Sahabat VOA-Islam yang Dirahmati Allah SWT...
Ingin membahagiakan orang tua, itulah yang ada dalam benakku ketika kuterima lamarannya. Betapa bakti pada orang tua, sungguh besar pahalanya. Sehingga ketika ia mendatangi orang tuaku dan bisa meyakinkan ibuku maka aku pun tak kuasa mengatakan tidak. Andai ada cara lain untuk menolaknya, tentu itu sudah kulakukan. Kuminta ia menunggu dua tahun lebih karena aku ingin menuntaskan kuliahku, ia pun bersedia. Tak banyak laki-laki yang bersedia apalagi ketika di luar sana banyak perempuan yang siap untuk menjadi istrinya. Tapi ia beda, ia menungguku dengan setia.
Lulus Sarjana, aku mengulur waktu lagi. Aku ingin lanjut ke pasca sarjana. Itu hanyalah siasatku agar dia mundur dan membatalkan pinangannya. Tapi ia dengan sabar mengiyakan dan mau menantiku. Aku mati kutu. Tak bisa lagi mencari alasan. Genap dua tahun kuliahku S2 selesai. Mau tidak mau pinangan yang dulu harus segera menjadi pernikahan. Aku pun berulah lagi. Aku tak mau dibiayai olehnya, mulai dari mengundang penghulu hingga resepsi kubayar dengan uang keringatku sendiri. Uang pemberiannya kutampik. Entahlah, mungkin ibuku yang menerimanya. Tapi kupastikan ia tahu bahwa aku tak memakan sedikit pun uang darinya.
Kupikir ego laki-lakinya terusik, tapi nyatanya tidak. Ia bersikap sabar dan wajar menghadapi perilakuku. Meskipun bukan ini yang kumau, tapi pantang bagiku menangis di hari pernikahan. Aku tetap tegar menerima tamu sambil terus mencari cara bagaimana lepas darinya. Banyak persyaratan sebelum nikah kuajukan dan ia pun tak ada yang keberatan. Termasuk syarat tak boleh melarangku bekerja dan tak boleh membatasi jam kerjaku, ia pun mengiyakan. Termasuk ia tak boleh memaksaku untuk ‘melayaninya’ ketika aku tak menginginkannya.
Upayaku untuk ‘menyakitinya’ berlanjut terus. Aku sempat menjalin kenangan lama dengan seseorang dari masa lalu. Rasanya susah bagiku untuk melupakannya. Kami beberapa kali janjian bertemu meskipun hanya untuk minum kopi bersama. Tak ada pegangan tangan, tak ada hal-hal yang akan disesali bersama. Aku tahu bahwa ini salah, aku tahu ini dosa. Tapi aku benar-banar tak kuasa menghindarinya. Ya...setan berjingkrak kesenangan. Dan aku larut dalam buaiannya. Astaghfirullah.
Suamiku tahu, tapi ia memilih diam dalam sikapnya. Hingga di satu titik, aku ingin semua kegilaan ini berakhir. Aku butuh penguat. Aku kontak teman lama sesama muslimah untuk curhat. Aku butuh seseorang yang bisa mendengar. Aku juga butuh nasihat. Meskipun aku tahu banyak soal hukum agama, tapi sepertinya kesadaranku perlu ‘digetok’ sedikit keras. Aku pun menangis di hadapannya. Hal yang amat sangat tabu untuk kulakukan di depan orang lain, yaitu berurai air mata. Tapi kali ini, aku benar-benar memerlukannya.
Benar saja, ia adalah sahabat yang bukan hanya bisa mendengar. Ia ‘membangunkanku’ dengan cukup keras. Bahkan eskpresi terkejutnya begitu jelas terlihat ketika tahu bahwa di tahun kedua menjelang tiga tahun pernikahan, aku tak pernah ‘disentuh’ suamiku. Terlihat jelas ia mengatur kata-kata untuk ‘menggetok’ kesadaranku dengan lembut tapi tegas dan efektif. Ya...aku tak ingin keruwetan ini berlanjut karena perbuatanku. Aku pun tak ingin membiarkan laki-laki baik itu, -yang begitu setia dan sabar meskipun aku bukan istri yang baik- menunggu lagi.
Tidak mudah memang, tapi aku harus mau berubah. Aku lelah sendiri. Aku lelah dalam pengabaian meskipun dia yang kuabaikan tak pernah lelah mencintaiku. Rasanya inilah momen aku harus belajar mencintainya. Mencintainya dengan nama Allah karena ia dulu pun menghalalkanku atas namaNya juga.
Bismillah. Selalu ada awal yang indah untuk hamba yang mau bertobat. Selalu ada cinta meski tertatih untuk seseorang, yang telah begitu sabar dan setia tanpa pernah lelah. Ya...ia tak pernah lelah mencintaiku meskipun harus menunggu berbilang tahun. Kini saatnya aku meneladani cintanya dan membalas sebaik yang aku bisa. Insya Allah. [Dikisahkan ulang oleh riafariana/voa-islam.com]