Eh, jatoh-jatoh!" seru si kecil kala mainan yang dipegangnya terjatuh. Kita yang mendengarnya, otomatis tertawa. Habis, lucu, sih! Kecil-kecil, kok, sudah latah?
Namun tentunya perilaku latah di usia ini amat berbeda dengan latahnya orang dewasa. Seperti dikatakan Dra. Nurbiana Dhieni, M.Psi. dan Dra. Sofia Hartati, M.Si. yang ditemui di ruang staf pengajar program studi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Universitas Negeri Jakarta, latah pada batita hanya sebatas proses peniruan atau modelling belaka. "Bukankah di masa usia ini,imitasi amat dominan dalam diri anak? Baik me-refer perilaku maupun kata-kata tertentu," kata Dhieni.
Awalnya mungkin si kecil cuma terkagum-kagum ketika melihat orang latah yang bisa "bernyanyi bersahutan" dengan mimik dan kata-kata tertentu tiap kali dicolek atau dikagetkan. Apalagi orang-orang di sekitar si latah biasanya akan tertawa menyaksikan kelatahan tersebut. Nah, berangkat dari rasa kagum inilah, menurut Sofi, si kecil meniru lantaran ingin dianggap mampu dan sama dengan sosok tersebut. "Jadi, kebiasaan latah ini malah menumbuhkan kebanggaan pada anak," terangnya.
Bisa juga ia meniru dari orang-orang terdekat lingkungan si kecil. Bukankah kita pun tak jarang latah sesekali? Nah, bukan tak mungkin kala kita latah, si kecil melihat dan ia pun menirunya. "Biasanya yang ditiru si kecil adalah orang yang terdekat dengannya seperti ibu atau pengasuhnya," bilang Dhieni.
Meski, tak tertutup kemungkinan latahnya si kecil hanya lantaran untuk menarik perhatian. Bukankah orang-orang di sekitarnya pasti akan memberi respon atas kelatahannya? Terlebih lagi usia batita memang tergolong kelompok usia yang masih amat bergantung pada perhatian orang lain atas apa pun yang dikerjakannya. "Anak usia ini, kan, belum mengenal baik dan buruk. Yang penting buat mereka adalah reward tadi," kata Sofi pula.
Kemungkinan lain, tambah Sofi, anak cenderung latah hanya karena kelewat berlebih saat ingin mengekspresikan kegemasan atau rasa geregetnya. "Coba, deh, perhatikan. Kalau ungkapan ekspresinya begitu kuat pada seseorang, misal, bukankah ia akan menyebut nama orang itu berulang-ulang secara cepat tak ubahnya orang latah?"
MENGHAMBAT BAHASA
Menurut Dhieni, kelatahan pada batita sebetulnya akan "berhenti" saat si kecil masuk "sekolah". Soalnya, di tempat itu ia akan menemukan banyak pengetahuan dan keasyikan baru di lingkup pergaulan yang lebih luas. Dengan begitu, ia tak lagi kelewat lengket pada sosok ibu atau pengasuh yang kebetulan punya kebiasaan latah tadi. Kalaupun peniruan latah itu tidak memperlihatkan tanda-tanda berakhir, kitalah yang harus menghentikannya karena bisa merugikan si kecil. Dhieni dan Sofi khawatir, perkembangan bahasa anak jadi terhambat. Soalnya, dengan latah, anak tak belajar menyelaraskan antara kata-kata yang diucapkan dengan makna yang dimaksud. "Bukankah kata-kata yang terucap hanya bunyi tak beraturan yang asal nyeplos begitu saja? Sesuatu yang pernah didengar dan diingatnya. Sementara setiap kata yang terucap, seharusnya mengandung arti tertentu," bilang Dhieni.
Selain itu, latah menjadikan si kecil tak pernah belajar bicara secara benar dalam arti sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar. "Anak pun jadi tak terbiasa bicara secara lancar bila akhirnya selalu melenceng atau ngaco," kata Dhieni pula. Bahkan, bila tak segera diluruskan, tambahnya, "bukan tak mungkin latah menuntun anak jadi penggagap." Meski di satu pihak, latah memang bisa "memperkaya" perbendaharaan kata-kata baru.
Kerugian yang lebih parah, tambah Dhieni, "anak jadi tak terbiasa mengontrol diri, hingga akhirnya kehidupan anak seakan didikte oleh orang yang memancingnya untuk latah dan menjadikannya sumber tertawaan."
Jadi, tegas Dhieni maupun Sofi, latah pada batita bukan suatu bentuk penyimpangan atau kelainan jika cuma terdengar sesekali. Lain hal jika latahnya bersifat menetap atau terus-menerus, perlu mendapat perhatian lebih serius. "Paling tidak, butuh pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apakah ada disfungsi atau kelainan pada saraf-saraf otak si kecil," tutur Sofi. Pasalnya, jika latah sudah sampai pada taraf "penyakit", kemungkinan besar saraf-saraf tertentu di otak yang bertugas mengaktifkan kemampuannya berbahasa agak terganggu.
SOLUSI
Nah, agar si kecil tak keterusan latah, yang pertama harus kita lakukan tentulah tak memberi respon menyenangkan semisal senyum atau tertawa, karena justru akan memperkuat kelatahannya. "Ingat, lo, anak usia ini pemahamannya masih terbatas. Jadi, kalau lingkungannya tertawa, dianggapnya sebagai bentuk pengakuan atau persetujuan atas ulah yang dilakukannya," terang Dhieni. Makanya, si kecil jadi terpancing untuk kembali latah.
Lebih baik, sambung Sofi, si kecil ditegur langsung saat latahnya muncul. "Biasanya anak akan berusaha keras untuk tak mengulangi kebiasaan yang enggak berkenan tadi," katanya. Namun menegurnya jangan dengan nada keras atau marah, lo, dan harus disertai penjelasan. Dengan begitu, si kecil jadi tahu kenapa ia tak boleh latah.
Selain itu, orang-orang terdekat lingkungan si kecil hendaknya juga tak memberi contoh. "Ingat, siapa pun yang paling dekat dengan kehidupan anak, jika ngomong dengan pola tertentu yang memancing latah, si kecil pun akan bertingkah laku sama begitu menghadapi situasi serupa," tutur Dhieni. Jadi, kita perlu mengingatkan orang-orang sekitar untuk menegur sosok peniru, termasuk diri kita sendiri, saat melakukan "kesalahan" tersebut.
Jika segala upaya sudah dilakukan tapi si kecil tetap ngotot mempertahankan kelatahannya, "coba, deh, dicuekin," anjur Sofi. Maksudnya, jangan beri respon apa pun, baik senyuman, teguran, ataupun omelan. "Pokoknya tunjukkan kita tak mendukungnya sama sekali. Dengan begitu, anak belajar memahami bahwa ayah atau ibu diam saja dan tak menyetujui aksinya." Biasanya cara ini cukup manjur, kok. Bukankah kalau kita diam, si kecil biasanya malah tak berkutik? Sementara kalau kita ngomel, ia malah makin nekat. Apalagi kalau kita bereaksi tertawa, makin menjadi-jadilah ulahnya.
Nah, mana solusi yang tepat, silakan Ibu dan Bapak pilih yang kira-kira paling pas buat menghadapi si kecil yang latah.
WASPADAI TAYANGAN TV
Kita tahu, tayangan TV bisa berpengaruh positif maupun negatif pada anak. Celakanya, jika si kecil terpengaruh yang negatif. "Ambil contoh tayangan iklan sebuah obat sakit kepala yang penjualnya digambarkan latah. Nah, ini, kan, bisa saja ditiru si kecil," bilang Dhieni. Itu sebab, tekannya, orang tua harus jeli mengamati sekaligus memilah-milah tontonan yang boleh dinikmati anaknya dan mendampingi kala si anak nonton. Hingga, saat ada tontonan yang tak layak ditiru semisal tayangan iklan tadi, kita bisa langsung menjelaskannya pada si kecil.
(sydh/tn)