Sahabat saya sejak SMA meninggal beberapa saat yang lalu. Sedih? Tentu saja. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas kali ini. Bukan kesedihan karena sesungguhnya rasa sedih itu alami akan muncul ketika kita kehilangan sesuatu.
Mundur sekian tahun ke belakang, saat saya dan sahabat saya asyik ngobrol, diskusi dan merencanakan masa depan di satu SMA negeri di kota Surabaya. Saat itu, tak terbersit sedikit pun bahwa usia salah satu dari kita ternyata hanya sekian tahun selepas SMA. Memang, ada terbersit di sana-sini dalam perbincangan tentang kematian. Tapi itu diungkapkan secara umum saja. Karena memang kematian tak pernah mengetuk pintu dulu ketika ia ingin datang.
Bahasan utama yang sering muncul adalah akan kuliah apa selepas SMA. Setelahnya akan menikah di usia berapa. Berapa anak yang ingin dimiliki, pasangan seperti apa yang nanti akan mendampingi. Usia yang penuh vitalitas untuk merajut mimpi dengan bahagia dan suka-cita. Sungguh, siapa nyana bila batas usia ternyata belum sempat mewujudkan mimpi itu menjadi nyata.
Perenungan ini menyentak nurani ketika setiap mengenang sabahat saya tersebut, saya kembali introspeksi. Bahasan kematian tak begitu sering menjadi topik penting dalam keseharian kita. Bahkan ada beberapa orang yang sengaja menghindari tema ini dalam pembicaraan. Mereka beralasan bahwa hidup ini terlalu indah untuk sekadar membicarakan kematian yang menurutnya menakutkan. Dia akan beranjak pergi bila ada yang berusaha membicarakan tema tentang ajal.
Cita-cita, mimpi, dan harapan adalah sesuatu yang belum pasti di masa depan. Satu yang pasti di masa depan, mau tidak mau, siap tidak siap, akan menghampiri kita adalah kematian. Bisa jadi ia jauh yaitu menunggu manusia tua. Bisa jadi juga ia dekat yaitu setahun ke depan, sebulan, seminggu, esok atau bahkan menit dan detik berikutnya nafas kita terhenti.
Betapa banyak orang yang tidak sakit, tiba-tiba meninggal. Dalam perjalanan ke sekolah, ia terantuk batu, bisa meninggal. Ketika tidur kemudian tak bangun lagi, usai salat subuh, saat tilawah, di tengah makan dan tersedak, turun dari angkot, dan berbagai peristiwa yang terlihat sepele, saya tahu sendiri orang-orang yang meninggal dalam kondisi di atas. Itu adalah kondisi meninggal yang husnul khatimah, mati dalam keadaan baik Insya Allah.
Ada juga orang-orang yang ajal menjemput saat ia asik teler karena minuman keras, narkoba, berzina, korupsi, menipu dan berbagai aktivitas buruk lainnya. Naudzubillah, mereka ini mati dalam keadaan su’ul khatimah atau mati dalam keadaan buruk. Semoga Allah menjauhkan kita dari kondisi seperti ini, amin.
Ternyata, bukan hanya sakit dan usia tua saja yang menghantarkan manusia pada kematian. Jangan sombong bahwa dengan uang banyak atau kesaktian tingkat tinggi manusia bisa kebal ajal. Belum pernah ada ceritanya ada orang berhasil menghindari kematian. Sembunyi ke lubang biawak atau tembok setebal apapun, malaikat Izrail selalu punya cara untuk menjemput nyawa yang sudah waktunya pulang.
Pilihannya sekarang bukan kapan waktu mati seseorang, tapi dalam kondisi seperti apa kita memilih akhir kehidupan ini. Amal yang kita rajut ketika nyawa masih dikandung badan, itu akan menentukan bagaimana kita memprediksi akhir hayat ini. Karena malaikat Izrail datang tak mengetuk pintu, maka kita tak akan pernah tahu kapan ia datang. Seyogyanya kita memilih aktivitas yang akan mendekatkan kita pada akhir yang baik daripada yang buruk. Bila ini sudah maksimal kita lakukan, maka jangankan sekadar membicarakan kematian, datangnya kematian itu sendiri bukan menjadi sesuatu yang menakutkan lagi. Karena siap tidak siap, suka tidak suka, ajal adalah pengintai yang tak kenal usia. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)