Sahabat Muslimah VOA-Islam yang Shalihah...
Cinta tidak cuma sekali, tapi bisa dua kali, tiga kali, empat kali atau berkali-kali. Sering kita mendengar kata-kata sok romantis berisi: kita hidup sekali, mati sekali, dan memunyai cinta sejati pun juga sekali.
Ya...kita memang dibesarkan dalam lingkungan yang gemar sekali hidup bertaburkan roman picisan ala putri dalam dongeng. Novel-novel pun juga berisi tentang kisah cinta sejati yang seolah-olah cuma dia yang ditakdirkan untuk hidup bersama. Rasanya cuma dia yang bisa mencintai dan dicintai dengan begitu dalam dan tulus. Tak mungkin ada seseorang yang bisa menggantikannya, baik untuk dicintai maupun mencintai dengan sepenuh hati. Bila sosok ini pergi atau mati, maka cinta sejati itu ikut terkubur bersama jasad sang kekasih hati.
Benarkah begitu adanya? Ternyata semua teori tentang roman sehidup semati itu tak berlaku dalam Islam. Paling tidak Ummu Salamah membuktikannya sendiri. Bukan hanya satu cinta sejati yang hadir dalam hidupnya, tapi dua!
Ummu Salamah menikah dengan Abdullah bin Abdul As’ad atau yang biasa dipanggil dengan Abu Salamah adalah laki-laki yang memberinya keturunan. Dia adalah ayah dari anak yang dilahirkan oleh Umm Salamah. Mereka berdua adalah generasi awal yang menerima Islam dan berhijrah ke Abyssinia atau Ethiopia. Meskipun pada kesempatan hijrah berikutnya ke Madinah mereka terpaksa harus berpisah, tapi itu tak mengurangi rasa cinta yang begitu kuat dan dalam pada diri kedua insan ini untuk kembali bersatu. Hingga akhirnya maut juga yang memisahkan keduanya ketika Abu Salamah meninggal akibat luka yang didapatnya di medan jihad.
Di pembaringannya menjelang sakratul maut, Ummu Salamah dengan berurai airmata berkata pada suaminya, “Ketika seorang suami meninggal dan masuk surga, kemudian istrinya pun meninggal tanpa pernah menikah lagi, Allah akan menyatukan keduanya di surga. Aku berjanji aku tak akan pernah menikah lagi setelahmu!”
Dengan tenang, Abu Salamah bertanya, “Istriku, maukah kamu memenuhi permintaanku, apapun itu adanya?”
Mendengar itu, sebagai istri yang patuh pada suami Ummu Salamah menjawab tanpa ragu, “Tentu saja!”
Abu Salamah memandang istrinya dengan penuh cinta dan berkata, “ Berjanjilah padaku, saat aku mati nanti kamu akan menikah lagi.”
Jelas Ummu Salamah kaget dengan perkataan yang tak diduganya ini. Belum pulih dari keterkejutannya, Abu Salamah telah memanjatkan doa dan memohon pada Allah dengan kata-kata indah ini, “Ya Allah, anugerahilah Umm Salamah suami yang jauh lebih baik daripada saya.”
Tak lama kemudian, maut benar-benar menjemput Abu Salamah. Selama masa iddah, Ummu Salamah tak kuasa menghentikan perasaan duka yang teramat dalam karena kehilangan suami yang dicinta. Betapa kenangan akan kelembutannya, kebaikannya, keberanian dan kesabarannya semakin membuat Ummu Salamah susah melupakan Abu Salamah.
Terlebih ketika Ummu Salamah menimang bayi yang baru dilahirkannya, hatinya makin pilu ketika menyadari bahwa laki-laki yang dicintainya itu tak memunyai kesempatan untuk membesarkan buah cinta mereka. Mana ada laki-laki selain suaminya itu yang akan mau menikah dengan dirinya dan mencintai anak yang bukan anak kandungnya sendiri? Ingatannya melayang kepada ucapan Abu Salamah menjelang kematiannya. “Siapakah laki-laki yang lebih baik dari Abu Salamah?” batinnya pilu.
Jawaban dari pertanyaan ini datang tak lama kemudian yaitu setelah masa iddahnya selesai seiring dengan lahirnya Zainab. Laki-laki yang lebih baik daripada Abu Salamah, atau suaminya itu adalah Rasulullah SAW. Laki-laki mulia ini datang pada Ummu Salamah dengan niat ingin melamarnya.
Setengah tak percaya, Ummu Salamah menjawab, “Aku adalah perempuan yang sudah tua dan memunyai anak dari suamiku terdahulu. Lagipula aku ini adalah perempuan pencemburu.”
Dengan perangainya yang lemah lembut, Rasulullah SAW pun menjawab, “Aku ini lebih tua daripada kamu. Allah yang akan menghilangkan cemburu dari hatimu. Dan aku akan membesarkan serta mencintai anak-anakmu sebagaimana aku memperlakukan anak-anakku sendiri.”
Keraguan di hati Ummu Salamah serta rasa duka yang tersisa sejak kepergian suaminya terdahulu langsung sirna. Yang ada sekarang hanyalah perasaan tenang dan damai karena ternyata laki-laki mulia ini yang melamarnya untuk menikahinya.
Doa Abu Salamah telah dikabulkan oleh Allah dan sekali lagi Umm Salamah bisa merasakan indahnya cinta sejati untuk yang kedua kali. Masya Allah!
Ukhti yang dirahmati oleh Allah, di luar sana banyak sekali laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta kemudian terpuruk ketika sang kekasih meninggalkannya. Kepergian itu entah berupa kematian, perceraian, atau mungkin berupa ujian tertentu yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya. Luka yang dirasakan seolah begitu besar dan tak tertanggungkan. Bahkan tak jarang, mereka merasa tak akan mungkin bisa jatuh cinta lagi sebagaimana mereka jatuh cinta sebelumnya.
Allah yang meletakkan cinta di hati kita untuk seseorang maka Allah pula yang akan dengan mudah mengobati luka itu. Allah yang akan menggantinya dengan cinta suci lainnya – cinta suci dari seseorang yang keberadaannya tidak untuk menggantikan dia yang telah pergi
Yakinlah, konsep dan pengetahuan kita tentang cinta sangatlah terbatas. Ada Allah Yang Mahapencinta memunyai kuasa di atas segalanya.
Nabi bersabda:
“Sungguh, hati anak-anak Adam itu ada di antara dua jari Yang Mahapengasih sebagai satu kesatuan. Dia mempersatukannya kapan pun dikehendakiNya.” (HR. Muslim 2654).
Allah yang meletakkan cinta di hati kita untuk seseorang maka Allah pula yang akan dengan mudah mengobati luka itu. Allah yang akan menggantinya dengan cinta suci lainnya – cinta suci dari seseorang yang keberadaannya tidak untuk menggantikan dia yang telah pergi. Tapi cinta suci yang hadir dan memesona hati kita dengan caranya sendiri yang berbeda. Karena sesungguhnya tak ada cinta yang benar-benar sama, yang ada hanyalah cinta sejati yang bisa saja mengetuk hati kita tak cuma sekali. Maka janganlah bersedih ketika cinta yang lalu pergi dan mungkin saja menoreh luka di hati. Akan datang cinta lain yang jauh lebih baik dan mampu membawamu ke surgaNya. Insya Allah. # Bersambung # (disadur dari tulisan Zainab bint Yunus)
[riafariana/voa-islam.com]