Oleh: M Rizal Fadillah
Betapa negara memasuki fase gawat. Banser dilatihi militer oleh kepolisian seolah menjadi milisia yang disiapkan berperang. Ormas lain tak ada yang dibuka hak sama.
Luar biasa ketidakadilan bagi anak bangsa. Untuk pelatihan serupa seharusnya merujuk pada aturan perundang-undangan. Bila tidak, hal ini merupakan pekerjaaan sewenang-wenang yang membahayakan.
Perilaku militer dilakukan oleh sipil tanpa pengawasan dan kendali, membawa karakteristik premanisme dan sok jagoan. Ujungnya persekusi demi persekusi.
Apakah terjamin mereka yang dilatih itu benar-benar terseleksi dan berbasis keagamaan yang baik. Bagaimana jika terjadi penyusupan dari kader kalangan ideologi terlarang, PKI misalnya. Apa spirit membentuk angkatan kelima ingin diwujudkan dengan mendompleng ormas keagamaan? Persoalan tidak sederhana. Pemerintah harus terbuka dalam hal ini. Karena fenomena ini telah menyangkut aspek keamanan negara.
Dalam batas tertentu penggunaan atribut militer oleh sipil mungkin bisa ditoleransi, akan tetapi jika itu masif, massal, atau mengaburkan dan menggelisahkan publik, jelas mesti diperhatikan serius. Pemerintah dan TNI mesti peduli. Perlu evaluasi menyeluruh untuk sistem mobilisasi dan pengendalian keamanan negara yang melibatkan masyarakat sipil.
TNI harus lebih maju melangkah. Mencegah terjadi perpecahan karena salah manajemen negara dalam aspek pertahanan dan keamanan. Sumber daya manusia khususnya lembaga keagamaan tak mesti steril dari aspek pembinaan fisik.
Akan tetapi tanpa kejelasan arah dan di luar koridor perundang-undangan, maka akan rawan menjadi tunggangan kepentingan politik bagi pengacau negara, perusak ideologi, penggalang masa rakyat untuk menyusup dan merebut kekuasaan. Daripada terlambat, TNI mesti berbuat. [syahid/voa-islam.com]