Dulu sekali, saya selalu takjub dengan teman yang begitu telatennya melumuri hampir seluruh bagian tubuhnya dengan lotion. Demi kelembaban dan menjaga tubuh pemberian Allah yang cuma satu-satunya ini, begitu selalu mereka beralasan. Saya jarang berkomentar biasanya, hanya duduk diam di dekat mereka sambil mengamati aktifitas yang ‘membosankan dan menghabiskan waktu’, menurut pikiran saya waktu itu.
Beberapa tahun kemudian, saya baru sadar bahwa kulit saya adalah tipe cenderung kering. Bibir saya mudah pecah, kulit saya bersisik dan yang paling parah adalah tumit kaki kering dan pecah hingga mengeluarkan darah. Bibir masih bisa ditoleransi karena itu adalah teguran sayang dari Allah agar saya sedikit bicara dan banyak mendengar. Dan biasanya memang akan banyak sekali teman datang untuk menjadikan saya sebagai tempat sampah mereka alias bercurhat ria kepada saya. Saya pun dipaksa untuk dari menahan tertawa lepas bila tak ingin bibir semakin pecah. Selalu ada hikmah memang untuk setiap kejadian.
Tapi ada kalanya manusia itu berkeluh kesah dan lupa dengan idealismenya semula. Ketika kedua tumit ini mengalami pendarahan dan sangat perih untuk dipakai berjalan, mau tak mau saya dipaksa melakukan sesuatu yang sangat saya hindari sebelumnya. Tidak cukup dua kali sehari saya harus mengelus-elus tumit dengan lotion untuk menjadikannya lemas agar tak pecah dan berdarah. Yah…saya baru mau merawat kaki ini hanya bila dia sudah berada dalam stadium yang parah yaitu berdarah dan perih.
...Kita jauh lebih suka melihat air yang setengah di dalam gelas sebagai, ‘kok tinggal setengah sih?’ dan bukannya ‘alhamdulillah masih ada setengah air di dalam gelas’. Itulah manusia...
Di sela-sela ritual pelumasan itu, saya setengah menggerutu bilang, ‘Waduh, kenapa saya jadi diperbudak oleh kaki yah? Kaki ini manja sekali sih.’
Ibu yang mendengar saya bicara demikian, menegur.
“Jangan mengeluh saja. Separah apa pun kakimu kondisinya, itu masih jauh lebih beruntung daripada mereka yang kakinya bunting. Hayo…kamu pilih yang mana,” kata ibu dengan bahasa dan logat jawanya yang kental.
Saat itu saya tersadar, iya yah…kenapa saya jadi kufur nikmat begini? Saya pun beristighfar dan mentertawakan kecengengan saya hanya karena cobaan kecil berupa kaki yang butuh perhatian lebih dari pemiliknya. Kakak saya dan beberapa teman menyebutnya ‘kaki wong ndeso’ karena biasanya hanya mereka yang suka berjalan kaki pulang pergi ke sawah yang memiliki kaki pecah-pecah seperti itu.
Saya juga sering heran dengan kndisi ini, padahal kaki jarang sekali terkena sinar matahari karena selalu berkaos kaki ketika kel luar rumah. Ah..ternyata tujuan menutup aurat memang harus diniatkan lilahita’ala bukan karena ingin punya kulit mulus. Adakah ketidak tulusan niat dalam hati yang tidak kentara? Entahlah, memang sudah saatnya diri ini melakukan introspeksi.
Dan ketika di satu kajian, teman muslimah ada yang membawa-bawa produk lotion ke forum, saat itu saya benar-benar tersadar kedua kali. Saya seperti ditegur oleh Allah dengan cara yang begitu elegan. Betapa ternyata kaki saya yang sensitive itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan mbak di sebelah saya. Kakinya jauh lebih sensitive dengan kondisi yang jauh lebih parah daripada yang saya alami. Bahkan katanya, bila sedang kambuh, kondisinya itu bisa membuatnya tak mampu berjalan. Mencuci baju dan piring pun suaminya yang melakukan mengingat kondisinya itu. Hati saya bergidik. Antara simpati dengan kondisi mbak tersebut dan semakin memahami bahwa Allah menegur saya dengan contoh yang sangat jelas.
Tak ada alasan lagi untuk mengeluh dan berkeluh kesah. Contoh di atas adalah kecil sekali dibandingkan dengan banyak lagi peristiwa yang terjadi di sekeliling kita atau pun diri kita. Kita jauh lebih suka melihat air yang setengah di dalam gelas sebagai, ‘kok tinggal setengah sih?’ dan bukannya ‘alhamdulillah masih ada setengah air di dalam gelas’. Itulah manusia. Cenderung suka berkeluh kesah daripada beryukur atas segala nikmat. Bahkan untuk hal ‘sekecil’ ini saja, ada ladang pahala terbuka lebar andai saja kita mau bersyukur. Jadi, masih mau beralasan lagi untuk beryukur baik dalam lisan dan perbuatan? Think again! Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google