“Ketika masih kecil atau remaja dulu, apakah Ibu pernah mengalami ‘bullying’?”
Pertanyaan dari salah satu remaja itu membuat saya berhenti sejenak untuk mengingat kembali masa kecil dan remaja saya. Setelah beberapa saat, saya kemudian menjawab dengan tegas.
“Bila bullying bermakna bahwa saya disakiti secara fisik atau verbal, dan kemudian saya merasa menjadi pihak yang tersakiti, saya katakan tidak. Itu karena sejak kecil saya sudah tahu bahwa tidak ada seorang pun yang saya berikan kesempatan untuk menyakiti saya.”
Bunda, konsep diri yang saya miliki di atas itu tidak terlepas dari peran orang tua yang mendidik saya sejak dari rumah. Bapak dan ibu saya memberi dasar yang saya syukuri bisa membuat saya melewati masa kanak-kanak dan remaja dengan ‘aman’. Apakah itu artinya ibu dan bapak saya selalu melindungi dan ada di sisi saya setiap saat? Tidak. Sebaliknya, sejak kecil saya sudah dilatih mandiri plus bekal prinsip yang hingga kini masih saya ingat dengan baik yaitu ‘jangan pernah takut bila kamu merasa benar!”
Prinsip inilah yang ternyata menjadi bekal saya menjadi anak kecil yang pemberani. Kecil di sini dalam arti sebenarnya, karena hingga menjelang usia remaja, badan saya selalu masuk kategori paling kecil di antara teman sebaya. Sudah kurus, kering, paling pendek lagi. Tak jarang dalam permainan apapun keberadaan saya tak dianggap atau kalau orang Jawa bilang ‘pupuk bawang’. Saya selalu dijadikan pihak kalah-kalahan. Main petak umpet, selalu jadi yang ditutup mata kemudian disuruh mencari teman-temannya. Kalau pun saya protes karena terlalu lama jadi yang ditutup mata, saya pun diperbolehkan main jadi yang sembunyi. Tapi lagi, biasanya mereka tidak mencari saya. Karena ya ‘pupuk bawang’ tadi.
Bisa saja saya menangis dan lapor ke orang tua tentang perlakuan buruk teman-teman main saya. Tapi konsekuensinya saya tak boleh main dengan mereka lagi. Orang tua saya bukan tipe yang suka melabrak teman main anaknya yang biasa dilakukan oleh orang tua lain yang merasa anaknya ‘dibully’ atau diperlakukan tak adil oleh teman sebaya. Jadi, daripada tak boleh main dengan mereka saya memilih mencari trik lain. Ketika saya menjadi pihak yang harus sembunyi, biasanya saya memilih rumah saya sendiri untuk sembunyi. Asumsinya, bila saya tak dicari maka saya bisa langsung tidur saja karena permainan biasanya dilakukan malam hari sehabis Maghrib.
Dalam permainan yang lain juga sama. Main lompat tali, saya selalu jadi pihak yang pegang tali. Sekalinya diberi kesempatan main, saya mudah sekali gagal karena memang tubuhnya paling imut di antara mereka. Saya pun pegang tali lagi. Kalau sudah jengkel dan capek, saya protes. Kalau protes tak didengar, saya taruh tali itu dan pulang. Jarang sekali saya menangis atau mengadu ketika ada perlakuan teman yang menyakitkan hati. Itu di kampung.
Di sekolah beda lagi. Tubuh boleh kurus, kering, pendek tapi karena jarang menangis bila disakiti teman (bahkan cenderung melawan) maka saya didaulat menjadi ketua kelas. Di sini saya mulai menjadi pihak yang tidak saja anti dibully tapi malah bisa membela teman yang dibully. Sekitar kelas 5 atau 6 SD saya bahkan membela teman perempuan yang disakiti teman laki-laki hingga bibir saya sedikit sobek. Itu pun saya memilih tidak lapor orang tua dan berusaha mengobati sobekan itu semampunya, sendiri.
Bunda, saya berbagi pengalaman masa kecil saya ini bukan untuk pamer. Karena secara teori sudah banyak buku dan artikel yang beredar luas tentang bahaya bullying serta pencegahannya. Meskipun begitu, faktanya banyak bunda di luar sana yang masih bingung cara menyikap bullying yang terjadi pada si buah hati. Sikap yang kemudian menjadi sangat protektif biasanya langsung ditunjukkan oleh orang tua ketika mengetahui anaknya menjadi korban bullying.
Kita boleh berbeda pendapat dalam hal ini. Tapi menurut saya, sikap protektif itu tidak menyelesaikan masalah pada korban bullying. Dukungan penuh orang tua dan keluarga, itu yang dibutuhkan si anak. Langkah-langkah praktis untuk mencegah atau melawan teman-teman yang membully itu lebih berguna daripada orang tua yang maju. Tentu saja langkah lain juga harus dilakukan. Diantaranya adalah dengan menghubungi guru apabila bullying terjadi di sekolah. Harus ada pendekatan dari guru ke murid yang ditengarai suka membully teman-temannya.
Orang dewasa di sekitar harus peduli dengan gejala bullying ini beserta dampaknya. Tak boleh ada yang cuek atau berlalu saja apabila menangkap basah perilaku bullying terjadi. Saya sendiri suka ‘turut campur’ dengan menegur anak-anak SD yang terlihat sedang mengolok-olok atau memukul temannya. Saya tegur mereka sambil memberi nasehat yang praktis semisal:
“Ayo, bercanda tak boleh menyakiti.”
“Main yang baik, sama teman harus menyayangi ya.”
Bahkan tak segan ketika ada anak yang sengaja menjatuhkan sepeda temannya, saya minta dia untuk mendirikan lagi sepeda tersebut. Saya tunggu sampai dia melakukan yang saya suruh sambil saya tekankan bahwa perbuatan itu tak boleh diulangi lagi.
Itu bila di sekolah, bagaimana bila di kampung atau sekitar rumah tempat bermain anak dengan teman-temannya? Dalam kondisi ini cenderung tak ada pihak ketiga sebagai penengah. Anak-anak yang suka membully biasanya memunyai latar belakang keluarga yang tak jauh beda. Jadi ketika bunda melakukan pendekatan ke orang tuanya, bukannya solusi tapi bisa jadi malah orang tua menjadi musuh dengan orang tua juga. Dalam hal ini, bekal penguatan mental dan kepribadian si anak harus ditekankan pada anak-anak kita sendiri.
Jadikan ia sosok yang percaya diri karena biasanya ‘tukang’ bully suka pada anak yang cenderung pendiam, penakut, cengeng, dan mau menuruti apa kata mereka. Anak yang percaya diri dan pemberani, ‘tukang’ bully akan mikir berkali-kali sebelum membullynya. Karena pasti si anak akan melakukan perlawanan. Titik inilah yang kadang lupa kita bekalkan ke anak kita. Mengalah dan menghindari kekerasan, seringnya itu yang ditanamkan. Ingat, prinsip ini tidak salah. Tapi akan salah ketika orang tua salah menempatkan.
Mengalah adalah tindakan salah ketika posisi dizolimi. Tindakan benar adalah dengan melawan. Pertama dengan kata-kata. Ajari anak untuk mengatakan bahwa dia tidak suka diolok, diejek, atau bagian fisiknya disakiti. Bila ini sudah dilakukan oleh anak kita tapi temannya masih tidak berubah juga, maka menghindari kekerasan adalah tindakan salah. Balas! Semampunya. Ketika diam tetap dibully atau disakiti. Protes dengan kata-kata juga tidak mengubah keadaan. Maka jalan terakhir adalah membalas atau melakukan perlawanan. Kalah menang urusan belakang. Percayalah Bunda, ‘tukang’ bully tak berani pada anak pemberani. Mulai detik ini, hapus lingkaran ‘bullying’ dimulai dari anak kita dan lingkungan terdekat dengan tidak menjadi pelaku ataupun korban. [riafariana/voa-islam.com]