BANDUNG (voa-islam.com) - Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Riacudu menyebut bahwa ada prajurit TNI yang terpapar paham radikalisme. Bahkan berdasarkan data Kemenhan jumlahnya mencapai 3 persen.
"Kurang lebih 3 persen, ada TNI yang terpengaruh radikalisme," katanya dalam sebuah acara halalbihalal beberapa waktu yang lalu.
Pengamat Terorisme dan Intelijen Harits Abu Ulya menilai bahwa pernyataan yang disampaikan oleh Kemenhan tentang jumlah anggota TNI yang terpapar paham radikalisme sebanyak 3% itu secara kuantitatif bersifat pasti.
"Menhan sudah menyebut angka pasti 3%, artinya jumlah anggota TNI aktif itu pasti bukan lagi perkiraan. Dan kuantitatif 3% dari jumlah anggota TNI aktif itu angkanya tentunya fiks alias pasti jugaa," katanya dalam keterangan terulisnya kepada voa-islam.com, Jumat (20/06) yang lalu.
"Kalau yang bicara adalah pejabat yang urus TNI, dan bicara tentang anggota TNI yang di urus maka rakyat mau tidak mau harus percaya dengan statemen tersebut terlepas benar atau salah," tambahnya.
Namun yang menjadi masalah dan blunder, lanjut Harits adalah ketika statemen itu meski berbasis data namun substansinya masih menjadi perdebatan.
"Menhan perlu menjelaskan ke publik soal konsepsi yang diadopsi tentang hakikat radikal dan radikalisme. Kemudian juga Menhan harus jelaskan ke publik apa tolak ukur atau parameter seseorang khususnya anggota TNI itu telah terpapar radikalisme? Karena ini dua point substansi yang krusial, jangan sampai ada cacat paradigma dan ambiguitas tolak ukur," jelasnya.
Menurut Harits bisa saja anggota TNI aktif di sela-sela waktunya di luar dinas atau tugas kemudian ia rajin memperdalam pengetahuan agamanya. Di luar kewajiban ibadah ritual (solat dll), kemudian ia belajar dan rajin hadir di majelis-majelis taklim atau belajar kepada para ulama.
"Apakah sosok seperti itu kemudian dianggap terpapar radikalisme? Atau ketika masuk lebih dalam pada pembahasan politik dalam Islam akan menemukan topik-topik jihad, pemerintahan dll yang hakikatnya itu bagian integral dari ajaran Islam. Apakah kemudian seseorang yang belajar itu dianggap terpapar radikalisme?" ungkapnya
Direktur CIIA ini juga mengatakan bahwa publik berharap para pejabat pemangku kepentingan itu bijak, dan tidak membabi buta terseret isu radikalisme.
"Dibalik getolnya isu radikalisme yang liaar di ruang publik saya memahami secara implisit di dalamnya ada upaya untuk menyudutkan ajaran Islam dan mencurigai kekuatan Islam Politik. Jika demikian ini akan menjadi blunder politik yang tak berujung. [syahid/voa-islam.com]