Oleh: Apt. Endang Rahayu
(Pembina Parenting Yayasan Al-Ihsan Sungsang, Sumsel)
Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebut Indonesia memiliki potensi gagal menjadi negara maju pada 2045 jika perekonomiannya tetap tumbuh di kisaran 5%. Target Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita negara dalam mewujudkan 100 tahun kemerdekaan dengan menjadi negara maju yang setara dengan negara-negara besar seperti sekarang. Potensi itu diungkapkan dalam White Paper bertajuk Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029.
Di kesempatan yang lain, Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. dr. Hasto Wardoyo, SpOG(K), menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Hasto menjelaskan bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa, dalam hal ini mengejar pembangunan negeri melalui Indonesia Emas 2045.
Hal ini bisa jadi kontraproduktif terhadap tercapainya cita-cita menjadi negara maju. Teguh Dartanti, seorang ekonom dari Universitas Indonesia menyebutkan, dibandingkan mengejar obsesi menjadi negara berpendapatan tinggi (syarat menjadi negara maju), sebaiknya negara fokus mengentaskan kemiskinan, menurunkan ketimpangan ekonomi, dan melakukan inovasi dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Hemat saya, untuk mewujudkannya tidak cukup dengan mengandalkan keluarga apalagi menjadikannya pondasi utama demi tercapainya pembangunan. Kondisi keluarga adalah hal cabang yang dipengaruhi berbagai sistem kehidupan. Keluarga hidup ditengah sistem ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, sanksi, dan peradilan yang diemban negara. Kondisi keluarga sangat dipengaruhi oleh sistem tersebut. Adapun membangun sistem tersebut lahir dari sebuah pandangan hidup atau asas berpikir. Maka, Indonesia perlu untuk merenungkan dan berpikir mendasar tentang asas dan dasar negaranya.
Indonesia Maju, Mungkinkah?
Ada dua hal yang perlu dicermati terkait target Indonesia Emas 2045. Pertama, visi Indonesia Emas 2045 berkaca pada keberhasilan negara kapitalis besar seperti Amerika, dan negara lain. Hal ini sudah dipastikan hampir tidak mungkin. Dalam Kitab Mafahim Siyasi karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, peta politik internasional menyebutkan ada negara adikuasa, negara satelit, dan negara dunia ketiga atau yang terjajah seperti Indonesia.
Adalah hal yang naif untuk tidak mengakui bahwa Indonesia sedang dalam penjajahan komprehensif. Mulai dari penjajahan pemikiran, gaya hidup, hingga sumber daya Alam. Beberapa gelaran bulan Oktober ini seperti Belt and Road Initiative Summit, Amerika - Indo Summit semakin menegaskan bahwa Indonesia tidak berdaulat dan hidup dibawah bayang-bayang utang yang saat ini mencapai 396,3 miliar dolar.
Kedua, kesalahan menentukan visi dan misi pembangunan ini akan menggerakkan negeri pada arah yang salah. Mengharapkan tercapainya hal-hal cabang berupa pengentasan kemiskinan, teratasinya stunting, pencegahan perceraian dalam keluarga, pembangunan infrastruktur yang mumpuni dan mudah serta murah untuk diakses, pendidikan terjangkau hampir dipastikan menjadi ilusi atau utopis.
Alih-alih mengejar capaian klasik seperti PDB, peningkatan daya beli dan iklim investasi, Indonesia harusnya memikirkan ulang apa visi dari keberadaan negeri ini. Indonesia harus menentukan ulang pantaskah ideologi kapitalisme untuk dijadikan sebagai pegangan untuk menuju perbaikan negeri ini? Indonesia sudah ada selama 78 tahun dan selama itu, negeri ini menganut ideologi kapitalisme. Semakin hari negeri ini mengalami goncangan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik, hukum dan seluruh lini kehidupan. Termasuk yang paling dahsyat adalah goncangan dalam keluarga.
Jadi, mengandalkan perbaikan pada keluarga saja adalah hal yang konyol dan tidak bertanggung jawab. Hal ini sama saja ingin menyalahkan keluarga sebagai penyebab atas rendahnya daya beli, rendahnya kualitas SDM, dan tidak tercapainya cita-cita semu menjadi negara maju. Perlu kita ketahui, bahwa Islam adalah solusi.
Islam bisa menjadi jawaban kebingungan kita dalam menentukan sistem mana yang bisa mengantarkan kepada kesejahteraan hakiki. Islam akan memberikan arah perbaikan, bukan semata memberikan cermin negara maju dan meminta kita melakukan ini itu yang penuh keharaman dan mendatangkan kemudharatan bagi masyarakat.
Bahkan, politik dalam pandangan Islam adalah untuk mengurusi urusan umat. Penguasa sebagai pemegang kepemimpinan harus mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi, dan melayani urusan masyarakat. Penguasa tidak boleh memindahkan tanggung jawab tersebut ke entitas individu, keluarga, ataupun pihak lain.
Penguasalah yang mempunyai kekuatan untuk melahirkan kebijakan-kebiijakan di segala bidang yang dapat menjaga kedaulatan negara. Sudah seharusnya mentalitas negarawan menjadi syarat dan dasar utama yang dimiliki penguasa. Sehingga, penguasa tidak semena-mena dalam menjalani tugasnya sebagai pelayan umat. Fokus dengan tujuan kepemimpinan, bukan saling lempar tanggung jawab. Wallahu’alam bishowwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google