Oleh : Wenny Suhartati, S.Si.
Sah! Akhirnya biaya haji tahun 1444 H/ 2023 M telah ditetapkan dan mengalami kenaikan. Keputusan yang disepakati pada tanggal 15 Februari 2023 antara Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR dan pemerintah, dalam hal ini Kemenag sepakat bahwa biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) atau biaya yang dibayar langsung oleh calon jemaah haji rata-rata menjadi sebesar Rp 49,8 juta (Rp 49.812.700,26) per orang (BBC News Indonesia, 15/02/2023).
Sebelumnya, usulan kenaikan biaya haji ini telah menjadi polemik dan sorotan di tengah masyarakat. Pasalnya, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mengusulkan rerata biaya haji atau biaya perjalanan ibadah haji 2023 yang dibayarkan sebesar Rp 69,19 juta. Jumlah ini merupakan 70 persen dari usulan rata-rata BPIH yang diajukan untuk tahun 2023.
Meskipun keputusan final yang dihasilkan yaitu biaya haji yang dibayar calon jemaah 2023 tidak sampai mengalami kenaikan 30 persen, namun tetap saja ada kenaikan sekitar 10 persen lebih dibanding tahun 2022. Dan hal ini sudah cukup menambah keresahan dan memberatkan di kalangan para calon jemaah haji yang mendapatkan kuota haji di tahun 2023, karena mereka harus membayar lebih banyak lagi biaya untuk pelunasan ongkos naik haji jika ingin berangkat haji di tahun 2023.
Paradigma Pengelolaan Haji
Mahalnya ongkos naik haji ini, tidak bisa dilepaskan dari sistem kebijakan pemerintah yang diadopsi saat ini. Bagaimana cara pandang pemerintah melihat ritual ibadah haji tahunan akan menentukan pula kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan ibadah haji terhadap masyarakat. Pengamat Kebijakan Publik, Ichsanuddin Noorsy, terkait kebijakan penyelenggaraan haji ini mengatakan bahwa ibadah haji ini adalah bisnis yang luar biasa bagi pemerintah.
Kritikan beliau ini didasarkan karena pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama menikmati keuntungan dari transaksi untuk akomodasi, transportasi dan konsumsi dengan margin yang luar biasa. Haji dilihat sebagai bisnis yang didasarkan pada untung rugi semata. Harusnya ibadah haji yang merupakan pelayanan publik kepada masyarakat, yang sudah mampu difasilitasi dan yang belum mampu dibantu dengan berbagai kemudahan berubah orientasi menjadi ladang untung mencari keuntungan dari masyarakatnya. Dikarenakan ada aliran dana yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan.
Pusaran Kapitalisme Penyebab Kerusakan
Pengaturan yang tidak professional ini merupakan bukti nyata adanya kapitalisasi ibadah haji. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Orientasi kapitalistik dalam pusaran kapitalisme ini akan membuat kebijakan yang dihasilkan hanya didasarkan pada untung rugi semata.
Sehingga akan mengubah fungsi negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi berbisnis dengan rakyat. Rakyat hanya dipandang sebagai objek untuk meraih keuntungan semata, dari berbagai kebijakan yang dicanangkan termasuk dalam mengurusi ibadah haji masyarakat muslim. Karena pemerintah tidak hanya mengelola penerimaan ongkos haji yang dibayarkan saat mendaftar haji akan tetapi juga mengembangkan dana tersebut melalui investasi dan tentu saja orientasinya adalah bisnis.
Inilah potret pengaturan negara dalam sistem kapitalisme, dimana rakyat dijadikan objek oleh negara untuk mencari keuntungan bahkan dalam hal ibadah sekalipun. Banyak persoalan yang muncul sebagai efek ketika kita berada dalam pusaran sistem kapitalisme ini. Secara fakta ini merupakan problem sosial ekonomi, berupa krisis kehidupan multidimensional yang berwujud kebodohan, kemerosotan mental, ketidakadilan, kezaliman dan lainnya.
Dalam sistem kapitalis, negara menjadi instrumen kepentingan bisnis dan keputusan politik yang dihasilkan mengabdi pada pemilik modal. Sehingga haji pun tidak dilihat sebagai ibadah semata tapi ada aliran dana di dalamnya yang bisa memberi keuntungan materi. Pemikiran sekuler yang menjadi dasar bagi sistem kapitalisme ini juga menghasilkan kepentingan materi yang menjadi landasan bagi kehidupan.
Solusi dalam Islam
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur ibadah individu semata, tapi Islam adalah mabda (way of life) yang merupakan cara pandang kita dalam menjalani kehidupan ini. Islam memandang segala sesuatu harus berdasar syariat yang telah Allah tentukan. Pengaturan di dalam Islam memandang penguasa adalah sebagai raa’in, pengurus dan pelindung rakyat, memudahkan urusan rakyat terlebih dalam penunaian ibadah.
Haji merupakan salah satu syariat Islam yang mempunyai hukum fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang memenuhi syarat dan memiliki kemampuan (istitho’ah). Menurut Ibn Qudamah ada lima syarat wajib haji yang harus dimiliki bagi yang ingin melaksanakan ibadah haji, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan budak) dan mampu. Dalam HR. Ad Daruquthni, dijelaskan bahwa mampu itu sendiri meliputi dua hal, pertama bekal (az zad) dan kedua kendaraan (ar rahilah).
Oleh karena itu, bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya maka kewajiban haji itu telah jatuh kepadanya dan saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”(QS. Ali Imran [03]: 97) dan Nabi Saw. juga bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Hanya saja penyelenggaraan ibadah haji yang hanya bisa dilakukan di Makkah-Madinah itu membutuhkan hukum teknis dan administrasi untuk pengaturannya. Disinilah peran negara yang telah menerapkan syariat Islam, dibutuhkan untuk mengatur dengan baik pelaksanaan ibadah haji warganya. Dan paradigma negara di dalam Islam adalah riayatu syuun al-hujjaj wa al-ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi.
Islam telah menetapkan prinsip dasar dalam pengaturan termasuk dalam pengaturan haji. Yaitu sederhana dalam sistemnya (basathah fi an-nizham), prosesnya cepat (su’ah fi al-injaz) dan ditangani oleh orang yang professional dalam bidangnya. Oleh karena itu, negara Islam, yang merupakan kepemimpinan satu bagi seluruh umat muslim akan membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat ke daerah dengan konsep administrasi terdesentralisasi dengan menetapkan berbagai kebijakannya.
Di antara bukti nyata pengaturan Islam dalam mengurus ibadah haji terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid II, seorang Khalifah pada masa masa Utsmaniyah. Beliau membangun sarana transportasi massal berupa jalur kereta api (Hijaz railway) dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Bahkan, jauh sebelum masa Utsmaniyah seorang Khalifah Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Inilah secuil fragmen sejarah Islam dalam melayani para tamu Allah yang tidak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. Hanya aturan Islam yang memudahkan masyarakat dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Wallahu a’alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google