Menegakkan disiplin dan sopan santun kepada anak balita tidak selalu dengan memberikannya aturan yang tegas. Yang paling penting, Anda harus membimbingnya serta memberikan pembelajaran hidup yang tepat
Pada dasarnya, penanaman disiplin yang dilakukan oleh orangtua kepada anak balita bertujuan untuk mengatur perilaku agar menjadi anak yang baik. Namun kenyataannya, sering kali disiplin diterapkan secara kaku tanpa melihat kebutuhan perkembangan anak.
Dengan pengertian lain, dalam menanamkan disiplin, sering kali dipakai ukuran-ukuran orang dewasa. Apalagi, terkadang disiplin diterapkan secara tidak konsisten, misalnya anak dihukum karena melakukan perbuatan yang salah, namun pada kesempatan lain si anak dibiarkan saja walaupun melakukan perbuatan yang sama. Anak seharusnya memerlukan gambaran yang jelas tentang tingkah laku yang diperbolehkan dan yang dilarang.
Si anak merasa lebih aman apabila dia mengetahui secara pasti batas-batas perbuatan yang diizinkan. Cara menyatakan batasan pun harus dipikirkan dengan baik. Harus dicari jalan bagaimana mengemukakannya dengan tetap menghormati harga diri anak tanpa melukai perasaannya. Memberikan larangan harus dilakukan dengan mengungkapkan kewibawaan, bukannya penghinaan dan cemoohan.
Seperti cerita berikut ini. Ketika putrinya yang masih berusia 4 tahun bertindak lancang atau tidak sopan, Angela Mackey, seorang ibu dari tiga anak yang berdomisili di Fort Smith, Arkansas, Anerika Serikat langsung mengambil napas dalam-dalam. Dia tahu apabila dia ikut-ikutan berteriak, maka putrinya malah menjadi-jadi dan semakin tidak hormat padanya.
“Anda harus menerima perilaku seorang anak yang biasa disebut ‘ratu drama’,” kata Gary Unruh, MSW LCSW, seorang konselor kesehatan mental keluarga di Colorado Springs, Colorado, Amerika Serikat dan penulis buku “Unleashing the Power of Parental Love” seperti dikutip dalam laman webmd.com.
Anak usia prasekolah (sekitar umur 3-5 tahun), terang dia, saat itu memang sedang “merayakan” kemerdekaan diri yang baru saja mereka dapatkan. “Terimalah kenyataan bahwa anak prasekolah akan berkata ‘tidak’ lebih banyak,” ujar Unruh. “Itu bukan sikap tidak hormat, tetapi bagian dari pembelajaran tentang siapa diri mereka sebenarnya,” lanjutnya.
Ada banyak sekali proses penemuan jati diri seorang anak yang seperti bertentangan dengan pola pengasuhan orangtua. Misalnya ketika dia menaruh mainannya saat waktunya bermain, menendang dan berteriak saat diajak tidur, atau menangis kejer saat berada di supermarket. Jadi, bagaimana seharusnya cara yang tepat untuk mendorong perkembangan sosial anak, namun mencegah dia berperilaku buruk?
Pertama, Anda harus membuat harapan yang realistis. Kenalilah tahap perkembangan anak Anda. Sebagai orang tua, Anda mungkin ingin anak Anda untuk berbagi mainan dengan teman-temannya, duduk diam selama di tempat ibadah dan selalu berkata sopan seperti “tolong” dan “terima kasih”.
Tetapi, Anda juga harus mempertimbangkan usia berapa biasanya anak melakukan sebuah perilaku, dan mengukur semua itu agar sesuai harapan Anda. “Anak-anak tidak langsung dilahirkan dengan kemampuan sosial,” kata Ari Brown MD, seorang dokter anak di Austin, Texas, Amerika Serikat yang juga penulis buku “Toddler 411”.
“Kita hanya dilahirkan dengan kemampuan untuk bertahan hidup,” tuturnya. Jika Anda mengetahui saat anak Anda tidak berkembang sesuai masanya, maka Anda tidak akan merasa frustrasi ketika anak Anda tidak dapat duduk diam selama lima menit. Dan perlu diingat bahwa banyak perbedaan pematangan perilaku satu anak dengan yang lain. Ada anak yang mulai melakukan tindakan amarah pada usia 3 tahun, tetapi ada yang baru melakukannya di usia 5 tahun,
Yang penting, bersabarlah. Brown menegaskan, rasa sabar adalah kunci dari mengatasi ini semua. Dia sering mendengar orang tua mengeluh tentang bagaimana mereka mencoba berbagai strategi disiplin, lalu istirahat, kemudian mencoba lagi dan lagi, tetapi sama sekali tidak berhasil. “Teruskanlah karena Anda seperti menanam benih-benih disiplin,” katanya. “Jadi, jangan berharap pohon untuk tumbuh dalam semalam,” tandas Brown.
Katakanlah, misalnya, Anda tidak ingin anak Anda mencabut tanaman di kebun. Ketahui bahwa diperlukan waktu bagi anak Anda untuk menguji apakah gertakan Anda benar-benar serius. Makanya dia butuh beberapa saat untuk mencerna perkataan Anda bahwa perilakunya tersebut termasuk buruk.
“Hanya karena Anda mengatakan itu kelakuan yang buruk, tidak berarti dia harus percaya pada Anda,” katanya. “Jadi kadang-kadang mereka hanya belum tahu konsekuensi apa yang akan dia dapatkan atas sebuah perilaku,” lanjut Brown. Beberapa perilaku mungkin sudah dipahami dalam hitungan hari atau minggu, tetapi yang lain mungkin memakan waktu lebih lama untuk berubah.
Selanjutnya, Anda harus ketahui dan tunjukkan bahwa perasaan anak Anda itu ada. “Ketika menjalankan tindakan kedisiplinan, orang tua harus hangat tapi tetap tegas,” kata Unruh.
Dengarkan anak Anda dan ketahuilah perasaan dia yang menyebabkan mengapa Anda merasa itu sebuah masalah. Kemudian batasi waktu sampai kapan dia boleh bersikap tidak sesuai aturan.
Misalnya, jika anak Anda memukul adik atau kakaknya, biarkan dia tahu apa konsekuensinya. Lalu bawa dia ke ruangan lain untuk menghentikan perilakunya dan memberinya kesempatan untuk menenangkan diri. Anda dapat mengatakan kepadanya, “Ibu melihat kamu sedang marah, dan kamu melampiaskannya dengan memukul. Kenapa kamu melakukan itu?” (rps/sindo)