belit dan politik uang. Berikan bantuan pada orang-orang lemah sesegera mungkin. Jika memungkinkan, berikan bantuan langsung tanpa sibuk pencitraan. Sebaik-baik kepengurusan adalah dengan perbaikan sistem islam di tengah sistem hidup yang semakin tampak kerusakannya. Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google