Oleh: M Rizal Fadillah
BIN mengungkap adanya 50 mubaligh atau ulama radikal di 41 Masjid instansi Pemerintah berdasarkan hasil kajian P3M NU. Berlanjut pada tuntutan DPR-RI agar dibuka siapa 50 penceramah/mubaligh tersebut.
Ada yang unik dari pengungkapan tersebut, pertama disampaikan oleh Badan Intelijen Negara dan kedua Badan Intelijen mengungkapkan atas dasar kajian sebuah badan swasta, yaitu P3M NU.
BIN sebagai badan intelijen negara dalam operasi dan hasil operasi intelijennya semestinya berhati-hati dalam mengungkap. Jika masih mentah, perlu didalami lebih lanjut. Jika sudah matang, dialokasikan kemana temuan atau kajian itu ditujukan.
Kepada instansi mana yang punya kewenangan menindaklanjuti apakah kementrian, polisi, tentara atau lainnya. BIN bukan lembaga negara yang fungsinya bermanuver politik. Apalagi ungkapan yang menimbulkan pertanyaan lanjutan. Tantangan untuk membuka oleh DPR adalah masalah tersendiri. Implikasinya psikologis, politis, mungkin juga yuridis.
BIN mengungkap 50 penceramah/mubaligh dan 41 masjid terpapar radikalisme berdasarkan kajian sebuah lembaga swasta yang keterujian publiknya masih belum jelas. BIN menempatkan diri seolah-olah sebagai "divisi humas" dari lembaga tersebut. Sebenarnya cukuplah lembaga kajian itu yang mengumumkan, lalu BIN menindaklanjuti sesuai dengan fungsinya.
Kini pengungkapan 50 penceramah sebagai penyebar radikalisme, menjadi bola liar yang bisa ditendang sana-sini oleh banyak pihak. Tidak edukatif. 50 penceramah jika dibuka siapa mereka, bisa melakukan langkah pembelaan hukum.
Suatu kualifikasi atau predikat, apalagi membahayakan publik, mestilah berdasarkan hukum. Tak boleh seseorang dihukum oleh opini, media, atau BIN sekalipun. Lembaga peradilanlah yang paling berhak. Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, bukan negara persekusi, bukan pula negara intel.
Undang-undang telah mengatur soal radikalisme, ujaran kebencian, atau diskriminasi. Jika terjadi, maka biarlah proses hukum berjalan secara obyektif dan terbuka. Masyarakat dapat ikut menilai sejauh mana kejahatan itu telah terjadi, tidak semata kriminalisasi. Apalagi di tengah tuduhan pemerintah sekarang ini kerap melakukan kriminalisasi ulama dan permisif pada penista agama.
Ketika sentimen keagamaan terus dipermasalahkan, harusnya kepekaan politik penguasa itu tinggi.
Sayangnya, saat umat Islam sedang merasakan ketidakadilan rezim dan ada rasa terluka, masih saja terus bermain-main di aras kebijakan pemojokkan keagamaan dan tokoh tokohnya.
Skim politik mengobok-obok ini bisa menimbulkan dugaan adakah disain besar untuk pelemahan atau anti agama? Adakah gerakan sekularisme atau komunisme di balik ini? Ujungnya adakah kekuatan yang hendak menggerus ideologi negara yang telah disepakati bersama?
Pertanyaan di atas muncul karena persatuan dan kesatuan dirasakan hanya jadi slogan. Radikalisme, intoleran, dan ujaran kebencian menjadi kendaraan untuk memproteksi penyimpangan, kemaksiatan, korupsi, dan kekuasaan otoriter. Haruskah sikap kritis dihukumkan radikal dan intoleran. Mestikah masjid dan tempat ibadah lain dicurigai sebagai sarang anti perbedaan dan demokrasi.
Sungguh telah terjadi pembalikkan nilai dan pelacuran moral yang dipelihara. Quo vadis, kemana bangsa akan diarahkan wahai pemimpin. Atau memang engkau memimpin dengan tak jelas dan tak punya arah selain nafsu untuk menikmati kekuasaan itu sendiri. Negarawan atau penghianat bangsakah engkau? [syahid/voa-islam.com]