Oleh: Umi Hanifah
Rempang membara, masyarakat menolak relokasi karena wilayah tersebut sudah ratusan tahun menjadi tempat tinggal turun temurun. Dan ternyata BP Batam Belum Kantongi Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan Pulau Rempang Temuan Ombudsman dalam penanganan masalah Rempang Eco City. Ternyata sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama BP Batam belum diterbitkan.
Ombudsman mengatakan bahwa sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) belum diterbitkan. “Hak Pengelolaan yang dimohonkan pihak BP Batam belum diterbitkan dengan alasan lahan belum clean and clear karena masih dikuasai oleh masyarakat," ujar Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro dalam konferensi pers, Rabu (27/9/2023) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta. Tvonenews.com (28/9/2023).
Sekalipun sertifikat hak pengolahan lahan belum terbit, pemerintah tetap ngotot untuk merelokasi masyarakat dengan alasan Rempang masuk kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN). Tentu saja rencana tersebut membuat masyarakat meradang, pasalnya Rempang adalah tanah kelahiran sekaligus tempat mengais rezeki buat anak istri. Mereka tidak bisa membayangkan seperti apa masa depannya ketika harus meninggalkan tempat tinggalnya, selain banyak kenangan yang sulit untuk dilupakan.
Berita Rempang menambah masalah pelik agraria yang mengorbankan hak wong cilik, dan masih banyak kasus serupa yang tak kunjung usai. Masyarakat mempertahankan hak milik, sementara pemerintah ngotot relokasi adalah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Pertanyaannya, benarkah pengembangan ekonomi buat rakyat atau buat korporat?
Kalau memang untuk rakyat kenapa ada relokasi, bukankah hal itu justru membuat masalah baru. Bagi rakyat kecil rumah adalah barang yang sangat berharga, bisa jadi itulah kekayaan satu-satunya yang dimiliki. Ketika ada relokasi atau penggusuran wajar saja mereka menolak dengan mempertahankan segenap jiwa hak miliknya.
Selama ini masyarakat sudah hidup tenang dan sejahtera walau dengan standar yang minimal. Apalagi rakyat tak pernah merepotkan penguasa dalam memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, justru hak rakyat yang sering dikorbankan oleh penguasa demi memuluskan rencana korporasi.
Tak Ada Pembelaan Buat Rempang
Rempang sedang berselimut air mata duka, jeritan, kecaman hingga perlawanan tak membuat hati para pemimpin di negeri ini bersimpati apalagi membatalkan niat para pemodal untuk mengembangkan bisnisnya atas nama investasi. Investasi buat siapa? Toh rakyat tetap susah memenuhi kebutuhannya sehari-hari, investasi hanya menguntungkan pemodal besar tanpa ada pengaruh sedikitpun bagi perbaikan hidup masyarakat.
Selayaknya pemimpin itu mengayomi dan membela rakyat yang di pimpin dari kesusahan dan bahaya yang menimpa mereka. Kasus Rempang justru membuka kedok sifat asli pemimpin dalam sistem Sekularisme Kapitalis. Mereka bekerja bukan buat rakyat, yang di pikirkan apakah menguntungkan atau tidak meskipun harus mengorbankan hak rakyat.
Sekularisme Kapitalis inilah biang dari berbagai masalah di negeri ini. Sistem yang menyingkarkan agama dalam pengaturan urusan publik, karena menjadikan nafsu sebagai standar dalam setiap aktivitas. Tentu saja kekacauan dan kerumitan yang dihasilkan, dan yang pasti merasakan kesusahannya adalah rakyat bawah yang lemah.
Yang lebih mengherankan, para pemimpin mulai dari tingkat bawah hingga pusat seakan satu komando untuk menggusur masyarakat dari tanah kelahirannya. Tidak ada yang membela, justru rakyat di pojokkan dengan kata-kata meningkatkan kesejahteraan dan regulasi lain yang tak masuk akal.
Pemimpin Amanah Ada dalam lslam
Rempang adalah tanah yang digunakan untuk aktivitas masyarakat, maka dalam lslam dilarang merelokasi, apalagi menggusur dengan paksa penduduknya untuk pindah dari tempat tersebut. Selama ada aktivitas maka selama itu pula tanah adalah milik yang mengelola. Namun jika tanah dibiarkan tanpa dikelola selama tiga tahun berturut-turut maka negara akan menarik untuk diberikan kepada siapa saja yang mau dan mampu mengelola.
Sama halnya jika ada tanah mati seperti di dekat hutan, tanah yang jauh dari pemukiman dan lainnya atau disebut tanah mati lalu dihidupkan atau dikelola maka tanah tersebut milik yang mengelola. Negara dilarang mengambil atau menggusur kepemilikan tanah tersebut dari pengelola.
Sebagaimana kisah mashur Khalifah Umar bin Khathab yang melarang keras penggusuran tanah milik Yahudi tua sekalipun untuk pembangunan masjid, jika pemiliknya tidak ridho maka tidak boleh memaksa. Inilah gambaran sikap pemimpin yang amanah, tidak melihat agama, suku, derajat dan lainnya. Siapa saja yang menjadi rakyatnya akan diberikan keadilan yang sama. Hal tersebut menjadikan Yahudi kagum kepada kepemimpinan dalam lslam dan akhirnya ia memeluk lslam.
Sudah jelas, Sekularisme Kapitalis menjadi bencana buat keberlangsungan hidup rakyat, tidak ada jaminan dan pembelaan dari para pemimpin terhadap hak milik wong cilik. Sebaliknya, jaminan hak milik dan ketenangan hidup hanya ada dalam sistem lslam. Allahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google