Oleh: Minuk Kusmiati
Perkara paling sukar dari menjalankan ketaatan bukan terletak pada pelaksanaan ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, sedekah sampai haji bahkan umrah. Namun, sulitnya taat terletak pada menjaga iman dan taatnya sampai datang kematian. Karena sejatinya taat itu adalah proses berkepanjangan tanpa jeda.
Tiliklah kisah Bal’am bin Baura yang hidup pada masa Nabi Musa ‘alaihissalam. Hdup dengan iman pada awalnya, namun mati secara tragis menjadi murtad pada akhir hayatnya. Naudzubillah.
Dan lihatlah kisah Arrajal yang hidup beriman pada awalnya bersama nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun mati dalam kemurtadan karena mengikuti nabi palsu Musailamah Al-Kadzab. Semoga Allah mematri iman kita dalam hati. Kita berlindung kepada Allah agar jangan sampai seperti Abdullah bin Abdurrahim yang mati naas dalam murtadnya karena cinta butanya kepada seorang wanita Nashrani. Padahal amatlah disayang, Abdullah bin Abdirrahim adalah seorang penghafal Qur’an dan seorang mujahid.
Beberapa contoh di atas seolah-olah menegaskan kepada kita bahwa tiada satu pun yang dapat menjamin akan seperti apa iman kita kelak saat maut menjemput. Tidak ada yang bisa memastikan kuatnya iman kita saat ini akan sama keadaannya saat ruh kita kembali ke Penciptanya. Barangkali itulah kenapa, dalam penghambaan kita kepada Dzat yang Mahasuci, kita senantiasa diperintahkan untuk istiqomah. Ya, istiqomah dalam zikir, do’a, ibadah, bermunajat, mengkaji Qur’an, menghafalnya, bermajlis ilmu, berkumpul dengan orang shalih dan selainnya. Usaha demikian ini Insya Allah iman dan taqwa dalam hati selalu terpatri sampai mati. Itulah yang Allah perintahkan, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datangnya kematian.” (Q.S Al-Hijr:99).
. . . tiada satu pun yang dapat menjamin akan seperti apa iman kita kelak saat maut menjemput. . .
Ibadah yang kita kita tegakkan, dzikir yang selalu kita lantunkan, sedekah yang kita keluarkan; semua itu tidak dilakukan kecuali hanya sampai habis jatah hidup kita di dunia ini. Alangkah bahagianya apabila yang menjadi penutup hayat kita adalah suatu amalan yang terpuji, karena “Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya.” (HR. Bukhari dan selainnya).
Baik buruknya hidup kita tergantung pada amalan terakhir kita. Hendaknya kita konsisten menjaga iman yang selalu mengakar kuat dalam sanubari supaya kita pun mati dalam keadaan yang Allah ridhai, “ … dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan muslim (berserah diri).” (Q.S Ali ‘Imran: 102)
Al-Qur’an juga telah mengajarkan kepada kita doa yang indah untuk dimunajatkan kepada-Nya, “Ya Rabb kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali ‘Imran: 8)
Sungguh, tiada hal yang indah kecuali Allah menetapkan hati kita untuk taat pada agama mulia ini.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
“Yaa Muqallibal Quluub, tsabbit qolbi ‘ala diinik. Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allahumma Musharrifal Quluub, sharrif Quluubanaa ‘alaa thaa’atik. Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepadamu.” (HR. Muslim). [PurWD/voa-islam.com]