Oleh: Sunarti
“Tikus mati di lumbung padi” artinya negara yang kaya dan makmur, tapi rakyatnya sendiri tak dapat ikut menikmati. Begitu peribahasa yang tepat disematkan untuk negeri ini. Negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA) namun rakyatnya banyak yang menderita kemiskinan. Menurut Republika.co.id Dinas Sosial (Dinsos) menyebutkan, sebanyak 3.961 jiwa, warga Kabupaten Bekasi, masuk kategori penduduk miskin ekstrim berdasarkan hasil pencocokan data lapangan yang dilakukan Dinsos setempat. Di laman yang sama disebutkan jika pencocokan data dilakukan petugas dari tenaga kesejahteraan sosial masyarakat dengan mengacu data terpadu kesejahteraan sosial tahun 2022.
Negeri ini sangat terkenal "bumi loh jinawi" atau negeri dengan tanah yang sangat subur. Demikian pula dengan hasil tambang yang sangat besar jumlahnya. Sebut saja salah satunya batubara.
Dalam Kompas.com dituliskan Kementerian ESDM mencatat, cadangan batubara Indonesia saat ini 38,84 miliar ton. Rata-rata produksi batubara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Disebutkan juga bahwa pemerintah terus mendorong upaya pemanfaatan batubara untuk memberikan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia dengan cadangan batubara yang juga masih tercatat sebesar 143,7 miliar ton. Belum lagi 62,1 persen dari total potensi cadangan dan sumber daya batubara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton yang berada di pulau Kalimantan.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Meski negeri ini kaya sumber daya alam (SDA) namun kondisi rakyat berbanding terbalik dengan kisaran besar pendapatan di salah satu SDA. Padahal itu baru salah satu dari sekian SDA yang ada di Indonesia. Masih banyak SDA yang lain yang dimiliki oleh negeri ini, seperti minyak bumi, sumber daya air, tambang emas, nikel dan lainnya. Sayangnya semua belum bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat secara merata.
Sudah jamak diketahui jika negeri ini menerapkan sistem sekular-kapitalis. Berbagai upaya kebijakan yang ditempuh untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dan termasuk di dalamnya mengentas kemiskinan belum tersolusikan. Meskipun termaktub jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam Pasal 33 Ayat 3 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masih jauh panggang dari api. Masih jauh solusi yang ditempuh dengan fakta sejatinya. Ini membuktikan pengelolaan SDA masih belum bisa menyentuh kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya dan fakir miskin khususnya. Maka untuk mewujudkan kemakmuran jelas juga belum bisa menyentuh kalangan masyarakat miskin khususnya. Karena selama ini harta/kekayaan hanya berputar pada sebagian besar masyarakat kalangan atas, seperti para penguasa dan pengusaha. Alih-alih mengentaskan kemiskinan, justru jurang pemisah antara si miskin dan si kaya sangat terbentang luas.
Pasalnya, negeriku yang menerapkan sistem sekular-kapitalis yang mengutamakan kepentingan pengusaha daripada meriayah (mengurus) rakyatnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya banyak kerjasama (atas nama investasi) kalangan pengusaha (Asing/Aseng) yang menguasai banyak sumber-sumber SDA yang bertebaran di berbagai belahan bumi Indonesia. Mereka atas nama investasi menguasai lebih dari separuh penghasilan yang berasal dari pengelolaan SDA.
Dengan ditambah liberalisasi ekonomi, membuat para pengusaha besar kian menguasai SDA dengan cara yang sangat mudah. Bahkan SDA yang seharusnya dikelola oleh negara, justru telah dikelola oleh swasta. Banyak macam hal yang menjadikan badan-badan usaha milik negara saat ini dibeli oleh Asing maupun Aseng. Merugi hingga bangkrutnya badan usaha milik negara, menjadikan segala aktivitas yang dilakukan oleh badan tersebut melepaskan tugasnya mengelola SDA. Dengan adanya suntikan modal yang jumlahnya tidak sedikit, membuat perusahaan negara secara otomatis dikuasai Asing maupun Aseng, ataupun pengusaha dalam negeri yang mereka adalah para oligarki.
Dari sini jelas bahwa peran negara sebagai pengelola harta kekayaan milik umat, tidak bisa menjalankan amanahnya. Lepas sudah SDA yang sejatinya dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, malah dikelola oleh pengusaha, baik Asing dan Aseng maupun pengusaha dalam negeri. Pantaslah jika harta yang berputar berada di pihak penguasa dan pengusaha. Rakyat justru menanggung beban kehidupan yang berat. Mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan) hingga kebutuhan pendidikan dan kesehatan secara mandiri. Belum lagi ditambah iuran-iuran yang sifatnya memaksa untuk mereka. Lengkap sudah penderitaan rakyat jelata yang miskin papa.
Terbukti sudah jika sistem yang memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme) mengutamakan liberalisme (sistem kebebasan) yang membuat seluruh bahan tambang bebas dimiliki oleh orang atau kelompok tertentu saja. Menunjukkan pula jika sistem ini tidak bisa mengatur urusan umat. Banyak kemiskinan, bahkan ekstrim, namun sisi lain orang kaya beberapa gelintir saja. Ditambah pula tanah yang subur dengan SDA yang berlimpah namun rakyatnya tidak bisa menikmatinya.
Solusi Mendasar Mengentaskan Kemiskinan
Negeri yang kaya akan SDA sejatinya akan sangat mudah mengentaskan kemiskinan. Asal segenap upaya dicurahkan benar-benar hanya berdasar tanggung jawab besar terhadap urusan rakyat. Bukan berdasar yang lain, seperti unsur bisnis maupun meraup kekayaan besar untuk individu maupun kelompok. Dan pengelolaan seluruh sumber SDA dilakukan oleh negara, bukan oleh badan swasta (Asing maupun Aseng).
Negeri ini pun cukup mampu dari segi sumber daya manusia. Tak sulit untuk mendapatkan orang-orang yang bisa mengelola perusahaan besar sekelas perusahaan tambang. Banyak anak negeri yang mereka tidak dimanfaatkan pikiran ataupun keahliannya di dalam negeri ini. Sehingga ketergantungan kepada perusahaan swasta juga sangat menonjol. Selain itu, permodalan dalam negeri yang banyak dikorupsi oleh para pejabatnya menambah beban negara berat mengelola sendiri pertambangan yang ada.
Negara sejatinya memiliki kewenangan mengelola sumber-sumber daya alam yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena bahan tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat banyak) termasuk kepemilikan umum. Harta yang menjadi kepemilikan umum akan dimanfaatkan bersama dengan cara dikelola oleh negara dan hasilnya disalurkan untuk rakyat guna pemenuhan kebutuhan hajat (hidup) yang merupakan kebutuhan dasar. Sedang selebihnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, seperti disalurkan pada biaya kesehatan dan pendidikan serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk keduanya.
Karena ini juga disabdakan oleh Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa kaum muslim bersekutu dalam tiga hal yaitu air, padang dan api. Dan negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini seharusnya menganut apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. agar menjadi umat yang mendapatkan syafaatnya kelak di Yaumil Kiyamah.
Dengan demikian masyarakat yang kurang mampu hingga miskin akan bisa hidup tanpa memikirkan urusan sekolah maupun kesehatannya, mereka akan fokus pada pemenuhan kebutuhan hajat dasar mereka. Pun penghasilan mereka tidak akan tersedot untuk membiayai sekolah maupun biaya berobat/kesehatan. Karena di sisi ini telah dijamin oleh negara.
Jika mereka yang miskin papa akan diurus oleh negara pula dengan cara mendudukkan keluarga untuk merawat mereka. Jika tidak ditemukan dalam hal ini, maka akan diasuh/diriayah negara. Jika mereka masih mampu bekerja, negara melalui khalifah (kepala negara) memberikan sarana untuk bisa bekerja. Jika benar-benar tidak mampu bekerja, maka kehidupannya akan ditanggung oleh negara.
Di sini pula, hasil-hasil tambang dipergunakan untuk mengurus rakyat yang memang membutuhkan, selain disalurkan ke dunia pendidikan maupun kesehatan. Ini semua seharusnya bisa dilakukan oleh negara yang kaya akan SDA dan sumber daya manusia (SDM), yaitu negeri Zamrud Khatulistiwa, Indonesia. Wallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google