View Full Version
Kamis, 15 Oct 2009

Agar Mereka yang Durhaka Mengambil Pelajaran

Saat jamaah haji tengah sibuk melakukan thawaf di Masjid al Haram. Matahari menyengat panas di tengah kepadatan manusia yang menyulitkan bergerak. Banyak orang berdiri di dekat Ka’bah yang mulia memohon dan meminta kepada Allah Yang Maha Mulia. Di tengah suasana itu, seorang asal Yaman menggendong ibunya di pundaknya. Napasnya tersengal, dan peluh keringatnya menetes-netes. Ia melakukan thawaf dengan menggendong sang ibu, karena sang ibu sudah lumpuh dan  tak mampu lagi berjalan. Karena itulah, si pemuda memandang dirinya wajib membantu ibunya thawaf mengelilingi Baitullah.

Ia sadar, bahwa sang ibu dahulunya pernah membawanya pergi kemana-mana saat ia masih berada dalam perut dan ketika masih bayi di gendongan ibunya. Ia mengerti sang ibu yang terpaksa berjaga malam dan tidak bisa tidur merawatnya saat kecil. Sang ibu yang menahan lapar untuk mengenyangkan anaknya. Sang ibu yang menahan haus untuk memuaskan dahaga anaknya. Lalu, si pemuda pun mengira, apa yang dilakukannya saat itu telah bisa membalas apa yang dilakukan sang ibu terhadapnya selama bertahun-tahun masa kecilnya.

Ketika itu, seorang sahabat bernama Ibnu Umar tengah berdiri di tempat itu. Masih diiringi peluh keringat dan nafas yang tersengal-sengal, bertanyalah si pemuda kepadanya, “Salam atasmu wahai Ibnu Umar. Saya adalah seorang anak dari ibu yang saya gendong ini. Apakah apa yang saya lakukan sudah bisa mengimbangi apa yang ia berikan kepada saya?” Ibnu Umar menjawab, “Demi zat Yang Jiwaku ada di Tangan-Nya, apa yang kamu lakukan sama sekali tidak bisa menyamai apa yang sudah ia lakukan untukmu.”

Semua keletihan, usaha keras, jerih payah itu ternyata tidak bisa mengimbangi apa yang sudah di lakukan seorang ibu kepada anaknya saat melahirkan. Ini adalah gambaran pertama dari penderitaan yang dilakukan orang tua, kepada seorang anak.

Semua keletihan, usaha keras, jerih payah itu ternyata tidak bisa mengimbangi apa yang sudah di lakukan seorang ibu kepada anaknya saat melahirkan. Ini adalah gambaran pertama dari penderitaan yang dilakukan orang tua, kepada seorang anak.

Pada kesempatan yang berbeda, ketika Rasulullah saw sedang duduk di tengah para sahabatnya. Ada orang tua yang susah payah berjalan dengan tongkatnya. Punggungnya sudah bungkuk, tulang sudah melemah dan rambutnya telah memutih. Ia lalu berdiri di hadapan Rasulullah saw, sang guru yang begitu mulia. Orang tua itu lalu menyampaikan keluhannya tentang kedurhakaan anaknya. “Ya Rasulullah, anakku telah zalim kepadaku. Aku mendidiknya di waktu kecil. Aku lapar agar ia kenyang. Aku haus agar ia tidak dahaga. Aku lelah agar ia bisa beristirahat. Tapi ketika aku sudah tua, ia tidak menunaikan hakku dan bersikap kasar kepadaku dan kepada kedua orang tuaku.” Rasulullah saw bertanya, “Apakah engkau mengatakan sesuatu kepadanya?” Orang tua itu menjawab, “Ya.” Rasul bertanya lagi, “Apa yang engkau kayakan?” Orang tua itu lalu mengungkapkan kesedihannya yang begitu susah payah memelihara dan merawat anaknya selama ini, hingga akhirnya Rasulullah saw tak mampu menahan air matanya. Rasul lalu meminta para sahabat untuk mendatangkan anak dari orang tua itu.

Tak lama kemudian sang anak datang menghadap Rasulullah saw. Sang Rasul lalu memegang pakaian anak itu dan mengatakan, “Kamu dan seluruh hartamu adalah milik orang tua kamu.” Artinya, kamu kedudukannya sama dengan barang dagangan milik orang tua yang bisa dijual dan dibeli. Kamu tidak lain hanyalah perhiasannya dan dunia milik orang tuamu.

Ada banyak peristiwa yang terjadi di dunia hari ini. Berulang kali terjadi orang-orang yang setelah besar, kuat dan dewasa, mereka berlaku durhaka kepada Allah swt, tidak mengenal rumah Allah swt, menolak Al Quran dan sunnah Rasulullah saw, kemudian berlaku durhaka kepada kedua orang tua mereka di saat orang tua sudah berusia lanjut.

Berapa banyak kita menyaksikan orang tua yang mengeluhkan perilaku keji anaknya. Kami angkat keluhan orang tua itu kepada Allah swt Yang Maha Satu. Yang Tidak Memberikan kezaliman. Kita sudah pula mendengar tentang kisah tiga orang pemuda yang keluar ke hutan dari orang –orang Bani Israil. Lalu ketika mereka terhalang oleh malam yang gelap, mereka menaiki gunung dan masuk dalam gua. Tiba-tiba pintu gua itu tertutup dan mereka terjebak di dalamnya. Tak ada orang yang mengetahui, tak ada kabilah dan tak ada keluarga.

Di sinilah, firman Allah swt sangat terasa. “Siapakah Yang Mengabulkan permintaan orang yang sedang dalam kondisi kesulitan, jika ia meminta-Nya, dan kemudian Allah swt menyingkapkan keburukan (daripadanya).” (QS. An Naml : 62) Salah seorang mereka mengatakan, “Demi Allah, tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali Allah. Berdoa’lah dengan amal-amal shalih yang sudah kalian lakukan sebelum ini. Maka, pemuda pertama bermunajat kepada Allah swt Yang Maha Mengetahui Yang Rahasia dan Yang Tersembunyi. “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku mempunyai dua orang tua yang sudah tua renta. Aku tidak bisa memberi mereka keluarga dan anak. Suatu hari aku pergi keluar rumah dan ketika aku datang keduanya sedang tidur. Lalu aku perahkan susu untuk mereka di waktu malam dan aku berdiri dengan memengang susu itu di atas kepala mereka sampai tiba waktu subuh dan mereka pun bangun. Ya Allah bila apa yang aku lakukan itu adalah ikhlas untuk mencari ridha-Mu maka selamatkanlah aku dari situasi yang kami alami.” Maka, pintu gua pun bergeser dan terbuka dengan dua amal shalih pemuda lainnya sebagaimana dalam hadist yang sudah terkenal.

Semoga orang-orang yang durhaka bisa mengambil pelajaran dari kisah ini semua sehingga mereka bisa diperingatkan dari sikap yang keji. Adalah Ibnu Sirin rahimahullah, memberikan makanan kepada ibunya. Lalu ia tidak makan dari tempat yang digunakan sebagai tempat makan ibunya, karena takut mendahului ibunya dalam makanan yang ia sukai.

Durhaka mempunyai ragam bentuk. Ada yang berupa penghinaan kepada orang tua dan itu yang paling banyak terjadi. Tapi ada juga bentuk kedurhakaan yang lain. Yaitu, kedurhakaan orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua yang meninggalkan agam, meninggalkan ketaatan, meniru orang-orang kafir yang juah dari agama dalam prilaku dan sikapnya.

 Lisensi: Syaikh DR. Aidh bin Abdullah al Qarni

 Majalah Tarbawi, 9 November 2007.


latestnews

View Full Version