View Full Version
Selasa, 25 Oct 2011

Peka Pada Rasa Kecewa Si Kecil

Coba perhatikan wajah bayi anda saat kita melepaskannya dari gendongan lalu tiba- tiba menaruhnya di boks. Bayi anda akan dipenuhi rasa kecewa. Rasa kecewa bisa juga muncul pada bayi anda akibat lingkungan tidak cepat memberi respons untuk memenuhi kebutuhannya, seperti saat lapar, haus, dingin, kepanasan, atau kebutuhan psikis seperti ingin disayang, dibelai, dipeluk, ditimang, dan dicium.

Sebetulnya, sejak lahir bayi sudah memiliki emosi. Namun di usia 3 bulan ke atas, barulah bayi bisa menampilkan emosinya dan lingkungan bisa menangkapnya. Respons emosi pada bulan-bulan pertamanya lebih terkait dengan kondisi internalnya seperti ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit.

Pada usia 1-6 bulan, bayi mulai tersenyum pada orang di sekitarnya, tertarik dengan stimulus baru, marah ketika terganggu, dan lainnya.
Sedang pada usia 6-12 bulan emosinya terkait dengan kemampuan mengingat apa yang telah terjadi dan membandingkannya dengan peristiwa yang sudah terjadi.

Emosi di usia ini juga merefleksikan kemampuannya melatih kontrol terhadap lingkungan di sekitarnya dan frustrasi ketika tujuannya tidak tercapai. Emosi dasar inilah yang akan dirasakannya ketika keinginannya tak tercapai.

Sebaiknya jangan sampai orangtua membiarkan kekecewaan tersebut berlarut-larut dirasakan si kecil. Lewat pengamatan, sebetulnya bisa terlihat tanda kekecewaan pada bayi. Terutama dari komunikasi awal yang paling sederhana yang dapat dilakukannya, yakni menangis.

Orangtua biasanya sudah tahu dan dapat mengidentifikasikan dengan sendirinya tangisan seperti apa yang merupakan ekspresi kekecewaan si kecil. Sayangnya, tanpa disadari orangtua lebih sering terfokus pada kebutuhan fisik bayi ketim-bang kebutuhan psikisnya. Contohnya, bila menangis, umumnya orangtua menganggap bayi hanya lapar atau haus. Padahal, sangat mungkin ia hanya ingin digendong dan dibelai. Contoh lain, ketika orang tua "memaksa" menggeletakkan bayi di boks selagi ia masih ingin terus digendong, orangtua tidak memberi mainan pengalih perhatian seperti mainan yang mengeluarkan suara-suara atau musik tertentu.

Mestinya orangtua dapat lebih meningkatkan kepekaannya untuk segera memberikan respons ketika bayi mengalami kekecewaan. Ini penting agar emosi negatif pada bayi tidak terakumulasi hingga membentuk perasaan tidak aman atau tidak percaya terhadap lingkungan. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua:

1. Perhatikan kebutuhan apa yang sedang diinginkannya saat ini. Jika orangtua memang tidak bisa memenuhi keinginannya, antara lain minta digendong terus, maka segera alihkan perhatiannya saat ia ditaruh dalam boks. Jangan biarkan ia merasa sendirian.

2.Ungkapkan kasih sayang lewat sentuhan maupun kata-kata bernada lemah lembut. Meski bayi belum mengerti sepenuhnya, namun ia pasti dapat menangkap kasih sayang tersebut sambil mengembangkan kemampuan berbahasanya. Kata-kata lembut dari orangtua akan menghibur perasaannya yang kecewa. Ia pun merasakan bahwa orangtuanya tetap mengerti dan memahami kebutuhannya.

3. Jangan membiarkan bayi merasa marah dan kesal dalam waktu lama akibat perubahan tiba-tiba yang mengagetkannya. contohnya,langsung menurunkannya dari gendongan. Ini bisa berakibat bahwa bayi jadi tak punya waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dadakan tersebut.

Jika anda tidak sesegera mungkin mengatasi kekecewaannya, dampaknya memang mungkin belum begitu tampak di usia bayi, namun biasanya akan muncul di tahapan usia-usia berikutnya, bahkan hingga dewasa. Bayi yang sering mengalami rasa kecewa, maka perkembangan emosinya bisa terganggu. Ia pun tidak mampu mengelola emosinya dengan baik karena memang tidak dibiasakan untuk mengekspresikan perasaan secara sesuai dan tak diajarkan cara mengatasinya. Ia tidak tahu mengungkapkan kekecewaan secara tepat. Kalaupun marah, sering kali dalam porsi yang tidak proporsional. Emosi yang sering dirasakan juga cenderung negatif.

Hal ini selanjutnya akan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap lingkungan. Lebih lanjut ketidakpercayaan ini akan menempanya menjadi individu yang tidak percaya pada dirinya sendiri selain lingkungan. Ia cenderung menganggap apa saja yang dilakukannya selalu tak membuahkan hasil memuaskan. Tak heran kalau nantinya yang bersangkutan akan tumbuh menjadi individu yang pesimis.

Rasa tersebut akan membuat anak selalu takut untuk melangkah. Ia sulit membina hubungan dengan orang lain. Interaksi atau kemampuan dirinya bersosialisasi jadi terhambat. Di lingkungan pekerjaan pun kelak ia tak akan berkembang optimal. Dengan demikian, dampak kekecewaan semasa bayi bisa luas dan mengenai seluruh aspek kepribadiannya.

Dan yang terakhir, jika bayi sering kecewa pada sikap orangtua, otomatis kelekatannya dengan orangtua jadi terganggu. Itu karena anak merasa diabaikan kebutuhannya. Akhirnya, ia menyikapinya dengan dua kemungkinan. Pertama dengan bersikap resisten dan kedua dengan bersikap tidak peduli alias acuh tak acuh.

Si sosok resisten akan gampang menangis atau rewel setiap kali kebutuhan dan keinginannya tidak terpenuhi. Kala orangtua berangkat bekerja, ia mengantar kepergian mereka dengan menangis sejadi-jadinya. Kemudian ketika ibu dan ayah kembali, dia akan bersikap agresif, seperti memukul-mukul. Sedangkan anak yang tak peduli akan benar-benar acuh tak acuh di saat orangtuanya ada ataupun tidak ada. Jadi mulai sekarang, jangan anggap remeh kekecewaan yang terjadi pada diri bayi anda.

(sydh/tn)


latestnews

View Full Version