Malaysia (voa-islam.com) - Kemasyhuran ulama besar kharismatik asal tanah Minang, almarhum Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tidak saja dikenal kaum muslimin di Indonesia. Di Malaysia pun, kebesaran ulama yang akrab disapa Buya Hamka ini sangat populer.
Bahkan di negeri yang serumpun dengan Indonesia ini, banyak warganya yang mengagumi karakter, pemikiran dan perjuangan dari sosok Buya Hamka serta menjadikannya sebagai salah satu soko guru agama Islam di tanah Melayu.
Kegigihan Buya Hamka dalam mendakwahkan Islam di tanah Melayu (Indonesia dan Malaysia) diakui oleh pemerintah Malaysia. Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia, Dato’ Seri Utama Dr Rais Yatim menyebut Buya Hamka sebagai perekat kebudayaan Melayu di Indonesia dan Malaysia.
...Dalam kiprahnya, Buya Hamka memiliki peranan penting dalam merapatkan hubungan negara serumpun Indonesia-Malaysia," ungkap Rais Yatim...
"Dalam kiprahnya, Buya Hamka memiliki peranan penting dalam merapatkan hubungan negara serumpun Indonesia-Malaysia," ungkap Rais Yatim ketika membuka seminar 'Serantau Seabad Buya Hamka' di Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor, Senin kemarin (25/1/2010).
Seminar itu juga dihadiri dihadiri oleh Wakil Dubes RI untuk Malaysia Tatang B Razak, Rusdi Hamka (anak Buya Hamka), Ketua PP Muhammadiyah Prof Yunahar Ilyas, sosiolog Minangkabau Mochtar Naim, dan Rektor Kolej Darul Hikmah Malaysia Dr Siddiq Fadhil.
Selain seminar, peringatan seabad Buya Hamka juga digelar persembahan 'Malam Kesenian dan Kebudayaan Minangkabau' yang selenggarakan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Minang (IKMM) di Malaysia bekerja sama dengan Universiti Kebangsaan Malaysia yang menampilkan tari-tarian tradisional Minangkabau, saluang dan rabab.
Rais Yatim mengatakan, Buya Hamka sangat berperan dalam mengembangkan Bahasa dan budaya Melayu yang kemudian digunakan rakyat Indonesia dan Malaysia sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi sehari-hari. Banyak kosakata Melayu yang masuk diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan Malaysia.
"Saya sangat dekat dengan almarhum Buya Hamka pada dekade 1970-an dan 1980-an hingga sebelum meninggal. Saya juga banyak membaca novel dan buku beliau serta mengetahui kiprah politik almarhum," ujarnya.
Tatang B Razak menilai, kiprah Buya Hamka bukan saja sebagai ulama dan politisi, tetapi juga budayawan melayu. Hal itu menurutnya, dibuktikan melalui karya masterpiece-nya yaitu Tafsir Al-Azhar dan novel 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' dan 'Di Bawah Lindungan Ka'bah'.
"Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai," ujar Tatang.
Rusdi Hamka menambahkan, ketegasan dan karakter Buya Hamka begitu berkesan. Hal itu dibuktikan dengan sikapnya yang banyak bertentangan dengan kebijakan Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Penentangan itu mengakibatkan Buya Hamka harus merasakan terali besi di era Soekarno.
"Tapi ada hikmahnya Soekarno ini bagi Buya Hamka. Tiga tahun dalam penjara, beliau malah bisa menyelesaikan tafsir Al-azhar," cetusnya.
Sementara itu, Siddiq Fadhil mengungkapkan, Buya Hamka adalah sosok pejuang bahasa dan budaya Melayu kharismatik yang pernah dimiliki bangsa Melayu.
"Beliau adalah pejuang bahasa Melayu murni. Jarang ada agamawan yang peduli terhadap sastra dan bahasa. Dia begitu menyayangi bahasa Melayu sehingga bisa diislamkan, dan bahasa Melayu memiliki jati diri," pungkas dia.
Buya Hamka dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Beliau meninggal pada 24 Juli 1981 di Jakarta pada usia 73 tahun.
Selain sebagai ulama, Buya Hamka juga sebagai sastrawan Indonesia, budayawan, dan aktivis politik. Buya Hamka pernah mendapat Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada 1974 yang diberikan langsung oleh PM Tun Abdul Razak. (Ibnudzar/ant)