Oleh: Eva Fauzah, M.Psi., Psikolog
Belakangan media elektronik dan surat kabar heboh memberitakan video porno yang pelakunya diduga selebritis. Wacana mengenai pemberlakuan Undang-undang Antipornografi pun kembali ramai dibicarakan. Apakah memang dengan pemberlakuan undang-undang tersebut masalah serupa tidak akan muncul lagi? Dalam artikel teenage section yang dimuat voa-islam.com disebutkan bahwa faktor pendukung munculnya masalah ini adalah hilangnya rasa malu karena tercerabutnya iman dalam diri. Rasa malu yang telah hilang ini tidak hanya milik individu pelaku video mesum, tapi juga telah hilang dari dalam diri masyarakat.
Ada fakta-fakta yang mencengangkan dari hasil penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, pada tahun 1980-an sekitar 5 persen remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks pra-nikah. Berikutnya, di tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 20-30 persen. Lalu bagaimana pertumbuhan angka pelaku zina di tahun 2010, di mana dengan pesatnya kemajuan teknologi, anak-anak makin mudah mengakses informasi yang tidak patut, termasuk paparan pornografi dan pornoaksi. Menurut Kak Seto, sejak beredarnya video porno, lebih dari 60 persen anak SMP sudah melakukan hubungan badan," (okezone.com, 18 Juni 2010). Jika angka ini memang akurat, tentu saja menjadi fenomena yang sangat memprihatinkan.
...sejak beredarnya video porno, lebih dari 60 persen anak SMP sudah melakukan hubungan badan. Fenomena yang sangat memprihatinkan...
Apakah kita akan membiarkan angka hubungan seks pra-nikah terus meningkat? Allah SWT berfirman:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (Qs. Ar-Ra’d : 11).
Ayat tersebut mengharuskan kita untuk melakukan perbaikan nasib anak-anak kita di masa depan. Apa yang bisa kita lakukan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita telusuri dari sisi psikologis, apa penyebab tercabutnya iman di dalam diri.
…Ahli psikologi mengemukakan bahwa rasa percaya pada anak sudah mulai terbentuk ketika anak baru lahir sampai dengan usia 1,5 tahun…
Secara terminologis (isthilahiy), kata “iman” berarti “percaya.” Ahli psikologi mengemukakan bahwa rasa percaya pada anak sudah mulai terbentuk ketika anak baru lahir sampai dengan usia 1,5 tahun. Masa usia ini adalah masa penentu apakah anak akan memiliki rasa aman (percaya) atau bahkan rasa tidak aman (tidak percaya).
Bagaimana rasa aman pada anak bisa terbentuk? Anak mencari keamanan dengan mencari kasih sayang dari lingkungan sekitarnya, jika ia mendapatkannya maka ia akan berkembang menjadi individu yang memiliki rasa percaya terhadap dirinya dan juga terhadap orang lain. Berkembangnya rasa aman dalam diri seorang anak merupakan pondasi awal terbentuknya individu yang sehat secara mental, dalam hal ini individu yang memiliki inisiatif, mampu berkarya, mampu membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain dan juga individu yang mampu menentukan perilaku sendiri dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku
Jika rasa aman itu sangat penting, apa yang dapat dilakukan orang tua agar anak memiliki rasa aman? Sederhana saja, berikan perhatian dan kasih sayang kepada anak sejak anak lahir. Segera berikan respon ketika bayi menangis karena semua bayi bisa mengembangkan rasa percaya pada orang lain ketika memiliki ibu/pengasuh yang merespon cepat tangisan mereka. Ketika mendapatkan respon cepat, bayi akan memiliki rasa aman dan nyaman.
Selain memberikan respon yang cepat terhadap tangisan bayi, memeluk, menyentuh, dan berbicara pada bayi adalah cara lain membentuk rasa aman. Tindakan-tindakan seperti itu, apabila dilakukan oleh orang tua terhadap bayi membuat bayi berpikir bahwa dunia adalah tempat yang menyenangkan. Tempat di mana orang lain dapat dipercaya, tempat di mana bayi mendapat bantuan ketika membutuhkannya.
Lalu apa hubungannya rasa aman dengan iman? Yang harus kita ingat, anak belajar percaya pada sesuatu yang nyata terlebih dulu, misalnya terhadap kasih sayang yang ditunjukkan orang tua. Setelah itu, baru kemudian anak percaya pada sesuatu yang abstrak, misalnya percaya akan adanya Allah, akan adanya hisab atas perilaku yang diperbuat, sehingga anak takut ketika akan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan terutama aturan Allah.
Jika ibu terlalu lama memberikan respon atau tidak mempedulikan tanda-tanda ketidaknyamanan bayi, misalnya ibu membiarkan bayi menangis lama baru kemudian diberi susu, memberikan susu botol tidak sambil digendong, mengacuhkan bayi karena sibuk dengan pekerjaan di rumah, memarahi bayi ketika mereka menangis, maka bayi akan merasa dunia adalah tempat yang “dingin” dan “kejam,” sehingga mereka tidak memiliki rasa aman atau percaya. Maka tidak menutup kemungkinan, di masa yang akan datang ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan Allah karena ia tidak bisa percaya pada sesuatu yang sifatnya konkret (kasih sayang manusia), maka ia sulit percaya pada sesuatu yang sifatnya abstrak (hisab atas perilaku yang diperbuat). Ini berarti keimanannya lemah.
…memberikan rasa aman pada anak sejak lahir-1,5 tahun merupakan salah satu upaya pencegahan dini terhadap rusaknya moral anak di masa depan…
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa memberikan rasa aman pada anak sejak lahir-1,5 tahun merupakan salah satu upaya pencegahan dini yang dapat dilakukan oleh orang tua terhadap rusaknya moral anak di masa depan.
Nasib generasi di masa mendatang bisa diubah jika kita mau mengubahnya. Mulailah dengan mengubah anak kita terlebih dahulu dengan cara yang sederhana, dengan memberikan rasa aman pada anak kita semenjak lahir sehingga mereka percaya bahwa hanya dari lingkungan rumahlah ia mendapatkan kasih sayang. Bahwa ia tidak perlu mencari kasih sayang dari orang lain dengan cara-cara yang tidak wajar (melakukan hubungan seks-pranikah misalnya).
Selain itu dengan memiliki rasa aman, akan lebih memungkinkan bagi anak untuk memiliki rasa percaya atau keimanan kepada Allah, tapi tentu saja tidak terlepas dari bimbingan orang tua. [voa-islam.com]