Oleh: R. Raraswati
DRAKOR (Drama Kotor) MK terkait sengketa (PHPU) Pilpres (Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden) 2024 telah berakhir pada Senin, 22 April 2024. Keputusan MK yang sudah diprediksi banyak kalangan benar-benar terjadi. Ya, MK menolak semua gugatan kubu 01 dan 03 serta melegitimasi kecurangan. Banyak kalangan sudah tidak lagi berharap adanya putusan yang berkeadilan dari MK. Pasalnya, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, dirasa tidak mampu lagi mengadili kecurangan pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Sudah dipastikan ada yang kecewa dan ini menambah ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga MK.
Dilansir mkri.id (22/4/2024) bahwa Tim Kuasa Hukum Paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra merasa tidak terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2024. Yusril mengaku telah memprediksi sejak awal MK bakal menolak gugatan yang dimohonkan oleh Paslon 01 dan 03. Lagi-lagi ini seolah membuktikan adanya drama kotor (Drakor) pada Lembaga MK yang memang sudah diseting.
Lebih mengecewakan lagi, dalam proses mengadili perkara ini, MK menunjukkan sikap yang arogan. MK terlihat bukan lagi sebagai lembaga pengadilan, tapi sebagai lembaga tertinggi yang merasa berada di atas kedudukan pihak pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya. MK terlihat memberi hak Istimewa terhadap hakim untuk mendalami fakta persiangan dan berusaha menghalangi pihak pemohon untuk menggali dan menemukan fakta keadilan. Hal ini diperlihatkan saat MK memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto) sebagai saksi. Mereka dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Anehnya, dalam persidangan hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para saksi tersebut. Seharusnya kuasa hukum dari pemohon, baik dari 01 dan 03 diberi kesempatan mendalami keterangan saksi dari para Menteri tersebut.
Dihadirkannya saksi dari kementerian tersebut diharapkan dapat membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang Presiden dengan penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Paslo 02 Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000. Fakta tersebut harusnya bisa digali oleh pihak pemohon. Namun, semua itu mustahil didapatkan karena tidak ada kesempatan bagi piha pemohon untuk bertanya pada saksi. Aneh, sejak kapan acara persidangan tidak mengizinkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK? Lagi-lagi ini seolah menunjukkan drakor MK.
Jika demikian, bisa diprediksi bahwa materi pertanyaan dari hakim MK hanya normatif, tidak substantif. Terlihat ada pertanyaan yang bertujuan untuk mengungkap fakta politik yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon.
Tidak hanya berhenti di situ, drakor MK juga dilengkapi dengan tak memanggil Jokowi dengan dalih Presiden sebagai simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan. Padahal pada UUD ‘45 Pasal 27 ayat 1 secara tegas berbunyi:
"Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Berdasarkan pasal tersebut, harusnya Jokowi bisa dihadirkan ke pengadilan karena masalah ini berkaitan pula dengan kegiatannya bagi-bagi bansos yang diduga sebagai upaya dukungan Paslon 02. Namun, kenapa MK menjadikan Jokowi spesial? Anehnya lagi, ada ahli hukum dari Paslon 03 Mahfud MD yang diam, tanpa protes menerima saja semua drama kotor yang dilakukan MK. Bahkan pasca putusan dibacakan, ia merasa senang terlebih adanya dissenting Opinion yang menurutnya pertama dalam Sejarah Perkara PHPU Presiden di MK. Sungguh, ini justru menjatuhkan harga diri seorang Mahfud sebagai Advokat.
Sungguh menyedihkan melihat Para Kuasa Hukum pemohon dari 01 dan 03 yang hanya tunduk patuh pada arogansi Hakim MK. Padahal banyak rakyat berharap adanya keadilan dari para ahli hukum negara yang notabennya beragama Islam, tahu bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS: Al-Isra’ [17]: 36)
Dari semua itu terlihat seolah proses di MK, hanya sandiwara, drama kotor untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan pemilu dan Pilpres. Kembali lagi rakyat ditipu dan dikhianati, dengan pagelaran drama di sidang MK. Mirisnya tidak banyak orang yang menyadari hal ini. Benarlah firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 123 yang artinya:
"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."
Namun, sebagai umat Islam yang memahami hal ini harus dapat menentukan sikap dan yakin Allah akan memberikan keadaan yang lebih baik jika syariat Islam dijalankan secara menyeluruh. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh kepala negara yang memiliki ketaatan terhadap hukum syarak dalam bingkai khilafah. Pasalnya pemimpin yang demikian sadar dengan kewajibannya mengurusi urusan umat, pelayan masyarakat bukan mencari keuntungan dari rakyatnya. Allahu a’lam bish showab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google