View Full Version
Selasa, 17 Jun 2014

Voa-Islamic Parenting (14): Trauma Anak Akibat KDRT

Sahabat keluarga VOA Islam,

Seorang muslimah bercerita bahwa ia sudah mempunyai calon ayah bagi anaknya yang berusia 8 tahun.

Ya...muslimah ini menjanda sejak beberapa tahun yang lalu. Ia korban kekerasan dalam rumah tangga. Sang suami sangat gemar memukul. Ia mampu bertahan untuk menunggu orang yang tepat. Ketika sosok itu sudah mulai terlihat, ia pun membutuhkan kerelaan si anak untuk menerima orang baru dalam kehidupan mereka. Tapi apa reaksi si anak?

“Saya nggak punya ayah juga nggak apa-apa, Bu. Daripada punya ayah tapi sukanya memukuli ibu. Saya pilih nggak usah ada ayah saja.”

Bunda, ini anak usia 8 tahun yang berkata demikian. Tanpa sadar, kejadian kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa ibunya dan dilakukan oleh ayah kandungnya, terekam dengan baik dalam ingatan seorang anak. Pernahkah kita berpikir, luka jiwa sedalam apa yang tertoreh di jiwa lugu dan murni ini?

Kejadian di atas bisa dijadikan pembelajaran bagi kita. Pertengkaran sekecil apapun, apalagi hingga melibatkan fisik (naudzubillah) jangan sampai terjadi di depan mata anak-anak. Jiwa anak yang masih lugu dan bersih, akan mudah merekam kejadian buruk bahkan traumatis dalam memorinya. Ketika ayah dan ibunya sudah rukun kembali, trauma si anak akibat perselisihan orang tua akan melekat. Trauma ini apabila tidak segera tertangani akan dibawa si anak terus ke masa depan. Dan ini memberi efek yang buruk bagi sikap, kepribadian bahkan pilihan hidup si anak kelak.

Beda pendapat, perselisihan atau bahkan pertengkaran kecil merupakan bumbu dalam rumah tangga. Bagi yang pernah menikah, pasti mengalam fase ini. Ketika emosi tak lagi stabil, hal kecil bisa memicu pertengkaran kecil yang kemudian membesar. Tak semua orang bisa menahan emosi. Tak semua suami istri bisa berlaku bijak. Dan tak semua orang tua memahami bahwa ketidakharmonisan yang ditunjukkan di depan anak bisa berakibat fatal. Apapun itu, manusia memang selalu berproses untuk belajar dan menjadi lebih baik. Tapi Bunda, usahakan dengan sangat untuk tidak melakukan hal negatif ini di depan anak.

Bunda boleh sebal dengan suami, jengkel, marah, sedih, cemburu atau apapun perasaan yang memberi efek negatif ke ke diri. Tapi cobalah untuk bisa bermain sandiwara meskipun sejenak untuk tetap bisa bersikap seolah-olah semua baik-baik saja di depan si anak. Ingat, seorang anak di sini benar-benar usia kanak-kanak hingga remaja. Ketika anak-anak sudah beranjak dewasa, lain cerita. Mungkin Bunda sudah bisa berbagi dengan mereka. Asalkan hal-hal yang dibagi bukan masalah privacy semisal hubungan di balik pintu kamar. Bahasa kerennya sih hubunga seksualitas. Kalau ini bukan konsumsi mereka meskipun sudah dewasa. Beda kalau profesi mereka dokter spesialis atau psikolog yang ada kaitannya dengan bidang ini. Intinya, letakkan semua pada tempatnya.

Bunda mungkin bukan pemain sandiwara yang baik. Tapi tak perlu lebay juga untuk menunjukkan ‘kepalsuan di depan anak-anak’. Cukup tidak bersuara keras terhadap pasangan, tidak mengatakan hal buruk tentang pasangan yang itu juga adalah orang tua anak-anak, apalagi menunjukkan pertengkaran di depan anak-anak. Apalagi ketika perselisihan meningkat ke fisik, maka jangan pernah hal ini ditolerir lagi. Bila perempuan sebagai manusia kuat menerima pukulan laki-laki yang disebutnya suami, maka camkan satu hal ini: anak-anak yang tidak kuat menanggungnya.

Jadi jangan biarkan ada kekerasan dalam rumah tangga. Bunda sebagai perempuan harus bisa bersikap tegas. Ini tidak lagi menjadi masalah suami dan istri, tapi masa depan generasi dipertaruhkan di sini. Bila bersuara keras terhadap pasangan saja sangat tidak dianjurkan dilakukan di depan anak-anak, apalagi sampai taraf pemukulan.

Kasus muslimah di atas adalah sesuatu yang telah terjadi. Menjadi PR tersendiri baginya untuk memahamkan si anak bahwa tidak semua laki-laki sebejat ayah kandungnya. Kejadian ini sebagai pelajaran bagi muslimah dan bunda lainnya bahwa anak-anak merekam apapun yang terjadi di sekelilingnya termasuk kekerasan yang menimpa bunda tercinta. Ketika si ibu sudah ‘move on’ dan siap membina rumah tangga dengan laki-laki lain, si anak masih berkubang dalam trauma masa lalu.

Tentu kita tak ingin hal seperti ini terjadi dalam keluarga kita. Jadi Bunda, detik ini juga jangan pernah mau diperlakukan buruk oleh pasangan kita. Bukan demi harga diri muslimah sendiri tapi juga demi kesehatan jiwa dan masa depan anak-anak nantinya. Wallahu alam. [riafariana/adivammar/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version