View Full Version
Ahad, 16 Jun 2024

UKT dan Liberalisasi Pendidikan

 

Penulis: Naila Zayyan

(Forum Muslimah Indonesia ForMind)

 

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi di Indonesia telah menjadi perhatian utama. Tiap tahun, biaya kuliah semakin naik, menggelapkan potret pendidikan nasional. Dampaknya sangat luas, mulai dari peningkatan beban ekonomi bagi mahasiswa dan calon mahasiswa yang sebagian besar berasal dari masyarakat menengah ke bawah, hingga beban fisik dan mental akibat kurikulum yang padat.

Banyak mahasiswa yang terpaksa putus kuliah, terjerat pinjaman online, atau bahkan berujung pada tindakan kriminal. Beberapa mengalami depresi dan sakit berkepanjangan, seperti kasus mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang meninggal karena tidak mampu membayar UKT yang makin mahal. Mahasiswa yang seharusnya fokus pada studi sering kali harus mencari pekerjaan tambahan demi memenuhi kebutuhan kuliah dan hidup sehari-hari.

Pada tahun ini, kenaikan biaya kuliah dilegitimasi oleh Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 54/P/2024 serta Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 yang mengatur besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Dengan aturan ini, pimpinan perguruan tinggi memiliki wewenang untuk menetapkan kenaikan tarif yang bisa mencapai maksimal empat kali besaran Biaya Kuliah Tunggal (BKT) per tahun tiap program studi. Meskipun penerapannya diharuskan memperhatikan prinsip kewajaran, proporsionalitas, dan keadilan, faktanya aturan ini tetap dipandang sebagai kebijakan yang memberatkan.

Namun karena kebijakan kenaikan UKT ini menuai protes dari banyak pihak maka Pemerintah memutuskan untuk membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini. Keputusan ini diumumkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, setelah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo. Keputusan ini diambil berdasarkan masukan dari berbagai pihak dan bertujuan untuk menjaga keadilan dan kewajaran. Evaluasi lebih lanjut akan dilakukan terhadap permintaan peningkatan UKT dari perguruan tinggi negeri untuk masa depan (nasional.kompas, 27/5/2024).

 

Paradigma Liberalisasi Pendidikan

Akar persoalan mahalnya UKT dapat ditelusuri dari kebijakan liberalisasi sektor pendidikan yang berakar dari General Agreement on Tariffs and Service (GATS). General Agreement on Tariffs and Trade (GATS) adalah salah satu perjanjian yang berada di bawah naungan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Perjanjian ini mencakup berbagai sektor jasa, termasuk sektor pendidikan, dan berfungsi untuk mengatur liberalisasi perdagangan jasa antar negara anggota. Liberalisasi dalam konteks ini merujuk pada pembukaan pasar nasional untuk jasa dari luar negeri, termasuk pendidikan tinggi.

Kebijakan liberalisasi sektor pendidikan yang berakar dari GATS berkontribusi terhadap peningkatan biaya pendidikan atau Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berikut adalah beberapa poin yang menjelaskan bagaimana kebijakan ini bisa menyebabkan mahalnya UKT:

Komersialisasi Pendidikan: Dengan liberalisasi, pendidikan diperlakukan sebagai komoditas yang diperdagangkan. Perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, cenderung mengadopsi model bisnis untuk menarik pendapatan yang lebih besar, termasuk dari mahasiswa. Ini sering kali menyebabkan kenaikan biaya pendidikan untuk menutupi berbagai kebutuhan operasional dan pengembangan institusi.

Persaingan Global: Perguruan tinggi di negara-negara berkembang harus bersaing dengan institusi dari negara-negara maju yang memiliki sumber daya lebih besar. Untuk tetap kompetitif, universitas di negara berkembang harus meningkatkan kualitas layanan, infrastruktur, dan kurikulum mereka, yang semuanya membutuhkan dana tambahan dan sering kali dibebankan kepada mahasiswa melalui kenaikan UKT.

Pengurangan Subsidi Pemerintah: Di bawah tekanan untuk mengurangi pengeluaran publik, banyak pemerintah mengurangi subsidi untuk pendidikan tinggi. Ini memaksa perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan alternatif, yang sering kali berupa peningkatan UKT.

Investasi Asing: Kebijakan liberalisasi menarik investasi asing di sektor pendidikan. Sementara ini bisa meningkatkan kualitas pendidikan, investasi asing juga sering kali mengarah pada peningkatan biaya pendidikan karena adanya tujuan untuk mendapatkan return of investment yang signifikan.

Kualitas dan Fasilitas: Untuk memenuhi standar global dan menarik mahasiswa internasional, universitas perlu meningkatkan fasilitas, teknologi, dan sumber daya lainnya. Ini semua membutuhkan biaya besar yang sering kali diteruskan kepada mahasiswa dalam bentuk UKT yang lebih tinggi.

Secara keseluruhan, kebijakan liberalisasi pendidikan yang didorong oleh GATS menciptakan lingkungan di mana pendidikan tinggi lebih berorientasi pasar. Ini berdampak pada peningkatan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa dan keluarganya, yang pada gilirannya berkontribusi pada mahalnya UKT di banyak negara.

Indonesia, sebagai anggota WTO, melakukan ratifikasi liberalisasi bidang pendidikan melalui UU No 7 Tahun 1994 yang mengatur tata perdagangan barang, jasa, dan hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan (TRIPS).

Pendidikan tinggi dipandang sebagai bentuk bisnis jasa karena dianggap mengubah seseorang dari tidak terampil menjadi terampil. WTO memiliki metode tersendiri untuk penyediaan pendidikan oleh asing ke negara penerima, termasuk pengadaan lintas batas, konsumsi di luar negeri, kehadiran komersial, dan kehadiran orang alami.

Dengan liberalisasi pendidikan tinggi, pemerintah Indonesia menerbitkan berbagai peraturan yang memungkinkan pembiayaan pendidikan diperoleh dari pemerintah, masyarakat, dan pihak luar negeri, serta memberi otonomi kepada perguruan tinggi untuk mengelola keuangan mereka secara mandiri. Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2003, dan UU No. 12 Tahun 2012 menekankan bahwa pendanaan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012. Hal ini menyebabkan perguruan tinggi harus mengelola dana mereka secara mandiri, dengan paradigma bisnis yang memaksa mereka mencari sumber pendanaan sendiri. Akibatnya, mahasiswa menjadi salah satu sumber utama pembiayaan lembaga, menambah beban finansial yang harus ditanggung oleh mereka.

 

Sedikit Gambaran Pendidikan di Negara Nordik

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pendidikan gratis di negara-negara Nordik (Eropa Utara) dapat terwujud karena tingginya pajak individu yang dikenakan di sana. Menurutnya, tarif pajak pendapatan di negara-negara tersebut berkisar antara 65—70%, yang memungkinkan pemerintah untuk memiliki dana yang cukup untuk menyediakan fasilitas dasar, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan gratis di negara-negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh pajak tinggi yang dibayar oleh penduduknya.

Sri Mulyani juga membandingkan kondisi ini dengan Amerika Serikat, di mana tarif pajak lebih rendah tetapi masyarakat harus membayar lebih mahal untuk fasilitas dasar, termasuk biaya pendidikan tinggi yang sangat mahal. Kesimpulannya, kehadiran pemerintah dalam menyediakan fasilitas dasar tidak bisa gratis dan memerlukan pendapatan negara yang lebih besar untuk mendukungnya.

Pernyataan Menkeu tersebut menunjukkan bahwa tidak ada jalan untuk kuliah gratis dalam sistem kapitalisme. Ini adalah pernyataan pejabat negara yang tidak menunjukkan empati dan menghapus harapan untuk solusi atas mahalnya biaya kuliah. Solusi yang ditawarkan dengan menaikkan pajak hanya memindahkan beban dari pemerintah kepada rakyat.

Pemerintah seharusnya mencari sumber pendapatan tanpa membebani rakyat, seperti mengelola sumber daya alam dengan baik. Masalahnya, politik kekuasaan kapitalistik yang memberikan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta, baik nasional maupun asing, sehingga keuntungan tidak dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.

 

Dampak Kapitalisasi Pendidikan

Kapitalisasi pendidikan ini memiliki dampak signifikan. Pertama, munculnya gap sosial yang semakin lebar. Mahasiswa dari keluarga kurang mampu kesulitan mengakses pendidikan tinggi, memperburuk ketidakadilan sosial. Selain itu, kampus-kampus yang berusaha meraih standar kelas dunia atau World Class University (WCU) terpaksa meningkatkan biaya operasional mereka, yang akhirnya dibebankan kepada mahasiswa.

Korupsi di perguruan tinggi juga menjadi isu serius, termasuk kasus penjualan orang dengan modus magang di luar negeri. Paradigma pengelolaan pendidikan tinggi ala kapitalisme ini memperkuat kekuasaan korporasi dan memperpanjang dominasi kapitalisme global di Indonesia. Perguruan tinggi yang seharusnya berfokus pada pendidikan kini berubah menjadi ladang bisnis, mengikuti konsep triple helix yang menggabungkan pemerintah, pendidikan, dan bisnis.

 

Solusi dalam Perspektif Islam

Untuk mengatasi problem tingginya biaya pendidikan, pendekatan yang tepat adalah kembali pada sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh negara. Negara bertanggung jawab memastikan akses pendidikan yang merata, bermutu tinggi, dan bahkan bebas biaya.

Sistem Islam ini didukung oleh berbagai sistem aturan Islam lainnya, seperti sistem ekonomi Islam yang menjamin masyarakat hidup sejahtera dengan sumber-sumber pemasukan negara yang besar dan berkelanjutan, seperti hasil tambang, fai, ganimah, kharaj, dan jizyah. Negara juga mendorong kaum muslim untuk menginfakkan hartanya, dan jika dana masih kurang, kewajiban pembiayaan akan beralih kepada seluruh kaum muslim yang mampu.

Islam melarang negara mengalihkan tanggung jawab pembiayaan kepada korporasi. Sebagai penguasa, negara berkewajiban mendorong masyarakat untuk menuntut ilmu dan menghargai orang-orang berilmu. Kebijakan negara secara sistemis akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh sistem pendukungnya, mulai dari anggaran hingga politik luar negeri, untuk memastikan pendidikan yang berkualitas tinggi dan merata.

Selama kapitalisme menjadi dasar dan negara hanya berperan sebagai pengatur, pendidikan yang benar-benar gratis tetap menjadi angan-angan. Sebaliknya, jika negara mengambil tanggung jawab penuh, pendidikan gratis bisa terwujud. Namun, tanggung jawab penuh ini hanya bisa dijalankan dalam sistem yang menerapkan syariat Islam secara kafah, yaitu Khilafah, seperti yang pernah terjadi pada masa kejayaan peradaban Islam.

Mengapa demikian? Pertama, dalam sistem Khilafah, khalifah bertindak sebagai penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat, sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dalam riwayat Bukhari bahwa pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah dalam sistem Khilafah tidak akan membebani rakyat dengan pungutan yang tidak adil, melainkan mencari sumber pendapatan yang sesuai syariat untuk membiayai pendidikan.

Kedua, negara menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk dalam bidang ekonomi. Sistem ekonomi Islam mengatur pengelolaan sumber daya alam agar dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk segelintir orang seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, ada pengelolaan pemasukan negara dari pos fai dan kharaj.

Ketiga, pendidikan dibiayai penuh melalui baitul mal. Jika pendapatan dari kepemilikan umum dan negara tidak mencukupi, negara wajib menutupi kekurangan ini segera, misalnya dengan berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi dengan dana dari dharibah (pajak) yang hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya.

Keempat, pengelolaan pendidikan tinggi berbasis syariat. Negara mendirikan lembaga pendidikan tinggi sesuai misi syariat, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dalam menyelesaikan problematika umat dan mewujudkan kemaslahatan umat. Kampus atau jurusan yang bersifat primer diutamakan, sementara yang bersifat pelengkap didirikan saat dana mencukupi. Ini berbeda dengan tata kelola kapitalistik yang mengikuti selera pasar dan industri.

Sejarah mencatat bahwa madrasah terbesar pertama di dunia Islam adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan pada 1065—1067 M di Baghdad. Madrasah ini dikelola oleh pemerintah dengan manajemen yang baik, pendanaan yang memadai, serta fasilitas yang lengkap. Guru-gurunya digaji, terdapat perpustakaan yang lengkap, asrama, dan makanan untuk siswa, serta biaya sekolah yang gratis dan kurikulum yang ditetapkan oleh negara.

 

Kesimpulan

Kapitalisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari liberalisasi sektor pendidikan yang diatur oleh WTO dan diadopsi melalui berbagai peraturan nasional. Sistem ini menyebabkan peningkatan biaya pendidikan yang memberatkan mahasiswa dan memperburuk karut-marutnya pendidikan di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan yang tepat adalah kembali pada sistem pendidikan Islam yang menjamin akses pendidikan berkualitas tinggi dan bebas biaya bagi seluruh masyarakat. Islam menawarkan solusi komprehensif dengan dukungan sistem ekonomi yang kuat, menghilangkan beban finansial dari mahasiswa dan memastikan peran negara sebagai pengurus dan penjaga hak dasar rakyatnya. Wallahu a'lam bish-shawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version