Oleh: Dewi Royani, M.H.
Dosen dan Muslimah Pemerhati Umat
Menjelang kontestasi pemilu 2024, potensi konflik semakin tinggi. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, terjadi bentrokan antara simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK) yang merupakan sayap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada hari Minggu 15/10/2023. (Republika.co.id,15/10/2023).
Hal ini menarik karena PDIP dan PPP merupakan bagian dari koalisi pendukung capres Ganjar Pranowo. Sayangnya, ditingkat akar rumput (simpatisan partai) kedua massa tersebut malahan saling bersitegang. Pada faktanya setiap menjelang kontestasi pemilu, perbedaan pilihan politik hampir selalu berujung konflik sehingga konflik menjadi sesuatu yang melekat dalam proses demokrasi. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Jika dicermati, keberpihakan rakyat kepada parpol saat ini didorong oleh faktor emosional, simbol, dan ketokohan. Tanpa adanya pemahaman yang benar tentang arah, tujuan, dan ideologi partai. Kekaguman terhadap suatu partai atau tokoh memudahkan terjadinya perselisihan antar orang atau kelompok. Karena kuatnya sentimen kelompok. Pemicu yang sangat sepele pun dapat menyebabkan gesekan yang berpotensi terjadinya konflik yang tidak perlu.
Mirisnya, perselisihan tersebut sering terjadi di tingkat akar rumput. Sementara, di kalangan para elit partai justru bekerja sama demi tercapainya tujuan. Realita ini selaras dengan ungkapan 'tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan abadi'. Hal ini sejatinya tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi yang diadopsi negeri ini. Semua parpol 'dipaksa' ukurannya adalah pragmatisme yakni demi kemenangan dan kepentingan politik. Bukan demi kesejahteraan rakyat.
Saat ini, banyak parpol yang kehilangan keutuhan ideologinya termasuk parpol Islam. Sehingga berdampak pada anggotanya yang tidak bisa bersatu secara utuh, apalagi percaya pada ideologi yang dianutnya. Prof. Dr. Miriam Budiardjo menjelaskan, partai politik merupakan suatu kelompok yang terorganisir. Para anggotanya mempunyai nilai-nilai, orientasi dan cita-cita yang sama yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan politik dan kedudukan politik. Ini artinya, anggota partai harus mempunyai nilai, arah, dan cita-cita yang sama. Hal ini penting karena parpol harus menjadi mesin perubahan yang menarik masyarakat untuk melakukan perubahan politik yang nyata.
Ketika parpol kehilangan integritas pada ideologinya, maka partai sebagian besar diisi oleh kaum pragmatis dan oportunis. Sebab, parpol tidak mewajibkan ideologi sebagai asas untuk mempersatukan anggotanya. Parpol menjadi terbuka untuk semua orang, terutama partai yang mempunyai basis massa, kekuatan modal, dan popularitas. Banyak orang bergabung karena kepentingan pribadi atau kelompok. Akibatnya, parpol menjadi tersandera oleh berbagai kepentingan yang dibawa oleh anggotanya. Khususnya yang bersikap pragmatis dan oportunistik.
Di sinilah, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa realita parpol dalam sistem demokrasi bersifat pragmatis. Kebijakan partai lebih pada keuntungan yang bisa diperoleh partai dan elite partai. Sulit mengharapkan parpol-parpol seperti itu dapat membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik, selama partai tersebut berada di bawah sistem politik demokrasi.
Oleh karena itu, masyarakat membutuhkan parpol yang hadir untuk masyarakat. Partai tersebut tidak muncul dari sistem rusak yang berasaskan kapitalisme sekuler. Akan tetapi lahir dari sistem yang berasal dari Allah Swt yaitu sistem Islam. Di dalam Islam, kelompok atau partai diperintahkan Allah Swt., "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran [3]: 104)
Berdasarkan ayat tersebut partai menjalankan dua fungsi, yakni beraktivitas menyeru kepada Islam dan melaksanakan Amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik mencegah perbuatan yang buruk). Kedua fungsi tersebut dapat tercapai jika partai asasnya akidah Islam. Visi misi partai berasaskan akidah Islam. Memiliki ikatan anggota yang kuat. Ikatan yang kuat akan terwujud ketika bersandar kepada akidah Islam. Bukan ikatan kelompok atau kepentingan.
Maka, salah satu peran strategis partai adalah melakukan edukasi kepada masyarakat dengan pemikiran Islam agar memiliki kesadaran dan pemahaman politik yang benar dengan makna mengurus urusan rakyat dengan Islam. Melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Islam.
Dalam negara Islam (Khilafah), Islam membolehkan adanya banyak partai dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh syariat. Dengan demikian, semua partai memiliki asas dan tujuan yang sama. Semua aktivitas partai didasarkan pada ketakwaan kepada Allah Swt. bukan karena kepentingan individu atau kelompok. Tidak akan ada perbedaan asas dan tujuan partai sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi. Sehingga potensi konflik antar partai tidak akan terjadi. Wallahualam bishawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google