FATIMAH binti Yahya adalah seorang wanita mujtahid (mujtahidah) hebat pada abad ke-9. Mujtahid adalah sebuah terminologi keislaman bermakna seorang ulama mumpuni yang memiliki otoritas menarik kesimpulan hukum dari sumber-sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah).
Kemudian mereka menggunakan proses penarikan kesimpulan tersebut untuk memberi fatwa berkenaan dengan persoalan-persoalan kontemporer serta kebutuhan-kebutuhan individu di dalam sebuah masyarakat. Seseorang yang menyandang label mujtahid, maka dia harus memiliki pengetahuan Al-Qur`an dan sunnah, serta konsensus (ijma’) para sahabat, tabiin, para ulama fikih dan mujtahid lainnya.
Oleh karena itu, menjadi seorang mujtahid bukanlah perkara mudah. Namun Fathimah binti Yahya layak menyandangnya. Dia mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan melalui ayahnya yang merupakan salah seorang pakar hukum yang memiliki sejumlah murid.
...Ulama besar Imam Asy-Syaukani menyebut Fathimah sebagai orang yang dikenal luas dikarenakan pengetahuan yang dimilikinya...
Ulama besar, Imam Asy-Syaukani mengatakan tentang Fathimah, “Dia dikenal luas dikarenakan pengetahuan yang dimilikinya. Dia seringkali terlibat debat dengan ayahnya dalam beberapa persoalan fikih dan hukum. Ayahnya menyatakan bahwa Fathimah telah mengaplikasikan ijtihad dengan baik dalam melansir sejumlah fatwa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dia terdepan dalam hal ilmu pengetahuan. Karena sang ayah tidak akan gegabah mengomentari demikian terkait seseorang, kecuali orang tersebut memang layak dengannya.”
Ayahnya kemudian menikahkannya dengan seorang ulama lainnya, yaitu Al-Muthahhar bin Muhammad bin Sulaiman bin Muhammad (w. 879). Tak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa Al-Muthahat sungguh beruntung menikah dengan Fathimah. Ini mengingat, setiap kali dia kebingungan atas sesuatu persoalan fikih dan hukum, maka dia bisa berkonsultasi dengan istrinya untuk mencari keputusan tentang persoalan-persoalan fikih.
Pun demikian halnya ketika Al-Muthahhar berada di tengah-tengah muridnya, lalu menghadapi berbagai persoalan fikih dan hukum yang rumit, maka dia bangkit menuju tirai yang di baliknya terdapat Fathimah, sang mujtahidah, untuk bertanya kepadanya. Ketika Al-Muthahhar kembali dengan membawa sebuah jawaban atas persoalan sukar, maka murid-muridnya akan berkata, “Jawaban itu bukan dari engkau, melainkan dari balik tirai.” [ganna pryadha/voa-islam.com]