View Full Version
Rabu, 25 Mar 2015

Cintai Allah dengan Ilmu

Ketika berniat untuk menulis dan mencari ide, saya membuka buku sekadar untuk pancingan. Betapa banyak hal dalam kehidupan kita, menyediakan jawaban bagi kegelisahan jiwa. Begitu juga dengan buku ini. Ia memang bukan Al Quran tetap isinya memuat banyak ayat-ayat Allah. Lapis-lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah terbuka tepat di halaman 63. Padahal saya sudah di bagian akhir membaca buku ini. Rencana Allah saja yang menjadikan buku ini terbuka di halaman yang memang saya butuhkan.

“Sesungguhnya Allah tidak ridha,” demikian Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi menulis, “jika diibadahi dengan kebodohan. Maka Dia mewajibkan ilmu atas kita; dalam mengenal-Nya, menyembah-Nya, mentaati-Nya, dan melaksanakan aturan-aturan-Nya di segenap kehidupan kita.”

Itulah paragraf yang sengaja saya stabilo hijau sebagai pengingat. Pengingat diri sendiri bukan orang lain. Betapa diri ini ternyata sangat jahil dalam ilmu-ilmu Islam. Boleh jadi gelar kita berjejer untuk ilmu duniawi tapi sejauh mana ilmu Islam telah kita kuasai? Atau mungkin, ilmu Islam telah kita kuasai tapi sejauh mana ia menjadi bagian dalam diri? Menjadi panduan tingkah laku kita, menjadikan kita hamba yang rendah hati, dan ilmu itu bermanfaat bagi diri dan sesama?

Bila sudah begini, rasanya jauh sekali amal di saat ajal setapak demi setapak mengintai. Sudah cukupkah bekal ini dengan amal yang dilandasi oleh ilmu? Bukan sekadar katanya si anu atau memakai ilmu ‘pokok-e’. Dengan ilmu, sudah kenalkah kita dengan Allah, nama yang kita akui sebagai tujuan, cinta dan cita-cita tertinggi kita? Jangan-jangan ternyata apa yang sering kita katakan itu hanya di permukaan semata. Tak ada imbasnya pengakuan cinta pada sikap dan perbuatan karena ia tak cukup merembes ke hati. Naudzubillah.

Mencintai Allah ternyata tak cukup dengan kata, rasa atau pengakuan. Mencintai Allah haruslah dengan ilmu. Tanpa ilmu kita tak tahu mana yang harus didahulukan ketika ada kepentingan yang berbenturan. Ketika orang tua ingin anaknya pacaran agar tak dibilang kuno, kita menurut saja. Karena jahilnya diri menganggap bahwa patuh pada orang tua itu surga tempatnya. Atau mungkin ketika ada suami melarang istrinya berhijab, si istri pun patuh. Dia berdalih bahwa surga perempuan ada di tangan suami.

Kejahilan jenis ini banyak sekali terjadi di sekitar. Atas nama patuh pada pimpinan, suap pun dilakoni. Mark up atau manipulasi, sejenis korupsi level awal ringan saja ditempuh. Padahal sungguh, tak ada ketaatan pada makhluk ketika itu melanggar perintah Allah. Dimana Allah kita letakkan bila ternyata ada ketakutan-ketakutan pada makhluk apalagi untuk perkara haram?

Tak heran bila Islam menempatkan ilmu pada kedudukan istimewa. Bahkan Rasul mulia Muhammad SAW pun menguatkan, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia pahamkan yang bersangkutan dalam agama.” (HR. Bukhari Muslim).

Tulisan ini bukan hendak menggurui tapi pengingat bagi diri. Ah...jangan-jangan cinta yang saya genggam selama ini palsu? Karena nyatanya mengingat namanya yang 99 itu belum mampu. Bukan belum mampu tapi belum mau. Duh...malu rasanya mengaku mencintai tapi nama yang dicinta sendiri pun tak hapal. Belum lagi memahami makna atas nama-nama yang dimilikiNya itu. Lalu cinta model apa selama ini yang sering kita aku-aku itu?

Ternyata mencintai Allah tak cukup dengan semangat saja. Semangat memang perlu karena itu memacu kita untuk mau terus menuntut ilmu. Ilmu bukan untuk gagah-gagahan atau sok-sokan saja tapi ilmu yang menjadikan diri semakin tawadhu di hadapan-Nya. Ilmu untuk semakin mencintai-Nya dengan lebih baik yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Insya Allah. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: almanar

 


latestnews

View Full Version