Sahabat,
Bulan April diyakini oleh perempuan Indonesia sebagai tonggak perjuangan mereka dalam memperjuangkan hak-haknya. Begitu juga dalam kiprahnya di panggung politik nasional demi menentukan arah bangsa ini agar tidak timpang dalam membela kepentingan kaum perempuan. Sehingga ide penambahan komposisi prosentase perempuan dalam parlemen yang disuarakan oleh banyak aktivis perempuan semakin marak mendekati pemilu. Diharapkan dari bertambahnya jumlah prosentase kaum perempuan di parlemen, dapat meningkatkan kepedulian pemerintah terhadap nasib dan hak-hak perempuan yang selama ini dianggap terpinggirkan.
Bila kita cermati ide penambahan komposisi perempuan dalam parlemen pada sebuah sistem demokrasi adalah suatu hal yang utopis. Karena dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kepentingan individual dan kebebasan, seberapa pun prosentase perempuan dalam parlemen tidak akan mengubah nasib perempuan itu sendiri. Belum lagi rendahnya keterikatan dan kepedulian wakil perempuan dalam parlemen terhadap isu-isu perempuan sendiri. Bahkan pemimpin negara perempuan yang diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan perempuan pun ternyata hanya harapan semu yang tak berujung.
Islam sebagai sistem hidup yang paripurna tidak membenarkan perempuan atau muslimah untuk mengambil peran dalam parlemen yang bermakna kekuasaan dan berfungsi sebagai pembuat hukum (legislatif). Dalam Islam telah jelas kedudukannya bahwa pembuat hukum itu hanya Allah semata dan kedaulatan itu ada di tangan syara’ dan bukannya rakyat. Permasalahan perempuan dalam Islam tidak dipandang terpisah sebagai perempuan an sich, melainkan juga merupakan satu agenda permasalahan umat.
Islam juga tidak menutup mata terhadap keterlibatan perempuan dalam kancah politik. Karena makna politik sendiri dalam Islam adalah memelihara urusan umat dengan suatu sistem tertentu dalam hal ini adalah Islam, maka kiprah perempuan sebagai ‘agent of change’ di tengah masyarakat pun dinanti kehadirannya. Perempuan juga mempunyai kewajiban untuk mengingatkan penguasa apabila ia melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Maka keberadaan perempuan dalam majelis syuro’ yang berbeda dengan parlemen adalah suatu pilihan atau boleh.
Bila kita mau menengok ke belakang, sejarah tentang realitas politik perempuan dalam dunia Islam, maka akan kita dapati seorang perempuan yang menggunakan hak politiknya untuk menegur seorang pemimpin negara sekaliber Khalifah Umar Bin Khatab. Lalu ada juga beberapa wanita yang membaiat Rasulullah sebagai bukti kepedulian politik mereka.
Ada peran penting lain yang harus dijalankan oleh perempuan dalam kondisi negara yang sedang carut marut seperti ini untuk mengubah kondisi ke arah yang lebih baik. Bentuk praktis itu tak melulu mendaftar menjadi calon legislatif. Kiprah perempuan dalam satu keluarga secara praktis lebih menentukan masa depan generasi ke depannya. Mendidik anak-anak dengan pola didik yang khas untuk menjadikan mereka generasi berkualitas. Lingkungan tempat tinggal juga butuh sentuhan nyata untuk perempuan berkiprah. Mengaktifkan kajian ibu-ibu di kampung, menghidupkan remaja masjid hingga turut serta membina anak-anak dalam grup PAUD atau tahfidz Qur’an. Ini semua adalah suatu kewajiban sebagai tanggung jawab politiknya di hadapan Allah kelak.
Jadi, perempuan peduli politik seyogyanya mewujud nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan karya yang lebih terasa bagi umat. Terjun dalam parlemen yang notabene tugasnya adalah membuat undang-undang menyaingi hak mutlak Allah sebagai al-mudabbir (pengatur) bukanlah solusi untuk mengajak perempuan lebih memaksimalkan kiprahnya. Apalagi bila kiprah itu dimaknai sempit dengan datang ke bilik suara dan menggunakan hak suaranya saja dengan mencoblos caleg atau partai yang tersedia di lembaran surat suara pemilu.
Bagaimana bila partai yang kita inginkan tak tercantum dalam kertas suara dalam pemilu? Karena jelas, surat suara itu tak mungkin menampung partai yang bertujuan tidak selaras dengan keberadaan demokrasi yang menaungi proses pemilu yang sedang berlangsung itu sendiri. Sebuah wadah yang kecil tak mungkin mampu menampung sesuatu yang lebih besar daripada wadah tersebut. Keberadaan demokrasi yang utopis sulit kalau tak bisa dibilang mustahil untuk menampung ide besar terlaksananya kembali satu sistem yang itu tunduk pada maunya Sang Pengatur. [Ria Fariana/voa-islam.com]