View Full Version
Senin, 30 Jun 2014

Antara Kapitalisme, Piala Dunia dan Kesejahteraan

Oleh : Lilis Holisah,

Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang-Banten

Sahabat VOA ISLAM,

Piala Dunia 2014 yang digelar di Brazil menyita perhatian warga dunia. Setiap kejadian yang terjadi di Piala Dunia rasanya selalu menarik untuk disimak dan diperbincangkan, mulai dari kasus gigitan Luis Alberto Suárez Díaz,striker asal Uruguay,di pundak bek Italia Giorgio Chiellini, yang menyebabkan Suarez akhirnya disanksi dari seluruh kegiatan sepakbola selama empat bulan oleh FIFA, ataupun perbincangan tentang gol Hat-trick pertama yang dilakukan oleh Thomas Müller, pemain asal Jerman. Semuanya sepertinya sangat menarik menjadi bahan perbicangan bagi para pecinta sepak bola.

Namun dibalik kemeriahan penyelenggaraan Piala Dunia yang digelar di negeri samba tersebut, warga Brazil sendiri memprotes penyelenggaraan Piala Dunia 2014 tersebut. Jutaan rakyat Brazil turun ke jalan memprotes pemerintahnya yang lebih mengedepankan penyelenggaraan Piala Dunia daripada mengurusi rakyatnya. Mereka mengatakan bahwa penyelenggaraan Piala Dunia di Brazil tidak memberikan keuntungan apapun bagi rakyat Brazil. Mereka kecewa karena uang pajak yang ditarik dari rakyat digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana untuk Piala Dunia daripada untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di Brazil.

Untuk menyelenggarakan Piala Dunia di Brazil, tidak sedikit dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Brazil. Para pengamat menilai bahwa penyelenggaraan Piala Dunia dinilai membebani biaya infrastruktur negara penyelenggara/tuan rumah. Pasalnya, sejak Olimpiade Barcelona tahun 1992, seluruh pesta olahraga internasional menggunakan gold standard dalam  pembangunan fasilitas.

Para ekonom olahraga Brazil  mengestimasi negeri samba tersebut mengeluarkan biaya hingga US$11,3 miliar untuk pesta 4 tahunan ini, dan merupakan biaya tertinggi yang pernah dikeluarkan untuk penyelenggaraan Piala Dunia.

Sebelum penyelenggaraan Piala Dunia 2014, Brazil dilanda wabah demam berdarah. Risiko wabah demam berdarah yang cukup serius membuat pemerintah menetapkan status siaga di tiga dari 12 kota yang menjadi tuan rumah perhelatan sepak bola terbesar di dunia tersebut. Brasil dikenal sebagai negara dengan kasus demam berdarah yang tinggi di dunia. Lebih dari 7 juta orang menderita penyakit ini pada 2000 hingga 2013.

Sementara itu, sebuah studi yang diterbitkan di Brazil mendapatkan bahwa sepertiga penduduk negara itu, atau sekitar 58 juta orang, berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari atau sekitar 8 ribu rupiah. Dengan kata lain, sepertiga penduduk Brazil dinyatakan miskin. Yayasan Getulio Vargas yang mengadakan studi ini berdasarkan hasil sensus, mengatakan kemiskinan di perkotaan meningkat pesat, dalam sepuluh tahun terakhir.

Gemerlap Piala Dunia 2014 yang diselenggarakan di Brazil ternyata berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat yang diliputi kemiskinan di sana sini. Adalah sebuah kedzaliman ketika penguasa lebih memilih permainan yang melenakan dan mengandung judi ketimbang memilih mengurusi rakyat. Inilah realitas sebuah negara dimana aturan yang diterapkan dalam kehidupan adalah aturan buatan manusia.

Aturan yang dilahirkan dari realitas dan rasionalitas akal manusia ternyata tidak mampu menjangkau hakikat terbaik bagi kehidupan umat manusia. Terbukti dengan banyaknya penguasa yang lebih memilih kesenangan yang melenakan serta menyengsarakan kehidupan manusia lainnya, ketimbang melaksanakan amanah yang sudah dibebankan di pundaknya untuk mengurusi rakyat.

Ideologi kapitalisme yang saat ini banyak diterapkan oleh negara-negra di dunia, termasuk dunia Islam, telah mengakibatkan kerusakan sistemik. Kerusakan yang terjadi hampir di semua lini kehidupan. Persoalan pendidikan yang carut marut, kesehatan, ekonomi yang labil, kehidupan sosial yang kacau, politik yang pragmatis oportunis.

 

Kapitalisasi Sepak Bola

Ketika kehidupan manusia saat ini dipimpin oleh ideologi kapitalisme, dengan asas manfaat sebagai pandangan hidupnya, maka orientasi hidup manusia pun berhasil disesatkan. Mereka hidup untuk kesenangan duniawi dan materi.

Dalam ideologi kapitalisme, semua aset dikapitalisasi demi meraup keuntungan. Sumber daya air di kapitalisasi, barang tambang dikapitalisasi, minyak dan gas bumi dikapitalisasi, pendidikan dan kesehatan, dan sepak bola pun akhirnya dikapitalisasi. Dunia olahraga disulap menjadi industri untuk mewujudkan ambisi materi, duniawi dan polularitas.

Kapitalisme sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraan sosial, kepentingan bersama, kepemilikan bersama ataupun yang semacamnya. Maka, meski Brazil sedang mengalami musibah demam berdarah dan rakyatnya dihantui kemiskinan, pemerintahnya seakan menutup mata dan Piala Dunia itu pun tetap bergulir, meski mendapat penolakan yang cukup keras dari rakyatnya.

Piala Dunia selalu mendatangkan potensi bisnis besar. Dalam sejarah, miliaran dolar mengalir dari bisnis yang dihasilkan Piala Dunia. Dikutip dari laman Forbes, Senin 9 Juni 2014, Piala Dunia Brazil diperkirakan menghasilkan US$4 miliar pada total pendapatan FIFA. Nilai itu meningkat sekitar 66 persen dibanding turnamen sebelumnya di Afrika Selatan pada 2010.

Sebagian besar pendapatan diperoleh dari penjualan hak siar televisi dan pemasaran. Piala Dunia diketahui menghasilkan lebih banyak pendapatan dibandingkan turnamen olahraga lainnya.

Di Amerika Serikat, nilai Piala Dunia sebagai konten olahraga semakin mahal. Perusahaan Fox Sports memenangkan hak siar berbahasa Inggris-AS untuk turnamen pada 2018 di Rusia dan Piala Dunia pada 2022 di Qatar. Perusahaan itu telah mengalahkan tawaran ESPN dan NBC. Seperti diketahui, ESPN membeli hak siar untuk Piala Dunia 2010 dan 2014 sebesar US$100 juta.

Sementara itu, untuk nilai kesepakatan dengan televisi lainnya belum ada rilis resmi. Namun, John Ourand dari Sports Business Journal memperoleh informasi dari Fox bahwa kemungkinan angka itu di kisaran US$400 juta hingga US$500 juta.

Selain itu, di dalam Kapitalisme, para olahragawan dan atlet pun telah menjelma menjadi selebritas, yang diburu oleh media dan penggemar,  kemudian diikuti dengan iklan dan pendapatan yang melimpah. Inilah industri olahraga yang telah keluar dari konteksnya untuk menjaga kebugaran tubuh agar tetap sehat dan melatih kekuatan fisik untuk persiapan berjihad di jalan Allah. Di negara-negara Barat, olahragawan dan atlet pun terlibat skandal seks, minuman keras, kecanduan obat dan moralitas.

 

Olahraga Untuk Kepentingan Jihad

Islam bukannya melarang manusia untuk melakukan olah raga, termasuk sepak bola. Namun Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur persoalan kehidupan secara totalitas, sehingga kehidupan umat manusia bisa berjalan harmonis.

Dalam Islam, olahraga berguna untuk mempertahankan diri dan menyerang lawan. Karena Islam memerintahkan umatnya untuk berjihad. Jihad adalah ujung tombak Islam (dzarwah sanam al-Islam) dan cara yang disyariatkan oleh Allah untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Jihad jelas membutuhkan persiapan, antara lain kebugaran badan. Kebugaran badan ini bisa diperoleh dengan berolahraga misalnya sepak bola, menembak, berenang, berlari dan lain-lain.

Hanya saja, olahraga tersebut bukan untuk olahraga itu sendiri, sehingga tidak untuk diperlombakan, sekaligus menjadi ajang pertunjukan, tontonan dan bisnis seperti halnya Piala Dunia, Olimpiade dan sejenisnya. Karena tradisi perlombaan seperti ini tidak ada dalam budaya Islam. Budaya ini merupakan budaya Yunani, dengan gimnasiumnya, dan ada sebelum Islam. Ketika Islam berkuasa, budaya dan tradisi seperti ini tidak pernah ditemukan dalam kehidupan Islam. Karena itu, apa yang kini berlangsung di tengah-tengah kaum Muslim, sesungguhnya bukan warisan budaya Islam dan bertentangan dengan cita-cita Islam.

 

Islam Membawa Kesejahteraan

Dimanapun manusia berada, ia selalu membawa fitrahnya sebagai manusia, menginginkan kehidupan yang sejahtera dan aman. Namun realitas tak selalu sesuai dengan harapan.

Realitas kekinian, ketika Ideologi kapitalisme yang diterapkan di tengah-tengah umat manusia, fitrah ingin hidup dengan sejahtera ibarat mimpi di siang bolong. Hidup sejahtera laksana menggantang asap. Kehidupan sejahtera hanya layak didapatkan oleh orang-orang berkantong tebal. Sementara rakyat miskin dibiarkan hidup dalam kemiskinannya.

Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia memiliki sebuah sistem kehidupan yang lengkap. Politik Pemeritahan Islam, yang disebut Khilafah, didedikasikan untuk melayani kepentingan masyarakat. Sebab, hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Karena itu, penguasa dalam Islam bagaikan penggembala (ra’in) dan pelayan umat (khadim al-ummah).

Dalam Islam, penguasa hadir untuk menerapkan hukum-hukum Islam; memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu masyarakat seperti pangan, sandang dan papan; menjamin pendidikan yang bermutu tinggi dan kesehatan yang layak untuk masyarakat secara gratis; memastikan hukum tegak dan keamaan rakyat terjaga.

Prinsip kedaulatan di tangan syariah akan menjamin pelayanan masyarakat ini berjalan baik karena masyarakat diurus berdasarkan syariah Islam. Kedaulatan syariah ini akan menutup intervensi manusia untuk membuat kebijakan hukum maupun politik yang didasarkan pada kepentingan kelompok, hawa nafsu, atau kekuatan modalnya seperti dalam sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan manusia.

Islam yang diterapkan dalam sebuah negara Khilafah Islamiyah akan mengatur permasalahan ekonomi umat. Sistem ekonomi negara Khilafah dibangun atas pondasi akidah Islam.

Secara ekonomi, kebijakan yang dijalankan Khilafah adalah memenuhi kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan). Rakyat didorong untuk bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan itu semua. Kalau belum terpenuhi, keluarganya wajib membantu. Kalau masih belum cukup, negara akan turun tangan. Tidak boleh ada individu rakyat yang mati kelaparan, atau hidup dalam kedingingan karena tidak memiliki pakaian dan rumah.

Khilafah adalah model terbaik negara yang menyejahterakan. Wa Allahu ‘alam


latestnews

View Full Version