Pikiran manusia semakin bergerak bebas seiring dengan menuanya dunia.Daya pikat modernisasi yang tiada berbatas menghasilkan berbagai ide tentang cara hidup yang lebih baik. Namun sayangnya, efek negatif yang menyertainya pun mengaburkan batas yang jelas-jelas menjadi pemisah antara hitam dan putih. Banyak yang ditabrak dan tidak jarang pula sebagian dari mereka acuh tak acuh dengan aturan kebaikan yang sebenarnya membaikkan hidup mereka.
Banyak manusia yang merasa terlalu pintar dan akhirnya menuruti jalan pikirannya sendiri. Sehingga perkataan dan perbuatannya pun terjadi menurut kebenaran diri mereka sendiri. Keras kepala, tidak menerima interupsi, kritikan, masukan atau nasehat, bahkan dari Allah yang maha perkasa sekalipun selanjutnya menjadi bagian dari tindakan mereka. Sampai akhirnya, banyak dari mereka yang tidak sadar bahwa apa yang mereka perbuat dan terapkan tersebut sudah melecehkan, menghina bahkan menandingan aturan Allah Subhanahu wa ta'ala.
Namun anehnya, ketika dikonfirmasi, banyak dari mereka yang tak mengakuinya, dan bahkan dalih tentang kuasa Allah yang mustahil tertandingi pun dengan lancar mereka kemukakan. Tapi, hal ini jelas- jelas berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Nyatanya, misi budak hawa nafsu tetap mereka berlanjut. Benar dan salahpun telah menjadi samar, bahkan nyaris tidak diketahui lagi. Nilai-nilai moral hanya dianggap sebagai aturan yang membelenggu, alot dan sukar untuk diterimanya.
Selanjutnya, konsep ayat Alquran yang sudah seratus persen PASTI baik untuk seluruh umat manusia, pun masih digugat, dikritisi, dan dianggap kuno. Bahkan tak jarang manusia yang memegang teguh aturan dalam Alquran dicaci maki,direndahkan dan dihina. Tidak sampai disini, manusia- manusia kurang akal, penghujat kalimat Allah itu tak segan segan menyatakan kehebatannya yang menurut mereka setara atau bahkan lebih dari Penguasa dan Pemegang ubun ubun mereka tersebut. NAUDZUBILLAH MINDZALIK...
Para orang alim dari kalangan manusia yang menasehati mereka malah dianggap sok suci dan memaksakan kehendak. Dengan sombongnya mereka menyematkan predikat `Katak dalam tempurung`, bagi orang- orang yang setia dengan jalan Allah tersebut. Memanglah para penasehat dikalangan manusia hanyalah sekedar manusia, yang tentu tak lepas dari kekurangan mereka sebagai manusia. Namun bisakah para pembangkang itu sedikit bijak dengan bersikap menyaring kebaikan dari nasehat nasehat itu saja, dan menghadirkan pemakluman bahwa orang alim tersebut jugalah bukan malaikat?.Memang pertanyaan yang konyol untuk dimohonkan kepada para musuh Allah tersebut, dalam keingkaran mereka menghina dan merendahkan aturan Allah, masihkah kebijaksanaan terbit dalam hati mereka?
Seperti tontonan yang sangat menggelikan memang. Kalau boleh ada satu pertanyaan simple saja untuk mereka, apakah para penghina dan pelaku pelecahan agama Allah tersebut telah mengistirahatkan batinnya sebentar untuk merenung dan berpikir, bagaimana kiranya jika Allah sang maha perkasa mengusir mereka dari langit dan buminya? Akankah mereka menemukan tempat kaki untuk berpijak atau minimal kontrakan yang menyediakan oksigen gratis untuk mereka hirup? Atau jika mereka harus menjadi gelandangan, akan menggelandang dimanakah mereka? dan kalau saja Allah mempensiunkan satu saja panca indra mereka, masih adakah kesombongan dan keberanian mereka untuk menghina Sang Maha Perkasa?
Kita hidup sekali dan tidak ada kesempatan untuk mengulanginya. Jika hidup memang tentang perjuangan, marilah menjadikan diri kita pejuang sejati, tapi sebelum itu lihatlah kembali, apakah yang kita perjuangkan sudah benar- benar benar? Ketika pertanyaan tersebut diajukan kepada seribu manusia pastilah seribu kebenaran menurut konsep mereka masing- masing akan tercipta. Lalu, mengapa kita tidak mengukur kebenaran itu dengan barometer yang konstan, yaitu aturan Allah subhanahu wata`ala yang TIDAK akan pernah salah. Hanya hati yang penuh kebencian, kedengkian, dan penyakit yang berani dengan lancang menyalahkan yang maha kuasa dan Maha Penyayang hamba- hambanya.
Perlukah mereka melihat terlebih dahulu bukti kekuasaan Allah yang maha dahsyat, dan barulah mereka percaya?. Atau haruskah Adzab Allah datang kepada mereka, barulah permohonan ampun mereka baru terucap? Bagi para hamba yang tidak tahu terimakasih kepada penciptanya, masihkan mereka akan tahu cara berterimakasih bahkan untuk sekedar kepada sesamanya?
(Syahidah)