Aku. Aku adalah orang yang paling malang di dunia. Itu yang ada dalam pikiranku sekarang. Betapa tidak, lihatlah aku sekarang. Aku terbaring lemah karena serangan stroke. Yang lebih ajaib lagi, usiaku masihlah 32 tahun. Tepat disaat kejayaan dan kekayaan menjadi teman akrabku sehari hari. Dalam sehari aku merasa dunia benar benar terbalik. Aku merasa tak punya masa depan. Bahkan untuk melakukan kegiatan sehari hari pun aku harus bergantung pada bantuan orang lain.
Sudah sebulan lebih aku berada di ruangan sempit ini, di tempat yang sangat aku benci. Rumah sakit. Infus dan kekakuan tubuhku ini benar benar menyiksaku.
Terkadang lewat jendela lebar diruangan ini, aku masih mendengar keramaian di luar sana. Pasti menyenangkan bisa berlari dan bergembira sebebas mungkin. tapi lihatlah aku, berjalanpun aku tidak sanggup.
Aku adalah orang paling malang di dunia, dan tak punya masa depan. Benar benar Allah tak adil padaku...
Hari ini aku mendapat teman sekamar. Dia masih sangat muda. Baru 20 tahun. Nasib kamipun kurang lebih sama. Karena penyakit diabetes, terpaksa sebelah kakinya terenggut lewat amputasi.
Sudah dua hari ini, setiap pagi dia duduk di dekat jendela. Dia bercerita panjang lebar tentang keadaan di luar sana. Dia menceritakan taman yang indah dengan bunga bunga dan anak kecil yang bermain berlarian. Ah sungguh menyenangkan sekali. Aku bahkan berpikir, kalau saja aku sehat nanti, aku akan menghabiskan waktu ku disana.
Keesokan harinya, di sore hari yang indah, dia memulai aktifitas rutinnya itu. Kali ini dia duduk di dekat jendela dengan mengenakan bajunya yang paling baru. Dia menceritakan kepadaku tentang sekumpulan burung camar yang terbang dengan indah di senja hari. Aku sempat bertanya, "Apa kau bahagia dengan keadaanmu?" "Alhamdulillah, walaupun aku hanya diijinkan Allah untuk memiliki satu kaki, tapi aku masih bisa menghirup udara dengan bebas, dan mendengarkan indahnya suara adzan. Bukankah Allah itu baik sekali?" Jawabnya dengan gembira.
Sudah sebulan lebih kami berdua berada didalam kamar ini. Setiap pagi pula, tak lupa dia duduk didekat jendela sambil menceritakan padaku keindahan di luar sana. Jujur, lambat laun dia menjadi penyemangatku. Aku masih bisa merasakan keindahan hidup dalam pembaringan yang menyiksaku ini. Dia sangat menghiburku.
Pertengahan bulan berikutnya, kesehatanku mulai membaik. Paling tidak aku sudah di ijinkan duduk di kursi roda. Namun sayang, temanku itu harus berganti rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih baik di luar negeri. Aku merasa sendiri
Hari ini adalah hari pertamaku melihat dunia luar lewat jendela rumah sakit itu. Aku ingin melihat taman bunga nan indah, anak- anak kecil yang lucu dan keindahan senja di sore dan pagi hari. Aku benar benar tak sabar memulainya.
Aku mengambil kursi dan duduk tepat didekat jendela. namun betapa kagetnya aku, ketika ternyata aku dapati bahwa didepan jendela sama sekali tak ada pemandangan apapun kecuali tembok. Tembok itu tepat berbatasan dengan tembok ruangan lainnya.
Aku mulai mengingat ingat kejadian yang telah dilakukan anak muda itu. Ternyata selama ini dia mencoba benar benar menghibur dan menyemangatiku. Semangat hidup dan ketabahannnya yang besar, ingin ditularkannya kepadaku, orang yang sama sekali tidak punya minat melanjutkan hidup.
Kebohongan yang indah itu telah mengembalikan minatku untuk kembali bernafas. Ah aku tak mau menyebutnya kebohongan, dia benar benar menyadarkan aku bahwa kebahagiaan adalah bukan berdasar keadaan tapi hanya karena kepandaian kita mengatur situasi hati dan mensyukuri nikmat Allah.
Dengan perantara sakit ini, Allah mencoba menyentilkanku. Allah mencoba memberiku jalan untuk menjawab sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang indah dalam hidup adalah bukan rumah sebesar apa yang kita tempati, atau mobil merek apa yang kita kendarai, tapi yang lebih penting dari semua itu adalah "Apa hati kita damai dan bahagia?"...
(syahidah)