Memasuki gerbang pernikahan ibarat sebuah bahtera yang akan berlayar mengarungi samudera. Oleh karena itu, bekal perjalanan harus dipersiapkan sebaik mungkin. Begitu juga dalam rumah tangga butuh bekal, baik materi maupun immateri berupa mental dan juga spiritual. Namun kebanyakan orang biasanya lebih memandang penting bekal kesiapan mental, sedangkan kesiapan materi hanya bersifat relatif. Sebab dengan kesiapan mental seseorang akan jadi lebih dewasa dan lebih bijak dalam banyak hal, termasuk dalam menjalani dan menyikapi persoalan rumah tangga.
Menjalani kehidupan berumah tangga, banyak orang beranggapan seperti halnya orang digelitik bila sedang tersandung masalah. Tertawa tapi marah; mau marah tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Maka disinilah kesiapan kita diuji. Jika pasangan suami istri bersikap dewasa dan masing-masing kuat memegang komitmen pernikahan yang telah mereka bangun bersama dihadapan saksi-saksi, maka persolan seberat apapun bisa diatasi.
Ada beberapa hal penting untuk diketahui dan dijalankan oleh pasangan suami istri demi terciptanya rumah tangga yang sakinah mawadaah wa rahmah; diantaranya adalah adanya saling pengertian tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kekurangan suami tertutupi atau terpenuhi oleh kelebihan istri, demikian pula kekurangan istri ada pada kelebihan suami. Jika pandangan seperti ini yang dikembangkan dalam relasi di antara suami-istri, maka akan timbul sikap saling menghargai, toleransi, dan saling menutupi kekurangan. Di dalam Alquran disebutkan “Istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian baginya,” (QS. Al-Baqarah: 187).
Fungsi baju adalah untuk menutupi aurat dan menjaga kehormatan “pemiliknya”. Selain itu, baju juga memiliki fungsi menambah rasa percaya diri dan bangga bagi pemakainya. Jadi, sudah selayaknya istri harus menjadi sumber inspirasi bagi suami, sehingga begitu percaya diri dan bangga kepada istrinya. Bagitu pula sebaliknya, suami harus bisa menjadi inspirasi dan pendukung utama bagi istri untuk membangun diri dan keluarga sejahtera mental serta sosialnya.
Pernikahan sesungguhnya bukan hanya sebagai sarana pemuasan nafsu seksual semata. Ada hak dan kewajiban besar bagi kedua belah pihak yang harus diterima dan ditunaikan. Suami berkewajiban untuk menggauli istrinya dengan baik, begitu pula istri bersikap baik kepada suami.
Ibnu Abbas berkata, “Aku lebih suka berhias untuk istriku, dan aku juga senang kalau istriku berhias untukku.” Hal ini disebutkan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 19, wa’asyirunna bil ma’ruf. Termasuk dalam kewajiban suami istri adalah saling memberikan pendidikan dan mengajarkan kebaikan kepada satu sama lain. Islam sangat jelas tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam keimanan, keislaman dan ketakwaan. Begitu pula dalam pendidikan dan pengajaran.
Mengenai pendidikan, Rasulullah saw. sendiri bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat.” Pada kenyataannya, banyak perempuan yang sudah berkeluarga hanya menghabiskan waktunya untuk suami dan anak, tanpa mementingkan lagi pendidikan. Padahal Nabi saw. juga mengatakan, “Tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga masuk ke liang lahat”. Disisi lain, banyak suami merasa bahwa memberikan pendidikan kepada istri bukan kewajibannya. Mereka menganggap pendidikan itu hanya boleh ditempuh pada usia sekolah saja. Padahal tidak demikian jika mengacu pada hadis Nabi di atas. Seharusnya, jika suami tidak mampu memberi pendidikan bagi istrinya, maka istri diberi akses agar dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik, misalnya dengan mengizinkan istrinya mengikuti pelatihan-pelatihan, memfasilitasi istri dengan sumber-sumber pengetahuan, baik cetak maupun elektronik dan sebagainya.
Idealnya, tidak hanya suami yang sibuk mengajarkan banyak hal pada istri dan keluarga. Jika istri punya kehendak untuk belajar, semestinya suami harus memberi dukungan penuh. Sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam hal pendidikan antara suami dan istri. Begitu juga dalam bekarir, selama tidak mengganggu dan menghalangi kewajibannya sebagai seorang istri atau suami, masing-masing
pasangan suami istri harus dapat memberikan keleluasaan bagi satu sama lain untuk terus belajar dan berkembang. Mungkinkah suami gengsi jika kalah pintar dengan istrinya? Seharusnya suami senang dan bangga jika memiliki istri yang pintar. Bukankah istri (ibu) merupakan madrasah pertama bagi anak? oleh karena itu, sebagai bekal dalam mendidik anak, ibu harus berpendidikan dan berpengetahuan luas agar saling melengkapi dengan suami di dalam mendidik anak sebagai kewajiban bersama.
Selain dari semua yang diuraikan di atas, yang tidak kalah pentingnya dalam rangka menghargai pasangan adalah menciptakan suasana baiti jannati; adanya komunikasi yang baik antara suami, istri, serta anak-anak. Bila ada persoalan penting dan serius yang mengganggu atau bahkan mengancam hubungan suami-istri serta keluarga, segeralah selesaikan dengan jalan musyawarah (wasyawir- hum fil’amri); saling terbuka, dan jangan ada yang ditutup-tutupi. Jangan malu untuk mengakui sebuah kesalahan dan segeralah meminta maaf. Sebab dengan meminta maaf tidak menjadikan seseorang terhina. Jangan pula enggan memberi maaf apabila diharapkan ’pemaafan’ kita. Jangan pula menghadapi masalah dengan emosi dan mengedepankan egoisme masing- masing. Sebab, alangkah indahnya bila sebuah rumah tangga suami dan istri saling mengerti dan sadar untuk bahu-membahu membangun kehidupan, saling menghargai tanpa saling merendahkan. Wallahu’alam bishshawab. Ummu Henik (rahima.or.id)