Oleh: Shita Istiyanti
Rohingya, etnis muslim yang digenosida di negara asalnya Myanmar kini terkatung-katung di lautan tanpa ada tujuan. Konflik sipil yang mematikan di negri asalnya, nampaknya tak juga menemui ujung. Tidak ada solusi untuk konflik berkepanjangan ini. Kini ketika 490 imigran Rohingya menemukan bahtera di Bireuen dan Pidie, Aceh pada Minggu (19/11/2023) dini hari, harapan mereka harus pupus dengan adanya penolakan dari warga. Bahkan kesaksian Kabid Humas Polda Aceh Kombes Joko Krisdiyanto mengatakan bahwa warga akan membawa para imigran kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan keluar dari kecamatan tersebut.
Alasan warga menolak mereka adalah, para pengungsi memberi kesan perilaku yang kurang baik, jorok, hingga sering kabur tanpa kabar dari camp pengungsian. Warga merasa takut dan risih jika mereka sampai melakukan tindak kekerasan karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok mereka.
Lebih parah lagi warga telah memberi ultimatum kepada pengungsi sebelumnya untuk angkat kaki dari pengungsian sebelum Minggu (19/11/23) lantaran gesekan antara pengungsi dan warga setempat ini.
Tak hanya warga, negara pun dengan tegas menolak kehadiran mereka. Hal ini disampaikan oleh juru bicara Kemenlu, Lalu Muhamad Iqbal yang mengatakan bahwa Indonesia tidak berkewajiban untuk menampung para pengungsi Rohingya karena Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
“Indonesia tidak memiliki kapasitas dan kewajiban untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut,” tegasnya.
Sungguh miris nasib saudara kita ini, mereka akan terus terkatung-katung tanpa kepastian karena tak ada negara yang menerima mereka. Sejatinya gesekan antara pengungsi Rohingya dengan warga lokal adalah hal yang niscaya terjadi. Bagaimana tidak, mereka berasal dari daerah yang berbeda, budaya yang berbeda, bahkan kebiasaan yang berbeda. Terlebih lagi mereka baru saja mengalami genosida mengerikan di daerah asal mereka, maka trauma mendalam hingga keputus-asaan terkatung-katung berbulan-bulan di lautan pastilah membutuhkan waktu untuk mengobatinya.
Diperparah ketidakhadiran negara dalam mengurusi para pengungsi. Negara angkat tangan, abai sehingga muslim Rohingya tidak bisa hidup layak. Akhirnya beban ditanggung oleh warga lokal. Pantas saja akan terjadi banyak konflik karena masyarakat juga sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Lebih mirisnya dunia bungkam dan berlagak buta melihat ketidakberdayaan muslim Rohingya. Mereka telah mengalami sesuatu yang jauh dari kata manusiawi. Para lelaki mereka dibunuh secara brutal. Para gadis di camp-camp pengungsi di Bangladesh telah mengisahkan kisah tragis menyayat hati. Penyiksaan, kekerasan, mutilasi, penghinaan, dibelah dada mereka dengan tebasan pisau, lalu mereka diperkosa di depan anak-anak mereka, di depan suami, ayah dan saudara mereka. Bagian vital mereka tak luput dari tusukan tongkat kayu tajam dan senjata api.
Dalam keadaan masih berdarah dan terluka mereka harus melalui perjalanan panjang di tengah lautan dengan bekal minimal sambil menahan sakit dan lapar. Sebagian dari mereka disiksa lebih tak manusiawi. Setelah disiksa dan diperkosa mereka dikunci di dalam rumah, lalu rumah itu dibakar habis padahal banyak dari mereka masih anak-anak dibawah 10 tahun. Bayangkan jika kalian di posisi mereka, apakah tega mengusir umat yang tak berdaya ini?
Dunia hanya bungkam dan mengecam, tak ada aksi nyata yang dilakukan negeri-negeri muslim, justru penolakan yang mereka terima. Sedangkan PBB memilih untuk "berdiri diam" tidak melakukan apapun. Hanya perkataan kosong seperti biasa yakni meminta pemerintah Burma untuk, “memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer secara berlebihan di Negara Bagian Rakhine.” Omdo!
Tak ada harapan bagi muslim Rohingya, negeri-negeri kaum muslim telah tersekat-sekat dengan sekat nasionalisme yang membelenggu mereka, dan menghalangi mereka untuk membantu saudaranya yang menjerit meminta bantuan. Sekat nasionalisme ini juga membuat negeri-negeri muslim hitung-hitungan materi dalam membantu muslim Rohingya. Mereka tak mau negaranya rugi secara ekonomi jika para pengungsi masuk ke negeri mereka.
Begitulah potret dunia yang didominasi sistem kapitalisme. Sebuah dunia yang tidak bergerak melihat manusia tertindas, digenosida bahkan disiksa tak manusiawi. Mereka mengabaikan nilai kemanusiaan yang mereka junjung tinggi "katanya", padahal yang mereka pikirkan hanya untung rugi semata. Mereka baru mau bergerak jika mendapat keuntungan dari segi ekonomi dan politik. Begitulah sistem kapitalisme, hipokrisi!
Rohingya adalah bagian dari umat terbaik, yakni umat Islam. Sudah selayaknya mereka juga diperlakukan sebagai manusia terbaik pula, karena sejatinya kaum muslim adalah satu tubuh. Sebagaimana sabda Rasullullah:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya) (HR. Bukhari dan Muslim).
Sayangnya umat yang tersekat dengan sekat nasionalisme ini terpecah belah. Muslim Rohingya dianggap rakyat dari negri lain yang tak wajib di tolong. Nasionalisme buah dari penerapan ideologi kapitalisme ini jelas rusak dan sesat, terlebih lagi ikatan ini memecah belah umat terbaik, umat muslim. Maka wajib bagi kaum muslim untuk mencampakkannya dan kembali kepada ikatan yang sohih yakni ikatan ideologi Islam.
Karena persatuan umat dalam naungan khilafah adalah hal wajib yang harus diwujudkan oleh umat Islam. Khilafah inilah yang akan menyambut seruan kaum muslim, tak hanya Rohingya, juga Palestina, Uygur, Afghanistan, kaum muslim di India dan di belahan bumi lain yang didzolimi oleh rezim predator bengis.
Sebagaimana telah tercatat dalam sejarah bagaimana Kholifah Al-mu'tasimbillah menyambut seruan seorang muslimah yang dilecehkan di negeri Amuriah. Beliau mengancam akan mengirim pasukan yang kepala pasukannya di Amuriah sedangkan ekor pasukannya masih di Baghdad, yang menunjukkan betapa banyak jumlah pasukannya.
Prinsip diplomasi Islam adalah penjagaan terhadap harta, jiwa dan darah warga negara. Sehingga jika ada satu saja warga negara baik muslim maupun non muslim dilecehkan, maka negara tidak segan-segan bertindak, bahkan mengerahkan militernya. Begitulah potret penjagaan negara Islam yang begitu kita rindukan. Dengan penerapan Islam tidak akan ada lagi kaum muslim yang meronta kesakitan karena kedzoliman. Wallahualam bissawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google