Oleh: Nurhayati, S.S.T.
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Penolakan kenaikan BBM terus terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Rakyat memadati Gedung Senayan Selasa lalu (6/9/2022) pada aksi demontrasi menyatakan tidak menginginkan kenaikan BBM. Di sisi lain, di dalam Gedung tersebut ada wakil rakyat sedang melakukan rapat paripurna. Ironisnya, beredar cuplikan video bahwa sedang terjadi keriuhan di dalam gedung tersebut disebabkan ada ucapan “Selamat hari ulang tahun” yang ditujukan kepada Ketua DPR RI, diikuti oleh semua anggota sidang yang turut bernyanyi bersama.
Hal ini mendapatkan kritikan dari peneliti Formappi, Lucius Karus yang mengatakan momen perayaan ulang tahun Ketua DPR Puan Maharani di rapat paripurna saat demo buruh terkait kenaikan adalah sesuatu yang memalukan. Lucius juga menyoroti wakil rakyat justru tidak memberi simpati kepada pendemo yang notabene juga sebagai rakyat yang ikut merasakan kenaikan BBM ini (detik.com, 7/9/2022).
Jika saja wakil rakyat itu mau bijaksana sedikit, seharusnya mereka menemui rakyat. Bila perlu terjadi diskusi di sana. Bukankah wakil rakyat telah dipilih oleh rakyat sebagai sarana mereka untuk menyampaikan aspirasi? Namun jika sudah seperti ini, kita patut bertanya. Wakil rakyat itu sebenarnya memperjuangkan apa dan siapa saat duduk di Gedung Senayan?
Watak Pemimpin Demokrasi: Krisis Empati
Gambaran yang terjadi di dalam dan di luar Gedung DPR RI, seharusnya menjadikan kita membuka mata dan hati bahwa elite politik negeri ini memang sedang mengalami kemiskinan, miskin akan rasa simpati terhadap penderitaan rakyat. Mereka mengaku wakil rakyat tapi justru kesulitan dan penderitaan rakyat tidak terwakilkan dalam musyawarah mereka.
Kenaikan BBM yang menjadi pukulan telak bagi rakyat di tengah kondisi sulit hari ini seharusnya menjadikan pemerintah memutar kepala bagaimana menanggulangi kemiskinan di negeri ini.
Parahnya pemegang kebijakan justru mengatakan jika BBM tidak dinaikkan justru pemerintah yang akan disulitkan. Sebenarnya, pemerintah membutuhkan rakyat hanya saat kontes politik saja, tak ubahnya meraih simpati rakyat hanya lima tahun sekali. Setelah terpilih pemerintah seolah menutup mata dengan keluh kesah beban rakyatnya. Sungguh ironi!
Di tengah kesulitan hidup hari ini penguasanya harusnya menajamkan simpati mereka, sebaliknya justru terjadi “sense of crisis”.
Padahal sense of crisis” merupakan penjabaran dari surat At-Taubah ayat 128, “a`zizuna`laihi ma a`nittum.”
Seorang pemimpin harus tahu apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Rasa sakit seorang warganya menjadi rasa sakit bagi diri pemimpin yang punya sifat empati. Kebahagiaan rakyat menjadi kebahagiaan dirinya. Rasa kepekaan atau empati untuk bisa mengetahui keadaan masyarakat yang dipimpin menjadi idaman setiap penduduk di negeri ini terhadap pemimpinnya.
Namun rasa empati ini hanya terjadi pada momen tertentu saja. Yakni, kala Pilkades, Pilkada, Pileg, atau Pilpres. Hingga masuk ke gorong-gorong pun rela dilakukan demi pencitraan.
Setelah semuanya berakhir, rakyat hanya menelan pepesan kosong dari janji-janji politik. Himpitan ekonomi, kelaparan, biaya pendidikan yang tidak terjangkau, krisis pangan, dan terakhir kenaikan BBM yang sudah dipastikan berimbas pada kenaikan baran dan jasa lainnya.
Inilah hasil dari tipu-tipu politik demokrasi yang melanggengkan kekuasaan yang tidak bertanggung jawab. Rakyat lupa ditemui karena mereka lebih sibuk dengan sorak sorai ulang tahun. Memalukan!
Sosok Pemimpin Ideal dalam Islam
Berbeda dengan potret demokrasi, Islam sangat menaruh perhatian khusus kepada kepemimpinan tersebab amanah yang luar biasa diemban oleh penguasa.
Jika kita membaca sejarah kekhilafahan yang berlangsung selama 1400 tahun memimpin dunia, para khalifah itu memiliki sense of crisis tanpa terkecuali.
Hal ini karena Islam sangat mendorong agar para pemimpin/penguasa selalu bersikap amanah dan tidak zalim terhadap rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah al-Hathamah (mereka yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka)." (HR. Muslim)
Sayangnya, pemimpin yang peka dan memiliki empati tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler. Sistem sekuler ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah, dan jauh dari sifat empati. Pemimpin yang benar hanya lahir dari rahim sistem yang benar juga. Yaitu, sistem Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Wallahu ‘alam bishowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: kompasiana