Di dalam angkot yang sedang ngetem, saya memutuskan untuk mengamati seorang ibu muda yang baru saja naik bersama dengan putri kecilnya berusia sekitar 3 tahun. Si kecil membawa es krim di tangannya. Dia duduk manis di samping ibunya yang langsung sibuk dengan HP di tangan. Yang satu asik makan es krim hingga belepotan ke seluruh bibir, sebagian pipi, menetes ke baju dan lantai angkot. Si ibu sama sekali tak memperhatikan karena matanya tidak pernah lepas dari layar HP.
Beberapa saat kemudian ketika kondisi anak sudah sangat belepotan es krim, si ibu menoleh. Dengan tak sabar, ia sedikit menghardik dan memarahi si anak karena es krim tadi meleleh dan meluber kemana-mana. Sepertinya si ibu tidak membawa tisu atau sapu tangan karena kondisi si anak dibiarkan begitu tanpa ia berusaha untuk membersihkan atau bertindak sesuatu untuk si anak. HP di tangan jauh lebih menarik perhatian karena detik berikutnya ia sibuk lagi dengan benda mati tersebut.
Di belahan jalan yang lain, saya melihat ibu muda lainnya sedang menggendong anaknya yang berusia sekian bulan dalam gendongan kain. Bila dulu ibu kita bersenandung merdu, meninabobokkan anaknya agar segera tidur, ibu muda tersebut sebaliknya. Sembari kakinya mengayun-ayun ke depan ke belakang, tangannya sibuk memegang HP memencet-mencet keypad. Sesekali HP-nya didekatkan ke telinga dan ia pun berbicara dengan seseorang di seberang sana. Berprasangka baik saja bahwa ia sedang ngobrol via telpon dengan suaminya.
Bunda, dua ilustrasi di atas sedikit banyak mewakili gambaran masyarakat kita. Benda mati yang diwakili oleh HP seolah jauh lebih penting daripada makhluk bernyawa yaitu anak kita sendiri. Dengan mudah kita merasa terganggu ketika kesenangan bermain dengan HP disela meskipun itu olah anak sendiri.
Tak ada yang salah dengan HP yang merupakan wujud kemajuan teknologi. Sikap manusia saja yang kurang bisa menempatkan diri dimana seharusnya ia memberi skala prioritas pada aktivitas. Tak sedikit berita tentang celakanya seorang anak hanya karena ibunya lebih mendahulukan Hpnya daripada si anak. Bahkan sempat ada seorang bayi berusia beberapa bulan meninggal karena ibunya asik bermain BB hingga tak sadar bila hidung si bayi tertutup selimut. Tentu kita tak ingin kejadian serupa menimpa diri, keluarga dan orang terdekat.
Teknologi atau HP adalah sebuah alat untuk mempermudah kehidupan. Seharusnyalah kehidupan jauh lebih baik dengan adanya alat ini, bukan sebaliknya. Ketika yang terjadi adalah celaka akibat kecerobohan manusia, maka perlu ditelaah ulang keberadaan HP ini dalam kehidupan seseorang.
Sekian tahun yang lalu, ketika semua teman memunyai HP, saya memilih tidak memilikinya meskipun saya sanggup untuk itu. Teman-teman pun menganggap bahwa saya memerlukannya karena itu memudahkan mereka untuk bisa menghubungi saya dengan mudah. Tapi saya memunyai pertimbangan lain. Mereka bisa menghubungi saya di nomor telpon rumah ketika malam dan pagi hari. Ketika siang hingga sore hari, nomor kantor selalu siap untuk dihubungi bila ada keperluan dengan saya.
Hingga di satu titik ketika HP memang benar-benar urgent dan tak bisa ditunda yaitu ketika saya menulis novel duet dengan teman beda kota, HP pun akhirnya dibeli. Itupun dipegang ketika memang perlu untuk mengirim sms atau menelpon. Tidak untuk mainan, tidak untuk gaya-gayaan, dan tidak untuk membuang waktu.
Dibandingkan dengan anak, HP hanyalah benda yang tak akan bisa mendoakan kita. HP memang berguna tapi ia mudah dimakan usia yang kurang lebih sekitar 2 tahun. Akan ada HP canggih keluaran terbaru yang membuat HP kita sebelumnya terlihat kuno dan jadul.
Berbeda dengan anak, ia adalah makhluk benyawa yang memunyai jiwa. Pada dirinya ada masa depan yang panjang, sepanjang usia bumi. Sungguh tak bijak ketika orang tua lebih memprioritaskan bermain HP daripada bermain dengan buah hati. Bunda, letakkan Hpmu ketika ada si kecil di sekitar. Kita tak ingin ketika beranjak tua kelak, anak lebih mementingkan gadgetnya daripada orang tuanya bukan? Maka, berilah teladan mulai sekarang. Wallahu alam. [riafariana/adivammar/voa-islam.com]