Oleh: Oleh Dewi Royani, MH
PT Freeport Indonesia (PTFI) menyerahkan dua totem suku Kamoro dari tanah Papua kepada Kementerian PUPR. Dua totem suku Kamoro tersebut, yakni Totem Mbitoro dan Totem Wemawe yang merupakan hasil karya para pengukir Kamoro di bawah naungan Yayasan Maramowe. Penyerahan Totem ini dilakukan dalam rangka berpartisipasi dan mendukung penuh pembangunan Taman Totem Dunia dan program Penataan Kawasan Waterfront City. Keberadaan totem Kamoro di Taman Totem Dunia diharapkan dapat membantu memperkenalkan budaya Papua ke wisatawan nasional dan internasional. (kompas.com,30/9/2023)
Hal ini sekilas menunjukkan kemurahan hati PTFI kepada masyarakat Papua. Namun kemurahan hati PT Freeport melalui CSR ataupun pelestarian budaya tidak serta merta membuat kita lupa bahwa kekayaan negeri ini yang mereka ambil jauh lebih besar dari sekedar Totem atau bantuan CSR lainnya.
PT Freeport adalah salah satu perusahaan pertambangan AS yang beroperasi di wilayah pertambangan Grasberg Papua, dengan deposit tembaga dan emas terbesar di dunia. Menurut laporan keuangan Freeport-McMoran, 37% dari total pendapatan PT Freeport berasal dari operasinya di Indonesia, senilai US$ 8,43 miliar (Rp.126,39 triliun), (papuatimes.com,23/08//2023).
Jika 1% dari Rp 126,39 triliun itu diigunakan untuk CSR, tentunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh PTFI dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) negeri ini selama puluhan tahun. Jika kekayaan alam dikelola secara mandiri hasilnya jauh lebih besar. Sehingga masyarakat Papua bisa terjamin kesejahteraannya tanpa harus bergantung pada pdana CSR. Secara fakta meskipun Papua memiliki tambang emas terbesar di dunia. Namun masyarakat Papua tidak merasakan kehidupan ekonomi yang sejahtera. Hal ini karena pengelolaan SDA lebih banyak dikuasai asing.
Keberadaan PTFI sejatinya merupakan bentuk penjajahan ideologi kapitalis negara adidaya Amerika Serikat. Prinsip pengelolaan harta dalam kapitalisme tidak mengenal batas kepemilikan. Selama ada modal dan kekuasaan, siapa pun bisa berkuasa termasuk menguasai kepemilikan umum. Akibatnya SDA milik rakyat bisa dikuasai oleh swasta asing.
Berbagai upaya akan dilakukan agar eksistensi kekuasaan ini dapat terus berlangsung. Diantaranya dengan menghembuskan slogan atau tawaran-tawaran. Slogan atau tawaran tersebut menjanjikan bahwa penanaman modal asing akan mendatangkan keuntungan yang besar dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kapitalisme pun membuat penguasa bertekuk lutut kepada pemilik modal. Hal ini karena sistem politik demokrasi yang meniscayakan adanya konspirasi penguasaha dan penguasa. Padahal, jika penguasa negari ini berdaulat mengelola berbagai SDA secara mandiri dan sesuai dengan aturan Islam, negara justru akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Dalam Islam, kekayaan alam memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat dan negara. Di dalam Islam barang tambang yang jumlah depositnya besar dikategorikan sebagai kepemilikan umum dan tidak boleh dikuasai oleh individu. Rasulullah pernah memberikan izin kepada Abyadh untuk mengelola tambang garam. Namun ketika mengetahui bahwa tambang garam itu adalah milik umum, Nabi mencabut hibahnya dan melarang kepemilikan pribadi atas tambang tersebut.
Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)
Hadis ini menjadi dalil bahwa, barang tambang yang jumlah depositnya melimpah termasuk kepemilikan umum (milkiyyah al-’amah). Syariat melarang individu menguasai dan mengelola barang tambang tersebut, seperti tambang garam, emas, migas, nikel, dan barang tambang lain yang depositnya melimpah.
Konsekwensinya barang tambang tersebut dikelola oleh negara. Oleh karena itu, negara (sistem khilafah) akan mengelola SDA secara mandiri. Hasilnya akan diberikan untuk rakyat baik secara langsung seperti subsidi energi. Ataupun secara tidak langsung seperti jaminan gratis layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Kedaulatan negara atas SDA membuat khilafah memiliki power di kancah perpolitikan internasional. Karena itu terkait kasus Freeport, khilafah hanya akan menetapkan dua kebijakan yakni PTFI harus hengkang dari Grasberg dan Khilafah akan membeli peralatan yang ada atau, PTFI menjadi buruh khilafah dengan akad ijarah/akad upah-mengupah.
Seperti inilah kekuatan khilafah dalam mengelola SDA. Hal ini tidak hanya membawa kebaikan bagi masyarakat dan negara. Namun menjadikan sebuah negara memiliki bargaining position yang disegani di dunia internasional.
Alhasil, sekadar sumbangan dari perusahaan yang mengeruk tambang emas di Papua tak akan mampu membuat rakyat sejahtera. Butuh perubahan sistem dari kapitalisme menuju Islam. Sehingga SDA itu akan kembali kepada kepemilikan umum yang dikelola negara. Kemudian hasilnya akan masuk baitul mal/kas negara untuk digunakan membiayai berbagai pelayanan masyarakat. Baik pendidikan, kesehatan dan keamanan dapat diakses gratis dan cuma-cuma. Wallahualam bishawab.