Ayahbunda sahabat Voa-islam.com
Satu hari, Bu Lusi mendapat laporan dari tetangga bahwa putra bungsunya yang masih duduk di bangku SD kelas 1 membawa uang sebesar Rp. 100.000,00. Nilai itu tentu saja sangat besar untuk anak usia 7 tahun. Esok harinya, adik Bu Lusi mengatakan bahwa dirinya kehilangan uang sejumlah Rp. 100.000,00 di hari tepat ketika putra bungsunya masuk ke dalam kamar tantenya. Adik Bu Lusi meminta kakaknya untuk bertanya apakah si bungsu tahu tentang uang tersebut. Bukannya segera meminta penjelasan pada si anak darimana uang itu berasal, Bu Lusi bersikap acuh tak acuh.
Bunda, sikap seorang ibu pada anak di usia dini, menentukan karakter si anak beberapa tahun ke depan. Benar saja, ketidakpedulian Bu Lusi membawa bumerang ketika akhirnya si bungsu suka mengambil uang milik orang lain. Bukan lagi Rp.100.000,00 tapi hingga nilai jutaan ia sudah berani mengambil tanpa izin alis mencuri. Pembenahan karakter di fase lanjut yaitu remaja atau bahkan dewasa, sangatlah sulit bila dibandingkan dengan usia kanak-kanak.
Tak ada orang tua yang mengajari anaknya mencuri sesuatu. Mereka berusaha keras agar anaknya menjadi sosok idaman yang berakhlak bagus. Tapi ada kalanya harapan tak sesuai kenyataan. Anak tumbuh menjadi pribadi yang suka mengambil hak milik orang lain.
Mencuri bukanlah penyakit turunan. Betapa banyak orang tua yang menyatakan pembenaran terhadap sikap si kecil hanya karena dulunya ia juga suka mencuri barang atau uang milik orang lain. Mencuri adalah satu sikap imitasi atau meniru pada diri si anak. Pasti ada peristiwa yang direkam oleh ingatannya akan proses mengambil milik orang lain tanpa izin. Bisa jadi si kecil pernah melihat ibunya mengambil uang si ayah dari dompet tanpa izin. Atau si kakak yang mengambil uang milik ibunya tanpa izin dan tak ditegur. Peristiwa keseharian seperti ini akan direkam oleh si kecil dan menjadi satu hal yang menurutnya benar. Tak ada teguran, tak ada ‘punishment’.
Jangan lupa bahwa peranan lingkungan juga berpengaruh besar bagi perkembangan jiwa dan karakter anak. Lihat sekeliling apakah tetangga dan keluarga besar turut andil dalam memberikan contoh negatif ini? Televisi sebagai media yang seringkali salah kaprah menjadi soko guru anak-anak karena seringnya mereka duduk manis menonton tayangan tak bermutu. Ajaran buruk ini adakalanya tanpa sadar masuk ke dalam rumah kita melalui tabung kaca yang digemari oleh si kecil. Diperparah lagi ketika orang tua khususnya ibu tak melakukan pendampingan ketika si kecil menonton televisi.
Bunda, kita tak ingin anak-anak kita menjadi generasi maling seperti ini. Senyampang masih kecil, harus segera dilakukan pembenahan pada karakter negatif anak agar tak makin berkembang ketika ia dewasa. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua ketika mendapati anaknya memegang uang besar padahal kita merasa tak pernah memberinya.
Langkah pertama, ajaklah anak untuk duduk nyaman bersama kita, orang tuanya. Jangan dulu menghakimi. Ceritakan kisah-kisah hikmah yang menarik tentang buruknya perilaku mencuri itu. Bisa digunakan cerita fabel untuk media menyampaikan pesan. Ketika cerita selesai, minta si anak untuk memberi penilaian tentang kisah tersebut. Dari sini, giringlah arah agar anak mau jujur darimana uang sebesar itu dia dapatkan.
Karakter anak beragam. Ada anak yang mudah mengaku tapi ada juga anak yang berkelit. Orang tua harus paham karakter mana yang melekat pada si kecil. Pemahaman akan karakter anak akan memudahkan pendekatan agar mereka mau jujur dan terus terang. Ingatlah pola ‘reward and punishment’ yang sangat efektif diterapkan pada pendidikan seperti ini. Anak jujur berilah ‘reward berupa pujian. Bila tidak jujur ‘punishment’ layak diberikan dan wujudnya tidak harus berupa fisik. Bisa saja, si anak tak boleh bermain sekian hari sampai ia jujur darimana uang tersebut ia dapatkan. Insya Allah dengan pola seperti ini, si anak akan memahami bahwa mencuri bukanlah sikap terpuji. Wallahu alam. (riafariana)