Kita jarang menemukan laki-laki yang belum menikah ketika umurnya telah mencapai 30 tahun lebih. Tapi sering kita jumpa perempuan yang belum menikah walaupun sudah berumur lebih dari 30 tahun. Bagi para wanita itu, hal ini tentu membawa beban tersendiri bagi mereka karena biasa diberi label “perawan tua”. Ini adalah realitas yang menyayat hati, terutama bagi para pelakunya itu sendiri. Dari nada yang terucapkan oleh masyarakat, julukan tersebut serasa hal itu mendiskriminasi wanita.
Banyak pertanyaan datang kepada mereka, salah satunya “apakah tidak ada keinginan untuk menikah secepatnya?” Pertanyaan ini tentunya lebih menyakitkan karena kita semua tahu bahwa menikah adalah fitrah yang murni yang kalau tidak dipenuhi, manusia akan mengalami satu tekanan dan kekosongan jiwa yang berkepanjangan. Hidup akan terasa sunyi dan kosong, belum lagi hadirnya rasa malu pada ejekan masyarakat.
Inilah pula realita yang terjadi sebagai salah satu tanda akhir zaman, di mana jumlah perempuan akan lebih banyak dari laki-laki. Mirisnya, banyak wanita yang terlambat atau menunda menikah ini sendiri malah mengagungkan kehidupan wanita Barat yang penuh dengan kebebasan. Dengan alasan karir dan kebebasan wanita mereka berusaha keluar dari kodrat mereka sebagai manusia dan sebagai wanita. Label “perawan tua” yang bagi sebagian terasa menyakitkan, malah sama sekali tidak berpengaruh dalam hidup wanita penganut kebebasan ini.
....salah satu tanda akhir zaman, jumlah perempuan akan lebih banyak dari laki-laki. Mirisnya, banyak wanita menunda menikah malah mengagungkan kehidupan wanita Barat yang penuh dengan kebebasan....
Apakah mereka tidak menyadari, bahwa kebanyakan wanita Barat mempunyai kehidupan liar mereka untuk mengisi kehendak biologisnya. Apakah mereka tidak menyadari bahwa kebanyakan dari “panutan” mereka itu menjual tubuh dengan murah kepada sembarang laki-laki. Ikatan pernikahan suci untuk mereka adalah sesuatu yang remeh. Institusi pernikahan dan rumah tangga sudah tidak perlu bagi mereka. Suami cuma pinjaman atau kontrak, boleh saja ada boleh tidak. mereka boleh menikah dan berkeluarga atau tidak, toh tidak ada aturan konstan yang mereka untuk mengatur hal itu.
Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka bahagia dengan kehidupan seperti itu. Apakah mungkin ada kebahagiaan dalam melanggar perintah Allah?
....diakui atau tidak, sepahit apapun poligami, namun tidak sepahit menjadi perawan tua sepanjang waktu....
Suatu waktu muncullah wacana poligami dalam kehidupan wanita pendukung kebebasan itu, namun dengan tegas mereka menolaknya. Mereka menganggap bahwa hal itu justru lebih merendahkan diri mereka sendiri. Namun, diakui atau tidak, sepahit apapun bagi mereka namun tidak sepahit menjadi perawan tua sepanjang waktu. Pahitnya poligami adalah pergiliran ujian dan nikmat. Sejahat-jahatnya suami, masih juga memikirkan tanggungjawab pada rumah tangga dan anak-anak. Wanita masih akan punya tempat bersandar dan mengadu. Mereka punya masa depan seperti wanita kebanyakan. Bagi para perawan tua, apalagi yang menjual diri, tidak tahu kemana pergantungan hidup mau ditujukan. Sedangkan wanita poligami tahu siapa laki-laki yang diminta pertanggungjawaban hidupnya dan anaknya, yaitu suaminya.
Memang hidup itu pilihan, termasuk dalam pernikahan. Sebagian dari mereka menolak poligami karena menurut mereka seperti merampas suami orang. Jikalaulah memang hati mereka kuat untuk bertahan pada iman dan tetap berlaku baik dengan pilihan kehidupannya itu, tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana dengan wanita lain yang hubungannya dengan Allah agak lemah, bila tidak menikah akan menimbulkan bermacam-macam masalah. Dia akan lebih selamat bila berpoligami daripada tidak menikah sama sekali.
....Memang hidup itu pilihan, termasuk dalam pernikahan. Sebagian dari mereka menolak poligami karena menurut mereka seperti merampas suami orang....
Dan untuk Pejuang-pejuang perempuan yang selalu meluangkan hasrat ingin membela nasib perempuan, seharusnya yang paling depan dalam memperjuangkan langkah ini. Langkah pertama yang harus dilakukan pejuang kebebasan wanita ini seharusnya adalah dengan memberi peluang suami mereka berpoligami untuk membela nasib perawan tua. Kerelaan berkorban itu untuk perjuangan menegakkan keadilan untuk semua wanita, dan mengangkat derajat mereka kembali pada kemuliaan. [syahidah]