Sahabat Voa Islam,
Ramadan kali ini saya ingin berbagi kenangan dan pengalaman Ramadan selama di kota suci tahun lalu. Ramadan 1434 H atau bertepatan dengan bulan Juli 2013. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan pada saya untuk berkunjung ke Baitullah dalam rangka umrah Ramadan. Satu mimpi indah yang menjadi kenyataan. Hati muslim mana yang tak rindu untuk bisa beribadah sedekat itu dengan rumah Allah, baik di Mekah maupun di Madinah.
Bila dengan hitung-hitungan matematika manusia, uang yang ada tak pernah cukup untuk bisa menginjakkan di kota suci tersebut. Tapi rezeki seringkali berjalan menurut caranya sendiri. Akan selalu ada keajaiban yang itu di luar rumus paten. Bahasan tentang ini, insya Allah bisa kita bicarakan di lain kesempatan.
Kali ini saya hanya ingin berbagi indahnya Ramadan di Mekah dan Madinah. Berharap dari tulisan sederhana ini terpercik api rindu dalam diri sehingga memperteguh doa dan upaya untuk bisa mewujudkannya. Insya Allah.
Menginjak bumi Madinah di bulan Juli, pipi saya langsung disambut hangat oleh hawa musim panas yang sedang merekah. Saking hangatnya, serasa seperti dicubit-cubit yang rasanya lumayan bikin sakit di wajah. Dalam hidung pun terasa sangat hangat seolah-olah ada darah mengalir memaksa untuk keluar. Takut mimisan, tapi Alhamdulillah itu semua cuma perasaan saja. Untuk mengurangi efek hangat akut tersebut, saya jadi rajin membawa slayer untuk ditutupkan ke muka terutama hidung. Ya hitung-hitung belajar memakai cadar.
Selain cadar, ada atribut lain yang jarang saya tinggal ketika keluar dari kamar hotel. Topi lebar seperti yang dipakai gadis-gadis ketika berjalan di pantai. Cukup dengan 8 riyal atau setara dengan 20 ribu rupiah, saya merasa terlindungi dari ciuman matahari ketika tengah hari harus berjalan menuju masjid Nabawi.
Teriknya sang surya tak menyurutkan langkah kaki menuju masjid. Syukurlah jarak hotel tak begitu jauh dari Masjid Nabawi. Meskipun tak jauh, setiap akan keluar dari lobby hotel, langkah kaki ini tak bisa diajak slow motion. Dia maunya cepat-cepat tiba di masjid dan ngadem di dalamnya. Padahal di saat yang sama saya lihat banyak ibu-ibu dan anak-anaknya yang masih balita, duduk dengan manis di pelataran masjid Nabawi yang menurut saya sudah mirip panasnya penggorengan.
Astaghfirullah. Ini masih panas di dunia, bagaimana di akhirat kelak? Di padang mahsyar atau bahkan di neraka? Duh...benar-benar tak sanggup membayangkannya.
Panas yang sedemikian membuat saya harus berhati-hati meletakkan sandal. Harga memang tak seberapa tapi bila hilang, memang mau menanggung resiko kaki melepuh berjalan dari masjid ke hotel? Meskipun selalu berkaos kaki, tapi seberapa kuat kain menahan hantaran panas dari ubin masjid dan aspal jalanan? Walhasil, sandal pun turut duduk manis di dalam masjid ikut shof. Demi kesopanan, tuh sandal dimasukkan tas kresek hitam. Meskipun tak ada jaminan orang dari negara lain melakukan hal serupa sehingga sandalnya mejeng dengan indahnya di depan saat saya salat.
Tak mengapa. Bukankah itu juga masuk dalam ujian kesabaran? Termasuk ketika kita sedang berusaha khusyuk salat, masih saja ada yang datang terlambat dan melewati sela-sela shaf dengan sedikit memaksa. Mau tak mau kita jadi bergerak karena terdorong oleh desakannya. Belum lagi ketika ruku’ dan sujud. Kepala jadi tempat hinggap yang empuk untuk dijadikan pegangan bila ada yang ingin lewat.
Terlepas dari itu semua, hal yang indah adalah ketika mengikuti salat tarawih. Isya dimulai sekitar pukul 9 malam lanjut dengan tarawih 23 rakaat. Karena setiap malam 1 juz maka selesai witir sekitar pukul 1 dini hari. Bacaan Imam yang memang sudah pilihan kualitasnya, menjadikan salat terasa lebih khusyuk dan syahdu.
Aktifitas Ramadan yang cukup padat dan panjangnya bacaan imam setiap rakaatnya menjadikan konsentrasi kadang buyar. Tak mau kalah oleh kantuk, saya pun mengambil langkah yang tidak populer ketika di Indonesia yaitu membuka mushaf Qur’an dan ikut menyimak bacaan Imam. Ketika ruku, i’tidak, sujud, Qur’an tersebut diletakkan di atas tas yang kemana-mana selalu saya bawa. Ketika berdiri rakaat berikutnya maka kembali menyimak lagi.
Ibu-ibu rombongan protes dengan sikap saya tersebut karena katanya salatnya tidak sah. Alasannya di dalam salat tidak boleh melakukan gerakan di luar salat lebih dari tiga kali. Duh...tidak tahukah ibu-ibu ini bahwa jangankan membaca mushaf, menggendong anak kecil saja boleh dalam salat? Meskipun tarawih dengan sedikit mendapat omelan dari ibu-ibu, ikut menyimak bacaan Imam salat dengan membaca mushaf berjalan terus selama tarawih di Masjid Nabawi. Alhamdulillah. [riafariana/voa-islam]