Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
"Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya,” (TQS Al-Alaq: 3-5).
Pendidikan dan agama sejatinya suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan dalam setiap jenjang apapun berkaitan dengan agama. Agama sebagai perantara yang selalu dilibatkan dalam setiap nilai-nilai pendidikan. Dalam pendidikan mengajarkan aspek-aspek adab dan akhlak. Aspek tersebut berkaitan dalam nilai-nilai agama. Maka, keduanya sangat dibutuhkan dalam mencetak generasi yang unggul dan berkepribadian mulia.
Namun, apa jadinya jika agama dihilangkan dalam pendidikan? Siapa yang akan menjadi rujukan dalam mencapai visi pendidikan? Bukankah poin dalam pancasila maupun konstitusi mengacu pada nilai-nilai agama juga? Akan menjadi masalah apabila agama dihilangkan dalam pendidikan. Hal ini yang terjadi dalam draf peta jalan pendidikan Indonesia 2035.
Visi pendidikan 2035 yang dimuat dalam draf peta jalan pendidikan berbunyi membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Dalam visi tersebut tidak disebutkan secara tersirat frasa agama. Hanya disebutkan nilai-nilai budaya dan Pancasila.
Pernyataan tersebut menuai kontroversi dan sorotan dari ormas Islam, akademisi, hingga politikus. Bagaimana tidak, agama merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Sudah jamak bahwa setiap aspek pendidikan maupun aspek lainnya harus dikaitkan dengan agama. Agama selalu diikutsertakan dalam memetakan pendidikan bagi generasi masa depan. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nasir yang menyoroti bunyi kalimat visi pendidikan pada draf peta jalan pendidikan Indonesia. Beliau menilai hal ini bertentangan dengan konstitusi karena tidak memuat nilai agama. (detiknews, 9/3/2021)
Menyikapi hal tersebut, kita dapat merujuk pada ayat 5 pasal 31 UUD 1945 yang selalu menjunjung nilai-nilai agama. Bukankah kemerdekaan diraih karena faktor agama? Bukankah bunyi Pancasila diambil pada nilai-nilai agama juga? Namun, mengapa frasa agama hilang dalam peta jalan pendidikan? Hal ini karena kealpaan atau kesengajaan?
Meskipun peta jalan pendidikan ini masih dalam rencana, namun hal ini terkesan bahwa pemerintah terlalu alergi dengan frasa agama. Pemerintah ingin menjauhkan agama dari aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Negeri ini mayoritas muslim, namun ajaran agamanya tidak tampak ke permukaan. Bahkan merasa alergi menggunakan kata agama dalam kehidupan. Jamak begitu meningkatnya kasus pelecehan dalam instansi pendidikan. Karena jauhnya nilai-nilai agama yang seharusnya dijadikan standar dalam aspek kehidupan.
Tidak berhenti sampai di sana, pemerintah saat ini tengah menyuarakan gagasan moderasi beragama. Sepintas gagasan ini terdengar bagus karena tertera point agama yang bersanding dalam kata moderasi tersebut. Namun, seyogyanya makna dari moderasi beragama merupakan gagasan yang menempatkan semua agama sama dan setimbang.
Arah moderasi beragama ini mengikuti arah Barat, yaitu mengikuti segala kebijakan dan pesanan yang dibuat oleh Barat. Meskipun konteksnya beragama, namun agama yang dimaksud bukanlah Islam. Dalam hal ini, Barat ingin menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi. Termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, menerima sumber-sumber hukum non-sektarian, bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan, hingga merekrut para intelektual dan generasi saat ini untuk menerima gagasan tersebut.
Moderasi beragama dibuat untuk menggoyangkan dan melemahkan Islam. Seperti komentar Snouck Hurgronje,
" Jika tidak bisa membuat umat Islam meninggalkan Islam, buat mereka tidak melaksanakan Syariatnya".
Jamak jika Barat terus menyuarakan gagasan ini. Sekalipun mereka tidak dapat membuat masyarakat meninggalkan Islam, mereka akan membuat kebijakan dan aturan yang membuat masyarakat jauh dari syariat (aturan Islam). Mulai dengan cara mengubah kurikulum, pembaruan buku-buku ajar dengan menghilangkan nilai-nilai agama, penyusunan buku moderasi agama, hingga tayangan yang jauh dari agama.
Akan seperti apa generasi saat ini jika agama ditiadakan dalam peta jalan pendidikan. Generasi akan semakin sekuler dan liberal. Bahkan generasi seperti ini tidak dapat diharapkan untuk menjadi pembela Islam dan pembangunan peradaban mulia.
Menyikapi hal ini, sudah saatnya generasi ini dipahamkan bahwa moderasi beragama adalah paham rusak yang berasal dari Barat dan harus ditolak. Generasi saat ini harus berupaya untuk belajar memahami nilai-nilai Islam. Mereka harus terus menggaungkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat dan mengerahkan segala potensinya untuk melawan moderasi dengan menyuarakan Islam kafah.
Masyarakat harus dipahamkan dampak dengan adanya moderasi beragama tersebut. Saat Barat terus menggaungkan moderasi beragama, maka masyarakat juga terus menyuarakan Islam. Memberikan pemahaman Islam untuk seluruh masyarakat supaya moderasi tidak dapat merusak agama dan mengubah aturannya.
Tetaplah berupaya untuk tidak menghilangkan frasa agama dalam pendidikan. Bagaimana pun juga frasa agama merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, yaitu guna mencetak generasi yang berakhlak mulia dan pembangun peradaban mulia. Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google