View Full Version
Kamis, 17 Sep 2009

Yvonne Ridley : Untung Ditangkap Thaliban, Bukan Militer AS

28 September 2001, tujuhbelas hari setelah peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center di New York. Pemimpin reporter Sunday Express, seorang single mother berusia 43 tahun, dikirim ke Islamabad untuk meliput “perang melawan teroris” yang baru saja dimulai oleh George W. Bush, presiden Amerika Serikat kala itu.

Yvonne Ridley mengenakan pakaian khas wanita Afganistan lengkap dengan burkanya, ia berusaha masuk ke Afganistan secara ilegal lewat perbatasan Pakistan. “Untuk meliput krisis kemanusiaan dan berbicara dengan orang-orang Afganistan yang tidak bisa atau tidak mau meninggalkan negara itu,” katanya memberi alasan mengapa ia ingin masuk ke negara itu.


***
 
Bukankah tindakannya itu sangat berbahaya, apalagi untuk seorang wanita dan ibu dari seorang putri? “Tapi jurnalis memang mengambil resiko ketika mereka memburu berita … Para jurnalis akan pergi (meskipun) ke daerah berbahaya, karena sifat dasar mereka pergi ke tempat di mana ada berita baru,” tegasnya.

Dalam perjalanan pulang, hanya dua mil dari perbatasan, ketika melewati pos pemeriksaan Taliban dekat Jalalabad, keledai yang ditungganginya tidak terkendali. Ia pun terjatuh dengan disaksikan lusinan mata tentara Taliban. Yvonne berusaha segera mengatasi keadaan, namun kamera yang ia sembunyikan di balik jubahnya jatuh.

Seorang tentara Taliban dengan wajah geram karena marah datang menghampirinya. “Wow..., kamu tampan sekali,” katanya dalam hati, demi memandang seorang pria muda Afganistan bermata hijau dan berjenggot lebat itu.

“Tapi kemudian rasa takut menghampiri,” katanya. Ia pikir dirinya pasti akan diperkosa beramai-ramai atau dilempari batu hingga mati. “Saya membayangkan rasa sakit yang akan saya derita, dan saya berdoa, apapun yang terjadi semoga saya mati dengan cepat.”

“Saya sangat takut. Tidak hanya karena saya ditangkap oleh rejim yang paling brutal dan kejam di dunia--itu kata-kata Presiden Bush, bukan saya-- tapi juga karena mereka membenci wanita! Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan bisa melihat matahari lagi sejak saat ditangkap.”

Yvonne lalu dibawa ke markas intelijen di Jalalabad. Di sana ia ditempatkan dalam sebuah ruangan ber-AC. “Saya bisa ke toilet yang nyaman dan mandi. Di sana saya cukup nyaman kondisinya.”

Setelah enam hari berada di tempat itu, ia pun dipindah ke Kabul. Kondisi di sana berbeda dengan di Jalalabad. “Tidak air kran yang mengalir. Jika Anda perlu air, maka harus memompa air di luar,” katanya.

“Beberapa kali saya mengira akan dipukuli atau dieksekusi. Satu ketika di Kabul, saya tidak bisa mengendalikan emosi lalu meludah, bersikap kasar, dan mengumpat mereka.” Yvonne juga mogok makan. “Saya pikir tindakan itu akan memicu reaksi keras dari mereka, tapi ternyata mereka kelihatan seperti terluka dan berkata bahwa saya adalah 'tamu' dan 'saudara perempuan' mereka.”

Pengalaman Yvonne ditahan oleh Taliban selama 10 hari itu ia tulis dalam buku hariannya. “Mereka (Taliban) terus mengatakan bahwa saya adalah tamu mereka, dan mereka sedih jika saya sedih. Tak bisa saya percaya … Saya mengharap semua orang di rumah tahu bagaimana saya diperlakukan. Saya tebak orang-orang pasti berpikir bahwa saya disiksa, dipukuli dan dilecehkan secara seksual. Sebaliknya, saya bahkan diperlakukan dengan baik dan hormat. Sungguh sulit dipercaya.”

“Perlakuan yang saya terima dari rejim yang dianggap paling brutal dan kejam di dunia ini, sama sekali berbeda dengan perlakuan yang diterima oleh para pria yang ditahan di Camp X-Ray (Guantanamo),” katanya dalam sebuah wawancara.

Ketika masih ditahan di markas intelijen di Jalalabad, Yvonne diyakini sebagai seorang mata-mata. “Mereka bilang kepada saya bahwa mereka yakin saya adalah seorang mata-mata Amerika. Hal itu membuat saya ketakutan. Mereka juga memberikan saya sebuah gaun pengantin sebelum seorang pemuka agama menanyai apakah saya mau pindah agama memeluk Islam. Sungguh menakutkan.”

Siapa sangka, justru kejadian itulah yang akhirnya menggiringnya untuk masuk Islam. “Saya pikir jika saya menjawab ya, orang itu akan mengatakan bahwa saya seorang wanita yang cepat berubah pendirian. Dan jika saya jawab tidak, maka itu akan menjadi penghinaan besar terhadap Islam. Jadi saya berjanji, jika mereka membebaskan saya, maka saya akan mempelajari Islam setibanya di London.”

Yvonne tidak melupakan janjinya. Ia pun mempelajari Islam setelah dibebaskan Taliban. Kabar mengenai dirinya yang akan masuk Islam diliput dan ditulis sebagai berita di banyak media massa internasional. Di tahun 2002 banyak yang menuliskan bahwa ia telah masuk Islam, padahal ia belum benar-benar masuk Islam.

Seorang da'i terkenal di Inggris, Abu Hamza Al-Masri, bahkan menghubunginya lewat telepon. Ia mengucapkan selamat dan memanggil Yvonne dengan sebutan “saudari.”

“Saya jelaskan (padanya) bahwa saya belum benar-benar mengucapkan ikrar. Dan ia berkata, 'Jangan merasa ditekan atau dipaksa, seluruh komunitas (Muslim) selalu ada jika kamu membutuhkan bantuan, hubungi saja salah seorang Muslimah.'”

“Ketika itu saya akan segera menutup telepon saat ia berkata, 'Ada satu hal yang ingin saya ingatkan. Besok, jika kamu mengalami kecelakaan dan mati, kamu akan langsung masuk ke api neraka.'”

“Saya sangat ketakutan, sampai-sampai saya membawa terus salinan janji saya di tas, hingga saya benar-benar berpindah agama bulan pada Juni.”

Akhirnya saat musim panas tahun 2003, Yvonne secara diam-diam berikrar mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia menjadi bagian dari apa yang disebutnya “keluarga terbesar dan terbaik di dunia.”

Setelah ia masuk Islam, lagi-lagi media Barat memberitakan hal yang keliru, salah satunya BBC. Banyak yang mengira Yvonne menderita Stockholm Syndrome. Sebuah keadaan mental di mana seorang korban penyanderaan menunjukkan simpati kepada orang yang menyanderanya.

“Masalah Stockholm Syndrome selalu membuat saya tertawa. Saya ini tawanan dari neraka. Saya meludah, mengumpat, melempari orang yang menangkap saya dan bahkan mogok makan. Agar terkena SS, maka Anda harus berhubungan erat dengan para penyekapmu sejak awal. Orang-orang yang berhubungan erat dengan saya (ketika itu), dan masih saling kontak hingga sekarang, adalah para tahanan bule lainnya. Masalah sindrom ini sering dipakai oleh mereka para tukang fitnah yang tidak bisa menjelaskan mengapa seorang wanita Barat profesional tertarik memeluk agama Islam.” katanya.

Bagi orang yang mengenal Yvonne sebagai seorang jurnalis tangguh yang berjuang layaknya pria--agar bisa mencapai posisi editor--dan sebagai seorang wanita yang menuntut persamaan gender, melihat kenyataan bahwa dirinya memilih Islam, agama yang dipandang Barat sebagai penindas wanita, memang mengejutkan. Ironis, demikian tulis seorang jurnalis di Guardian.

“Sebaliknya,” tampik Yvonne. “Al-Quran jelas menyebutkan bahwa wanita setara dalam urusan agama, kekayaan dan pendidikan. Yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa Islam itu sempurna, sedangkan pengikutnya tidak.”

“Mereka selalu saling tolong dalam urusan seperti mengasuh anak, menggalang dana dan pendidikan. Mereka ingin berbuat baik terhadap sesama. Saya tidak menyangka hal itu sebelumnya. Di Barat, kita semua sibuk merebut pacar / pasangan orang lain, dan saling mengkritik pakaian dan berat badan,” katanya membandingkan wanita Muslim dengan wanita Barat.
 
Bukan Amerika
 
Yvonne Ridley lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga penganut Kristen Protestan. “Saya anggota paduan suara gereja dan guru sekolah Minggu di desa saya di wilayah utara Inggris,” katanya bercerita.

Tidak ada yang ia ketahui tentang Islam sebelumnya, kecuali ia menyakini mitos bahwa para wanita Muslim ditindas, dan Islam merupakan agama setan dan kejam yang penuh dengan orang-orang fanatik.

Keluarganya di Durham, yang merupakan jemaat Church of England terkejut ketika mendengar ia akan pindah agama. “Mereka pikir saya akan mencalonkan diri jadi pemimpin besar Ku Klux Klan.”

“Tapi mereka sekarang bisa melihat bahwa saya lebih bahagia, lebih sehat. Dan ibu saya senang karena saya berhenti minum minuman keras.”

Tantangan terbesar setelah masuk Islam, bagi wanita yang pernah bercita-cita menjadi artis ini, adalah menjalankan shalat lima waktu dan menghentikan kebiasaan merokok.

Putri seorang pekerja tambang itu sangat terkesan dengan Al-Quran. “Saya benar-benar terpukau dengan apa yang saya baca, tidak setitik atau satu coretan pun berubah selama 1.400 tahun.”

“Hal pertama yang saya cermati ketika membaca Al-Quran adalah masalah kepemilikan dan hukum perceraian. Saya sangat kagum. Menurut saya, isinya seperti ditulis oleh pengacara perceraian di Hollywood saja! Bahkan mungkin justru mereka yang terinspirasi dari sana (Al-Quran). Saya begitu bahagia melihat bahwa wanita memiliki hak yang sama dalam agama dan pendidikan. Bahkan Al-Quran mengakui bahwa kami (wanita) memiliki beban lebih dalam hal melahirkan, menyusui dan menstruasi. Menurut saya, kami ini contoh istimewa dari mahluk bernama manusia, karena kami memiliki begitu banyak fungsi tambahan!”

Menurut wanita yang ikut berperan dalam proses pembuatan situs Al-Jazeera edisi bahasa Inggris ini, hal yang istimewa dalam Islam adalah setiap orang punya akses langsung terhadap Tuhan-nya. “Anda tidak perlu seorang perantara.” Sesuatu yang sangat berbeda dengan agama-agama lain.

Kini sehari-hari Yvonne berbusana seperti layaknya Muslimah, mengenakan baju yang menutupi seluruh tubuhnya dan berkerudung. Mungkin yang agak berbeda adalah gaya berpakaiannya yang seperti “pejuang wanita.”

“Mengenakan hijab adalah sebuah kewajiban dalam Islam. Hukumnya wajib dan tertulis secara jelas dalam kitab suci kita Al-Quran. Ini merupakan perkara yang saya kaji secara mendalam dan saya bicarakan secara panjang lebar dengan para ulama dan syaikh, yang latar belakang, garis keturunan dan pendidikannya tidak diragukan lagi. Saya tidak mengenakan hijab secara tiba-tiba, saya perlu waktu. Dan saya yakin, seorang wanita yang benar-benar Muslimah pasti akan memakainya. Mereka para ulama tidak bisa mengatakan bahwa hijab merupakan sebuah pilihan. Mereka yang mengatakan demikian (hijab adalah pilihan), saya menjulukinya dengan 'ulama untuk uang', mereka yang manut kemauan pemerintah. Mereka tahu siapa mereka itu, dan mereka sadar apa yang dikatakannya itu salah. Oleh karenanya, menurut saya keputusan seorang Muslimah untuk mengenakan hijab adalah urusan pribadi. Ia tahu apa yang menjadi kewajibannya, dan akan menjawab sendiri apa saja yang telah ia perbuat di hadapan Allah satu hari nanti.”

Suatu hari di bulan November 2007, Yvonne Ridley menjadi pembicara dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Mahasiswa Muslim di University of California. Di hadapan para hadirin ia mengatakan bahwa orang Islam yang menangkapnya pada bulan September 2001 telah memperlakukannya “dengan sopan dan hormat.” Ia membandingkan pengalamannya dengan apa yang dialami oleh orang Irak yang menjadi tahanan dan disiksa oleh tentara Amerika dalam penjara Abu Ghraib tahun 2004.
 

“Terima kasih Tuhan, saya ditangkap oleh rejim yang paling brutal dan kejam di dunia, dan bukan oleh militer Amerika Serikat,” ujar Yvonne. [Dija, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]


latestnews

View Full Version