Oleh: Linda Maulidia
Ironis memang. Di negeri yang bergelar 'Polisi Dunia' justru untuk kesekian kalinya menggemparkan seluruh penjuru alam dengan kasus kriminal yang sangat mengkhawatirkan. Kasus penembakan massal terus berulang.
Otoritas keamanan mengatakan 10 orang tewas dan tiga lainnya mengalami luka-luka ketika seorang pria melepaskan tembakan ke sebuah supermarket di Buffalo, New York, Amerika Serikat (AS). (Sindonews, 15/05/2022)
Masih dari sumber yang sama dinyatakan bahwa insiden di Buffalo adalah penembakan massal terbaru yang dimotivasi oleh apa yang dikatakan pihak berwenang sebagai kebencian rasial. Pada tahun 2020, FBI meningkatkan penilaiannya terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh ekstremis kekerasan bermotivasi rasial di AS menjadi "prioritas ancaman nasional", setara dengan tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh organisasi teroris asing terhadap negara tersebut. Direktur FBI Christopher Wray mengatakan kepada Kongres pada November 2019 bahwa sebagian besar serangan semacam itu "dipicu oleh beberapa jenis supremasi kulit putih."
Tidak lama berselang, kejadian serupa kembali terjadi. Pihak berwenang di Negara Bagian South Carolina, Amerika Serikat (AS), mengatakan pihaknya sedang menyelidiki penembakan di sebuah kelab di Hampton County yang terjadi pada Minggu, 17 April 2022, dini hari yang menyebabkan sedikitnya sembilan orang terluka. Insiden itu adalah penembakan massal ketiga di AS sepanjang akhir pekan ini.
Ketiga penembakan yang terjadi di South Carolina dan Pittsburgh, Pennsylvania itu menyebabkan dua orang di bawah umur tewas dan sedikitnya 31 orang cedera. (Tagar.id, 18/05/2022)
Dari tahun 1966 hingga 2012 ada sekitar 90 penembakan massal di Negeri Paman Sam. Sementara terminologi penembakan massal yang digunakan oleh FBI adalah minimal empat atau lebih orang tewas, penembakan bukan karena alasan kelompok tertentu seperti obat-obatan atau perseteruan antar geng serta bukan permasalah domestik atau keluarga.
90 kasus penembakan massal dia AS adalah sepertiga dari 292 total penembakan massal di seluruh dunia yang terjadi di periode yang sama. Populasi AS sendiri hanya 5% dari populasi dunia, jadi 31% penembakan massal terjadi hanya di AS sendiri.
Beberapa peneliti menemukan fakta pembunuhan massal bisa menular: Satu pembunuhan atau penembakan meningkatkan kemungkinan pelaku lain melakukannya hanya dalam waktu 2 minggu.
Insiden terjadi tiga kali lipat pada 2011-2014, menurut analisis terbaru yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health dan Northeastern University. Harvard penelitian menunjukkan bahwa penembakan massal rata-rata terjadi tiap 64 hari sekali. Selama 29 tahun sebelumnya, hanya setiap 200 hari.
Fenomena peniru lebih akut di Amerika Serikat karena pembelian senjata yang lebih mudah diakses daripada di negara-negara lain. "Akses ke senjata api adalah indikator signifikan dari insiden ini," kata Lankford.
Selain itu, faktor kesehatan jiwa juga berpengaruh. Menurut data, kebanyakan pelaku penembakan di AS memiliki catatan permasalah Kejiwaan. Namun, anehnya, angka kasus sakit jiwa tidak berbanding lurus dengan jumlah penembakan massal.
Kapitalisme Sumber Persoalan
Amerika Serikat adalah negara besar berlandaskan sistem kapitalisme. Fakta kini semakin menunjukkan semakin karut marutnya dunia semenjak kapitalisme menjadi raja yang menguasai dunia. Ibarat senjata makan tuan, konsep kebebasan yang diagungkan rupanya kini menjadi bencana besar yang membawa negara adidaya tersebut seakan di pinggir jurang.
Kebebasan yang kebablasan kini menjadi momok tersendiri bagi AS beserta negara-negara pengekornya. Kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku yang merupakan ide pokok dalam kehidupan saat ini menjadi diantara sebab kriminalitas yang kian marak. Sistem ini sendirilah yang justru membuka pintu masuknya beragam jenis kriminalitas yang mengkhawatirkan.
Kebebasan untuk memiliki senjata tajam adalah salah satunya. Warga sipil Amerika Serikat memang diperbolehkan memiliki senjata api dengan beberapa persyaratan khusus, termasuk pengecekan latar belakang kriminal.
Masalah kesehatan jiwa juga disebutkan berpengaruh dalam meningkatnya angka kriminalitas di negeri Paman Sam tersebut. Pada bulan Mei 1998, seorang remaja bernama Kinkel melakukan penembakan massal terhadap sejumlah pelajar di SMA Thurston High School di Springfield, Oregon, Amerika Serikat. Sebelum melakukan penyerangan di sekolah, Kinkel yang saat itu berusia 15 tahun terlebih dahulu menembak mati ayahnya yang sedang minum kopi. Lalu menembak ibunya di garasi setelah mengucapkan,"I love you, mom."
Lalu pada 21 Mei, dengan menggunakan Ford Explorer ibunya ia berangkat ke sekolah menengah. Kinkel menyiapkan lima senjata; dua pisau berburu, senapan, pistol Glock 19 9x19mm , dan pistol Ruger MK II kaliber .22. Dia membawa 1.127 butir amunisi. Kinkel pun mulai melakukan penembakan yang menghantam 37 siswa dan menewaskan dua orang, sebelum dibekuk sejumlah pelajar lain dan polisi.
Menurut WHO, data pengidap gangguan jiwa di seluruh dunia makin meningkat tiap tahun. Di tahun 2020 diperkirakan 264 juta orang mengidap depresi di seluruh dunia. Bahkan, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia diakibatkan oleh depresi.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan untuk di Indonesia di tahun 2019 terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi. Mengapa demikian?
Pertama Kapitalisme yang kini menjadi sistem aturan yang mendunia, berasaskan sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara yang berlandaskan pada asas ini melahirkan bangunan kehidupan yang rapuh, karena tidak dilandasi oleh akidah yang sahih.
Kedua, kapitalisme membangun pola pikir hedonisme, mengedepankan nilai materi dan prestise. Gaya hidup, mengikuti trend kekinian serta pandangan materialistik, menyebabkan tekanan tersendiri, bahkan dapat menimbulkan masalah kejiwaan
Ketiga, Fakta bahwa dalam kapitalisme, negara tidak dapat menjamin kebutuhan pokok warganya. Masyarakat dibiarkan memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri dengan prinsip survival of the fittest. Rakyat harus berpikir sendiri untuk memenuhi kebutuhan, subsidi dicabut pajak meningkat, harga barang-barang kebutuhan semakin tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan yang sulit dijangkau. Disisi lain masyarakat dipertontonkan dengan kehidupan glamor para penguasa dan pengusaha besar.
Kebencian rasial juga disinyalir menjadi alasan tindak brutal tersebut dilakukan. Kejahatan kebencian anti-Asia meningkat 150 persen selama pandemi, menurut Pusat Studi Kebencian dan Ekstremisme di California State University, San Bernardino. (merdeka.com, 19/03/2022).
Bukan hal yang mengejutkan. Sebuah masyarakat yang dibangun atas dasar kepentingan bukan karena sebuah ikatan yang kuat dan mendasar seperti akidah yang benar, maka masalah rasisme akan terus ada.
Jika demikian, bukankan telah jelas bahwa akar masalahnya adalah belum dicabutnya sistem kapitalisme yang tidak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan. Umat juga harus cepat bangun, sadar permasalahan. Dan permasalahan itu datang dari sistem hidup kapitalisme-liberalisme yang berlaku saat ini. Satu-satunya obat adalah kembali pada agama Allah yang hanif, yang sesuai fitrah manusia; Islam.
Perlu Keseriusan Negara
Sangat berbeda jika suatu negara diatur dengan aturan yang benar, terjaga keamanan dan kenyamanan rakyatnya, dan mampu melindungi rakyat dari berbagai kriminalitas.
Tahukah Anda, berapa angka kriminalitas yang terjadi dalam pemerintahan Khilafah Utsmaniyah selama berabad-abad? Menurut catatan sejarah dari Universitas Malaya Malaysia, sepanjang kurun waktu itu hanya ada sekitar 200 kasus yang diajukan ke pengadilan. Jumlah ini sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan tindak kriminalitas yang terjadi saat ini.
Untuk mengurangi angka kriminalitas, maka Khilafahlah berkewajiban memenuhi hak-hak dasar individu seperti makan, pakaian hingga tempat tinggal. Selain itu sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dana yang digunakan berasal dari zakat mal dan zakat fitrah yang diambil dari orang-orang muslim yang mampu dan kaya untuk didistribusikan kepada yang berhak salah satunya fakir miskin.
Karena kebutuhan hidup yang memang dijamin membuat angka kriminalitas kecil. Hukum islam ini sudah dipraktekan hingga 13 abad lamanya bisa menyejahterakan seluruh elemen masyarakat, baik yang muslim maupun yang non muslim. Kondisi ideal seperti ini, tentu tidak melahirkan individu-individu rapuh yang dapat menyebabkan ancaman jiwa.
Khilafah Islam dengan sistem yang datang dari Yang Maha Benar akan melahirkan masyarakat yang beradab karena kehidupan mereka sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Sistem Khilafah Islam juga menjamin kehidupan warga negaranya baik secara lahir dan batin. Tolak ukur kebahagiaannya adalah meraih Ridha Allah SWT dengan menerapkan Hukum Allah SWT secara sempurna dan menyeluruh. Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google/cnn indonesia