View Full Version
Selasa, 11 Aug 2009

Ibunda Rab'ah bin Abi Abdirrahman

Alkisah, ayahnya Rabi’ah yang bernama Farrukh, ikut serta dalam ekspedisi kaum muslimin menuju khurasan untuk berperang dimasa pemerintahan Bani Umayyah. Ketika itu Rabi’ah masih berada dalam kandungan ibunya. Sang ayah meninggalkan uang tiga puluh ribu dinar untuk istrinya, ibunda Rabi’ah. Setelah itu farrukh pun berangkat untuk berjihad fii sabiilillah.

Dua puluh tahun berjalan, Farrukh sang Mujahid kembali ke Madinah sembari mengendarai kuda dengan tombak ditangan. Sesampainya di rumah, ia turun dari kudanya lalu mendorong pintu rumah dengan tombak tadi. Sontak, Rabi’ah ( yang merasa asing denagn orang ini ) segera keluar seraya membentaknya, “ hei musuh allah! Engkau hendak membobol rumahku?” “tidak,” sahutnya, Farrukh pun kembali bertanya, “ hei musuh Allah, jadi kamu lelaki asing yang berani mengganggu istriku?” keduanya pun saling menyerang satu sama lain dan bergumul dalam perkelahian hebathingga para tetangga berkerumun disekitar mereka. Akhirnya kabar ini sampai ke telinga Imam Malik bin Anas –salah seorang murid Rabi’ah- dan beberapa syaikh lainnya. Mereka pun dating untuk menolong Rabi’ah. Rabi’ah berkata kepada lelaki itu, “ Demi allah , aku tak akan melepaskan mu sebelum membawamu ke hadapan sultan, “ Farrukh menimpali, “ Aku tak akan melepaskanmu juga, dank au tertangkap basha ada bersama istriku.”

Orang-orang pun rebut membicarakannya . akan tetapi, ketika tampak oleh mereka Imam Malik, semua tenang kembali. Lalu Imam Malik berkata kepada lelaki tadi, “ Hai pak tua! Silahkan anda mencari rumah lainnya,” “ ini rumahku sendiri,” sahut lelaki tadi, “ akulah Farrukh Maula Bani Fulan.” Kata-kata Farrukh tadi ternyata  terdengar oleh istrinya dari dalam rumah, maka ia pun bergegas keluar dan berkata, “orang ini adalah suamiku, dan pemuda ini adalah puteraku. Suamiku ini meninggalkanku dalam keadaan mengandung anaknya!”

Akhirnya keduanya saling berpelukan dengan bercucuran air mata. Lalu Farrukh masuk ke dalam rumahnya dan bertanya keheranan, “ pemuda itu adalah puteraku? ” “Ya,” jawab istrinya. Farrukh pun tenggelam dalam pembicaraan bersama istrinya, ia asyik bercerita tentang pengalaman jihadnya selama ini, dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun istrinya tak bisa menikmati ceritanya, ia digelayuti fikiran yang tiba-tibamuncul dalam benaknya. Kebahagiaannya berkumpul dengan sang suami dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah habis. Dalam hati ia bergumam, “apa yang harus kukatakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimanakah kiranya sikap suamiku jika kukatakan bahwa harta itu telah habis tak tersisa…? Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan Rabi’ah? Percayakah dia bahwa pendidikan puteranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah ia meyakinkan Farrukh bahwa tangan puteranya lebih pemurah dari pada awan yang mengguyur bumi dengan hujannya, hingga tak menyisakan satu dirham pun? Padahal seluruh warga Madinah tahu bahwa Rabi’ah amat pemurah dalam menyantuni guru-gurunya.”

Dan apa yang dikhawatirkannya itu ternyata terjadi juga. Tiba-tiba Farrukh menoleh kepada istrinya seraya berkata, “Aku membawa uang 4000 dinar. Ambillah uang yang kutitipkan padamu dahulu. Mari kita kumpulkan semua lalu kita belikan kebun atau rumah. “ tapi Ummu Rabi’ah pura-pura sibuk dan tak menjawabnya. Maka Farrukh mengulangi lagi permintaannya, “ Ayo lekaslah, mana uang itu?” “uang itu telah kusimpan ditempat yang aman, nanti akan kukeluarkan beberapa hari lagi, insya Allah ,” jawab istrinya. Pembicaraan keduanya pun terputus lantaran adzan berkumandang. Maka Rabi’ah segera berangkat menuju masjid lalu duduk di halaqah-nya. Tak lama berselang, datanglah Imam Malik bin Anas, al-Hasan bin Zaid, Ibnu Abi Ali al-Lahbi, al-Musahiqi, dan tokoh-tokoh Madinah lainnya, dan orang-orang berkumpul mengitarinya. Di rumah istri Farrukh ( ibunda Rabi’ah ) berkata kepada suaminya, “ Ayo, sekarang berangkatlah dan shalatlah di masjid Rasulullah ( Masjid Nabawi ).” Maka ia pun berangkat dan kemudian shalat disana. Di masjid itu tampak olehnya sebuah halaqah yang penuh sesak oleh manusia. Ia segera mendatanginya dan berdiri di dekatnya. Orang-orang sedikit melonggarkan jalan baginya, sedangkan Rabi’ah sedikit menundukkan kepalanya seakan ia mengisyaratkan bahwa ia tak pernah melihat lelaki tadi. Ia duduk dibawah thawilah ( sejenis canopy). Abu Abdirrahman (Farrukh) merasa ragu atas pemandangan yang ia saksikan. Kemudian ia bertanya, “ siapa syaikh ini?” “apa anda bukan warga Madinah?” kata orang tersebut. “saya penduduk sini,” jawab Farrukh. “ Masih adakah di Madinah orang yang tak mengenalnya?” Tanya orang tersebut. “ Maaf saya benar-benar tidak tahu sejak 27 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali,” kata Farrukh. “Oo..wajar saja, duduklah sejenak akan saya jelaskan. Syaikh itu adalah seorang tokoh tabi’in, dan ulama terpandang. Dialah ahli Haditsnya kota Madinah. Dia juga seorang faqih dan imam panutan kami meski usianya masih sangat muda,” ujar orang tersebut. “ Masya Allah.. la quwwata illa billah,” kata Farrukh terkagum-kagum. “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Yahya bin Sa’id al-Qahthan, al-Auza’I, Laits bin Sa’ad, dan lain-lain,” lanjut orang itu. “ Tetapi anda belum..” kata Farrukh hendak bertanya. Namun tanpa memberinya kesempatan, orang tersebut melanjutkan keterangannya, “ Dia juga terkenal sangat dermawan dan bijaksana. Di Madinah tidak ada orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan kerabatnya dari dia. Dia hanya mengharap apa yang ada di sisi Allah SWT.” “iya, tapi anda belum menyebutkan namanya,” sela Farrukh. “namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi,” jawab orang itu. “Rabi’ah ar-Ra’yi?” Tanya Farrukh.

“Nama aslinya Rabi’ah, tetapi para ulama danpemuka Madinah biasa memanggilnya Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash al-Quran atau hadits, mereka bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah tersebut dengan menggunakan qiyas apabila tidak menemukan dalil yang jelas, kemudian menyimpulkan hukumbagi mereka yang memerlukannya secara bijaksana.”

Nama aslinya Rabi’ah, tetapi para ulama danpemuka Madinah biasa memanggilnya Rabi’ah ar-Ra’yi. Karena setiap kali mereka menjumpai kesulitan atau merasa tidak jelas tentang suatu nash al-Quran atau hadits, mereka bertanya kepadanya. Kemudian beliau berijtihad dalam masalah tersebut dengan menggunakan qiyas apabila tidak menemukan dalil yang jelas, kemudian menyimpulkan hukumbagi mereka yang memerlukannya secara bijaksana.” “tapi anda belum menyebutkan nasabnya,” sela Farrukh lagi. “Dia adalah Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, putra Farrukh yang berangkat berjihad fi sabilillah  sejak 27 tahun silam. Kemudian ibunyalah yang memeliharadan mendidiknya . tadi sebelum shalat tadi saya mendengar dari orang-orang bahwa ayahnya telah kembali kemarin malam.” Tiba-tiba berderailah air mata Farrukh tanpa orang itu tahu sebabnya. Lalu kembalilah Abu Abdirrahman ke rumahnya dan bercerita kepada Ummu Rabi’ah, “Sungguh, aku telah mendapati puteraku dalam suatu keadaan yang tak pernah dicapai oleh seorang pun dari kalangan ahli ilmu maupun fuqaha.” Maka si ibu mengatakan,” manakah yang lebih kau sukai, tiga puluh ribu dinar, atau yang baru saja yang kau lihat tentang puteramu?” “Tidak, demi Allah, tak ada yang lebih kucintai  melainkan apa yang baru saja kulihat!” sahut Farrukh. “Ketahuilah bahwa aku telah membelanjakan uang itu seluruhnya demi pendididkan puteramu,” kata Ummu Rabi’ah. “Sungguh demi Allah, kau tak menyia-nyiakannya kalau begitu,” kata Farrukh.

(waroah dachlan/voice of al islam)


latestnews

View Full Version