Oleh: R. Raraswati
Semua orang pasti tahu besarnya utang Indonesia terus meningkat. Namun, mungkin tak banyak orang tahu bahwa Indonesia juga memiliki utang luar negeri yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Ya, hidden debt (utang tersembunyi) yang semakin membebani keuangan negara. Tragis, utang yang dilakukan secara terang-terangan saja belum bisa diselesaikan bahkan terus bertambah. Hal ini tidak menutup kemungkinan BUMN menjadi incaran tumbal pembayarannya.
Bagaimana tidak, utang secara sembunyi-sembunyi dengan mekanisme business to business (B2B) antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan perusahaan China kini sudah mencapai Rp7.849 triliun. Menurut catatan Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira, hidden debt (utang tersembunyi) Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 2000. Itu artinya selama 13 tahun pemerintah Indonesia menutupi utangnya dari rakyat. Padahal, ujung-ujungnya rakyatlah yang membayarnya melalui pajak penghasilan milik umum lainnya.
Parahnya lagi, utang tersebut semakin membengkak pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tepatnya di tahun 2015. Jika ditotal, utang pemerintah menjadi sangat besar karena bukan hanya yang ada di APBN tapi juga beberapa utang BUMN. Jokowi belanja infrastruktur lewat utang tersembunyi kepada pemerintah China secara jor-joran jelas mengancam usaha BUMN. Mau tidak mau APBN berisiko terbebani skema utang tersebut, BUMN pun rendan digadaikan.
BUMN akan masuk skema privatisasi, sehingga proyek yang dikerjakannya makin dikomersil, dan kreditur asing memiliki kekuatan intervensi politik. Kenapa demikian? Perlu diingat bahwa negara kapitalis memberikan utang bukanlah semata-mata membantu, namun karena ada “udang di balik batu”. Memang sebutannya bantuan, tapi itu tidak lebih dari cara mereka menjajah negara berkembang termasuk Indonesia.
Utang versi kapitalis merupakan jebakan sekaligus pembungkaman negara penerima bantuan. negara-negara debitur tidak mampu melawan dan akhirnya akan membebek segala sesuatu yang diperintahkan oleh negara kreditur, baik dari sisi kebijakan, sistem ekonomi, politik, hingga budaya.
Utang juga tidak ubahnya kebijakan yang disengaja dan dibiarkan terus menerus terjadi. Modelnya seolah sudah by design hingga akhirnya negara debitur tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Begitulah utang riba yang menjadi candu bagi pelakunya. Kreditur akan terus merayu debitur untuk senantiasa berhutang dengan mengajukan berbagai usulan pemanfaatan dan iming-iming bunga rendah. Sedangkan debitur menjadi merasa butuh karena utang riba membuat pelakunya seperti kesetanan yang lupa arah, sebagaimana telah Allah sampaikan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Jika dalam ayat tersebut di atas pelaku riba seperti orang kesurupan karena gila, maka ia tidak dapat berpikir normal. Apa saja tawaran kreditur diambil tanpa berpikir panjang bagaimana efeknya bagi negara dan rakyatnya. Memang begitulah harapan kreditur dalam menjebak mangsanya melalui jeratan utang.
Utang luar negeri memang cara yang paling berbahaya bagi negara-negara berkembang. Melalui cara inilah akhirnya negara kreditur menguasai dan mengambil kekayaan negara debitur hingga habis. Utang adalah instrumen yang akan selalu membuat umat menderita. Dengan utang para negara kapitalis bisa menekan dan melakukan intervensi politik, bahkan menduduki wilayah negeri-negeri kaum muslim tersebut. Ini jelas bisa mengancam kedaulatan negara debitur.
Ironisnya, utang luar negeri dari negara-negara kapitalis pasti mengandung riba. Sedangkan riba sendiri haram bagi umat Islam. Dengan demikian, utang luar negeri menurut hukum syara' adalah haram. Maka, sebagai negara mayoritas muslim, Indonesia harus segera menghentikan utang luar negeri baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang tersembunyi. Semua hanya bisa dilakukan jika negara menerapkan syariat Islam yang akan dengan tegas menolak dan menghentikan utang riba. Allahu ‘alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google