Berdakwah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zhalim memang tidak mudah. Konsekwensi dari mulai dipenjara, disiksa maupun dibunuh adalah resiko yang harus diterima. Namun demikian Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memberikan kabar gembira bagi mereka yang syahid di kalangan para da’i yang tetap tegas menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zhalim.
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَرَجُلٌ قَالَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim lalu ia menyuruhnya dan melarangnya, lalau pemimpina itu membunuhnya. (Hadits Shahih dalam Mustadrak ‘ala shahihain, imam Al Hakim no. 4884).
Dalam hadits yang lain ditegaskan:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling afdhal adalah berkata benar di hadapan pemimpin zhalim (H.R. Abu Dawud no. 4344, Ibnu Majah no. 4011, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).
Sekelumit kisah Ibrahim bin Maimun Ash Shai’gh berikut ini adalah contoh di kalangan ulama salafus shalih yang tak tianggal diam melihat kemunkaran yang dilakukan seorang pemimpin, meskipun di zamannya masih berdiri kekhilafahan.
Ibrahim Ash Shai’gh adalah ulama perawi hadits dan sahabat imam Abu Hanifah. Ia hidup di masa pemerintahan khilafah Bani Abbasiah Abu Ja’far al Manshur. Berikut ini kisah beliau yang dikutip sebagian ulama sebagai ibrah.
Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “ketika Abu Hanifah mendengar kabar kematian Ibrahim Ash Shai’gh, ia menangis sampai kami khawatir ia akan mati. Kami lalu menungguinya. Ia lalu berkata, demi Allah ia adalah orang yang cerdas. Sungguh aku sudah takut hal ini akan terjadi. Aku bertanya, apa sebabnya? Ia menjawab; ia pernah datang kepadaku dan bertanya. Ia adalah orang yang sangat berani mengorbankan diri untuk menaati Allah. Dia adalah orang yang sangat wara’. Aku pernah memberinya sesuatu lalu ia bertanya padaku. Jika tidak ridha ia tak mau mencicipinya.
Ia bertanya padaku tentang amar ma’ruf nahi munkar sehingga kami sepakat bahwa hal itu merupakan salah satu kewajiban dari Allah. Ia berkata padaku; ulurkan tanganmu sehingga aku berbaiat padamu lalu dunia menggelapkan aku dengannya. Aku bertanya padanya; mengapa? Ada yang mengajakku pada hak Allah kemudian engkau menolaknya. Aku berkata kepadanya, jika hanya satu orang yang melakukannya, ia akan terbunuh dan urusan manusia tidak lebih baik, tetapi jika ada para penolong yang shalih dan seorang laki-laki yang memimpinnya, amanah atas agama Allah tidak berubah.
Abu Hanifah berkata; akibatnya setiap kali bertemu denganku , ia menagihku seperti menagih hutang. Setiap kali bertemu denganku, ia menagihku. Aku katakana padanya; hal ini tidak cocok dilakukan sendirian. Para Nabi tidak mampu melakukannya sehingga mendapatkan jaminan dari langit. Kewajiban ini tidak sama dengan kewajiban lainnya, bisa dikerjakan sendirian. Jika kewajiban ini dikerjakan sendirian, berarti ia menyerahkan darahnya dan kehormatannya untuk kematian.
Aku takut jika ia mempersilahkan dirinya untuk kematian dan jika ia terbunuh, tidak ada orang yang akan sanggup mempertaruhkan dirinya.
Lalu ia pegi ke Morow, tempat Abu Muslim Al Khurasani. Di sana ia berbicara dengan kalimat yang berat lalu ia ditangkap. Ulama Khurasan dan para ahli ibadahnya lalu berkumpul untuk melepaskannya. Mereka lalu menjenguk dan menasehatinya.
Ia berkata kepada Abu Muslim, aku tidak menemukan sesuatu yang dapat aku gunakan untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih utama daripada berjihad melawanmu dan dan tidak sekedar melawan dengan lisanku, tidak dengan kekuatan tanganku, tetapi Allah melihatku bahwa aku membencimu. Abu Muslim lalu membunuhnya.
Kisah Ibrahim Ash Shai’gh di atas terdapat dalam kitab Ahkamul Qur’an (jilid II, hal 319), yang ditulis oleh Imam Al Jashash.
Para ulama telah mengambil ibrah dari kisah tersebut tentang bagaimana seharusnya berdakwah. Apalagi kisah di atas begitu tepat jika ditarik dalam kondisi kekinian, mengingat pemimpin negeri kaum muslimin di banyak tempat bukan lagi sekedar zhalim tetapi sudah menjadi thaghut.
Diantar ulama yang menyertakan kisah tersebut dalam tulisannya adalah Dr. Taufiq Al Wa’i dalam kitabnya Ad Da’wah Ilallah. Pada intinya ia menjelaskan bahwa kisah antara Imam Abu Hanifah bersama sahabatnya Ibrahim As Shai’gh merupakan contoh kongkrit dikalangan para ulama, bahwa ada di antara mereka yang dalam berdakwah memilih rukhshah (sesuatu yang dibangun di atas udzur) seperti Abu Hanifah maupun ‘azimah (sesuatu yang dibangun tanpa ‘udzur) seperti Ibrahim Ash Shai’gh.
Sementara Asy Syahid (kama nahsabuhu insya Allah) Syaikh Abdullah Azzam dalam kitabnya Hukumul ‘Amal Fi Jama’ah mengutip kisah di atas dengan bab yang diberi judul wa abu hanifah yara dharuratal ‘amal jama’i wal iltiqa ‘ala rajulin shalih.
Dari judul yang dikemukakan sudah dapat dicerna pesan Syaikh Abdullah Azzam di mana ia menekankan pendapat Imam Abu Hanifah dalam kisah tersebut akan pentinganya suatu amal jama’i yang dipimpin seorang amir yang shalih dalam rangka dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. [Ahmed Widad/voa-islam.com]