Sebuah konflik tidak seharusnya disikapi dengan emosi. Ibarat batu yang dilempar pada batu, maka keduanya akan pecah dan sia sia. Demikian pula dalam konflik rumah tangga yang kadang kala muncul baik karena hal sepele atau masalah yang sangat serius.
Kondisi hati, fisik dan pikiran yang kadang labil sering kali membawa kita pada sebuah keadaan yang malah membuat makin rumit situasi.Emosi yang sedang tinggi, malah memicu salah pihak yang lain melakukan hal yang serupa. Sampai sampai ada yang menggambarkan, ibarat perang, harus ada pemenang dalam situasi tersebut, atau dengan kata lain salah satu pihak harus merelakan diri untuk kalah dan atau mengalah.
Masyaallah, menang atau kalah bukan inti dari babak akhir sebuah konflik atau perbedaan pendapat yang ada. Namun hal tersebut justru malah semakin menggambarkan kelemahan pengontrolan diri dari kedua belah pihak tersebut.
Memang ada kalanya khilaf ikut menyertai dalam perjalanan kehidupan manusia yang tidak sempurna. Namun apakah selamanya ketidaksempurnaan itu dijadikan kambing hitam atas semua kesalahan kita, sampai kita melupakan sama sekali cara menyayangi pasangan kita, bahkan disaat kita marah? Bukankah rumah tangga memang adalah tentang proses belajar dan saling mempelajari? Kemarahan adalah sama sekali bukan cara yang elegan untuk sebuah perbaikan hubungan, malah justru akan memperparah keretakan dalam rumah tangga.
Pasangan kita tak ubahnya buku yang diberikan untuk kita. Harus kita akui memang butuh waktu, tenaga dan kesabaran yang lebih untuk mempelajarinya lembar demi lembar. Terkadang didalam buku tersebut mengandung hal-hal yang sulit kita pahami, namun bukankah buku adalah selalu terkait dengan ilmu, dan ilmu adalah hal yang pastinya mencerahkan jalan kehidupan kita?
Bersatunya suami dan istri adalah sudah pasti karena skenario Allah yang maha indah. Dan pasti pula terkandung maksud dan tujuan yang tak kalah indah untuk masa depan kita. Suami tanpa istri hanyalah setengah dan istri tanpa suami adalah setengahnya lagi. Dengan kata lain keduanya saling melengkapi.
Lalu jika kita meyakini semua ini, masihkah kemarahan, sikap kasar yang sama sekali jauh dari kelembutan dan kasih sayang menjadi pilihan "tercerdas" kita untuk menghakimi pasangan kita ? bukankah dia tengah dalam posisi tak menyadari kesalahannya, dan hal itu juga mungkin suatu hari terjadi kepada kita? lalu maukah kita juga rela dihakimi dengan kemarahan tanpa ada embel2 "kata kata pembukaan" yang halus yang dilakukan untuk sekedar menjadi peringatan awal?
Mari jawaban dari semua pertanyaan itu kita kembalikan pada diri kita masing masing dan kita renungkan untuk mengukur seberapa tinggi kualitas kita dalam sebuah hubungan.
Yakinlah, masih banyak jalan keluar yang lebih cantik dan pas untuk dilakukan dari pada hanya sekedar mengumbar emosi dan malah justru akan semakin memperjelas kebodohan kita dalam mendengar dan memahami satu sama lain. Dan hanya pribadi yang mau belajar yang dengan pasti dapat mengetahui tentang keindahan sebuah damai.
(syahidah)