View Full Version
Jum'at, 11 Sep 2009

Hasad Dan Sihir

A. Macam-macam Hasad

1.Hasad yang Dianjurkan

Hasad ini disebut ghibthah, maknanya adalah tidak menyukai keunggulan seseorang atas dirinya, sehingga ia ingin seperti itu atau lebih baik darinya tanpa ada niat agar kenikmatan itu sirna darinya. Ini adalah kompetisi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Seperti sikap Umar tatkala berkata kepada Abu Bakar, “Aku tidak mungkin mengalahkanmu pada hal apapun selamanya,” sebagai komentar ketika Abu Bakar membawa seluruh hartanya. Syaikhul Islam berkata, “Apa yang dilakukan Umar adalah munasaf ( berlomba-lomba dalam kebaikan) dan dengki yang diperbolehkan. Ini adalh terpuji. Tetapi keadaan Abu Bakar Ash-shiddiq tentunya lebih baik darinya, sebab pada dirinya tidak ada perasaan nutuk mengalahkan orang lain secara mutlak, ia tidak melihat keadaan orang lain.”(As-suluk (10/118))

Demikian juga kondisi shahabat yang dikatakan oleh Nabi, “Akan dating pada kalian seseorang dari penghuni sutga.” Nabi mengatakannya tiga kali. Tatkala orang itu ditanya oleh Abdullah bin Amr bin Al-Ash, ia menjawab, “Aku tidak pernah mendapati dihatiku keinginan untuk menipu atau dengki kepada orang lain atas kenikmatan yang Allah berikan kepadanya.” Abdullah berkata, “Itu adalah kondisi  yang sudah terpenuhi padamu. Itulah yang sulit bagi kami.” (As-suluk (10/119))

Demikian juga seperti komentar Nabi Musa terhadap Nabi kita Muhammad di waktu peristiwa Isra, tatkala Musa menangis. Itu adalah ghibthah, yang dikatakan Nabi sebagai hasad dengan sabda beliau,

“Tidak ada hasad kecuali pada dua perkara: seorang lelaki yang dikaruniai Al-Qur’an oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya di waktu malam dan siang hari. Dan seseorang yang dianugerahi harat oleh Allah, dan ia menginfakkannya di jalan yang benar di waktu malam dan siang.” (HR.Bukhari)

oleh karena itu, timbangan iman Abu bakar setara dengan iman umat ini lantaran akhlak dan sifat terpuji yang beliau miliki, dan ia termasuk dalam golongan yang dikatakan Allah dalam firman-Nya,

“Dan orang-orang yang paling dahulu beriman. Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. Al-Waqi’ah: 10-11)


2. Hasad yang Diperbolehkan

Hasad yang diperbolehkan adalah hasad yang berkenaan dengan perkara-perkara duniawi, namun dengan dua syarat:

a)Mengucapkan doa agar diberi keberkahan dan mengingat Allah.

b)Tidak disertai harapan sirnanya nikmat itu.

3. Hasad yang Dibenci (Makruh)

Yaitu mengomentari saudaranya dengan suatu sebutan tanpa mendoakan keberkahan baginya dan tanpa berdzikir kepada Allah. Orang yang melakukannya, sungguh telah membuka asks gangguan bagi setan terhadap saudaranya itu. Meskipun tanpa keinginan sirnanya kenikmatan yang dimiliki. Ia tidak mengingat Allah sehingga menjadi tercela lantaran itu. Padahal semestinya, ia mengingat Allah di setiap waktu-nya. Sebab Allah menyanjung orang-orang yang mengingat-Nya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring. Tidak hanya mengingat Allah semata, tapi hal itu juga mencakup dengan tidak memberikan pintu di hadapan setan untuk menyakiti orang lain. Demikianlah, seperti kisah Amir bersama Sahl Radhiyallahu Anhuma.( Ia tercela lantaran tidak mengingat Allah pada komentar yang ia lontarkan saja.)

4. Hasad yang diharamkan

Hasad yang diharamkan jika tidak memenuhi syarat-syarat sebelumnya, yaitu tidak mendoakan keberkahan baginya, dan mengharapkan sirnanya kenikmatan itu dari pemiliknya. Itu adalah pengaruh ‘ain yang mematikan. Tidak muncul kecuali dari jiwa yang keaji . Semoga Allah melindungi kita darinya. Ini persis dengan kedengkian orang-orang Yahudi.

B. Apa Hubungan Antara ‘Ain dengan sihir?

Tatkala Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-falaq,

“Dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul, dan dari orang yang dengki ketika ia mendengki.” (QS. Al-Falaq: 4-5) Allah menyandingkan antara sihir dengan kedengkian(hasad).

“Dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul, dan dari orang yang dengki ketika ia mendengki.” (QS. Al-Falaq: 4-5)

Hal ini mengindikasikan adanya hubungan antara keduanya. Yaitu, tukang sihir meniupkan pada buhul-buhul rambut atau tali kelabang yang digunakan untuk mengikat setan guna menyakiti orang yang menjadi sasaran sihir. Dan orang yang hasad (dengki) menjerat setan dengan komentar yang mengagumkannya yang pengucapannya tidak disertai dengan berdzikir kepada Allah, untuk menyakiti orang yang terkena pengaruh ‘ain. Keduanya sama-sama mendatangkan bahaya. Keduanya sama-sama mendatangkan bahaya. Kedua hal ini setali tiga uang dalam hal akibat yang ditimbulkan tapi berbeda dalam penggunaan sarananya.

Catatan:

1.Firman Allah Ta’ala

“Dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul.” Mengapa Allah menggunakan bentuk ma’rifah pada kata an-naffatsaat (para peniup wanita), pada hal pada kata sebelum dan sesudahnya menggunakan bentuk nakirah (indefinite)? Sebab nya adalah, setiap wanita yang meniup-tukang sihir atau bukan- memiliki bahaya. Sementara tidak setiap kegelapan malam dan pendengki mempunyai bahaya.

2.Orang-orang awam mengatakan, “Apabila ‘aaiin (orang yang mencelakakan orang lain dengan pandangan matanya) mengetahui bahwa telah diambil darinya sesuatu, maka bekas darinya itu tidak berfungsi. Ini adalah pendapat yang salah, karena bertentangan dengan hadist Amir, “Mandilah untuk saudaramu” dan ia tahu tentang itu. Kendati demikian, pengaruh ‘ain itu hilang.

3.Pandangan beracun yang disebutkan para ulama dan mereka qiyaskan pada ular yang berekor pendek dan yang bernoktah pada punggungnya, karena jenis-jenis itu diberi kemampuan mengeluarkan racun(bisa) secara alami. Sebagaimana ayam jantan dikaruniai kemampuan pndang untuk melihat malikt. Juga anjing dan keledai diberi kemampuan untuk melihat setan. Berkaitan dengan manusia, kemampuan racun pandangannya tidak alami, tapi datang dari komentar mulut orang yang tidak berdzikir kepada Allah saat menyebutkannya. Seperti yang tertera pada hadist,

“Pengaruh ‘ain itu benar adanya, dan dibawa oleh setan.” Bukan sari indera pandangan. Sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Hajar di temapat yang telah lewat. Dan lebih jelasnya, Nabi dahulu meminta perlindungan (kepada Allah) dari jin dan mata manusia. Karena adanya hubungan antara keduanya.

(sumber: Sembuhkanlah Penyakitmu dengan Ruqyah Syar'iyyah, Abdullah bin Muhammad As-Sadhan)


latestnews

View Full Version