Oleh: Zahbiadina Latifah
(Mahasiswi Fakultas Ekonomi, UNY)
Satu per satu anak menjadi korban kejahatan seksual. Tak hanya di Jakarta, kejahatan seksual terhadap anak telah terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Masalah ini pun juga bukan hanya sekali atau dua kali, namun sudah berkali-kali dan sudah lama terjadi hal semacam ini ada. Yang terbaru dari rangkaian kejahatan seksual terhadap anak adalah pembunuhan Putri NF, seorang siswi kelas 2 di Kalideres, Jakarta Barat. Pemerintah akhirnya mulai menunjukkan sikapnya agar taka da lagi Putri Putri lain yang bernasib sama.
Seperti sikap Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sosial, Khofifah Indar menyatakan Pemerintah memutuskan untuk menggunakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan akan menerapkan hukuman kebiri dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun dalam pelaksanaan eksekusinya, pemerintah masih bingung, karena hukuman kebiri tidak bias dilakukan dengan cara pemotongan alat kelamin pelaku tetapi akan menggunakan zat kimia yang dapat menurunkan libido atau fungsi nafsu birahi pelaku.
Apakah keputusan hukuman kebiri ini akan menyelesaikan masalah?
Tidak. Sebab yang akan kita selesaikan adalah dua hal, yaitu penghukuman dan juga pencegahan secara tuntas. Artinya, kita tidak bisa hanya berfokus pada hukuman Si pelaku saja, tetapi juga memberikan pencegahan agar pelaku-pelaku lainnya tidak ada ddan dalam hal ini kita akan menyelesaikan dalam skala jangka panjang/kontinyu tidak menyelesaikan secara sedikit atau minimalis. Dorongan seksual memang fitrah manusia, tetapi hal tersebut hanya akan terjadi jika ada faktor-faktor pemicu yang akan mengarahkan pada timbulnya sebuah rangsangan. Demikian pula dengan penyimpangan seksual seperti pedofilia ini juga awalnya dikarenakan adanya sebuah rangsangan seksual yang kemudian dilampiaskan pada anak kecil. Bukan secara naluriahnya perilaku ini sudah menyimpang.
Salah satu faktor pemicu timbulnya dorongan seksual baik menyimpang ataupun tidak adalah adanya sebuah rangsangan secara terus-menerus, terutama di lingkungan. Baik dari media-media yang saat ini secara terang-terangan membuka lebar tubuh perempuan, gambar dan video/film yang sangat mudah diakses dengan aksi yang mudah merangsang birahi maupun pada prakteknya masyarakat sat ini sudah mencontoh sikap-sikap atau gambaran yang ada di dalam media.
Tentu hal ini tidak dapat dicegah dengan berbagai alasan seperti HAM. Bagaimana tidak? sebab aturan yang diberlakukan saat ini adalah aturan yang mengedepankan kehidup bebas (liberal) dan mengesampingkan aturan agama terlebih jika sudah dikaitkan dengan aturan pemerintah. Oleh karenanya, di dalam Islam laki-laki dan perempuan sangat dijaga dengan batasan aurat mereka yang harus ditutup ketika bertemu dengan non-mahramnya juga saat berada di luar rumah.
Juga dengan penetapan hukum media dan aturan hidup islami yang melarang laki-laki dan perempuan (bukan mahram) berdua-duaan (khalwat) atau bercampur baur (ikhtilat). Hal ini ditujukan untuk mencegah hal-hal yang akan merangsang birahi dalam berkehidupan. Jika hal ini diabaikan, tenu akan sangat mungkin munculnya pelaku-pelaku seksual lagi.
Allah telah memberikan aturan kehidupan untuk kebaikan manusia sendiri. Islam telah sangat rinci menjawab persoalan ini untuk segera diselesaikan. Dalam hal ini Islam telah memiliki sikap tentang hukuman kebiri. Hal tersebut dijelaskan oleh Ust. Sidiq Al-Jawi seorang ahli pakar fiqih mengatakan menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku penyimpangan seksual/pedofilia hukumnya haram. Hal ini dijelaskan dengan 2 hal :
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan pengebirian pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, ‘’ Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW), ‘’ Bolehkah kami melakukan pengebirian? ” Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu. (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyudin an Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)
Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan Syariah Islam itu. (Lihat QS Al Ahzab [33]: 36).
Rincian hukuman untuk pelaku pedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina, yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan adalah (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Maka, hukuman kebiri secara nash syar’i di dalam Islam diharamkan, juga secara realita pun tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas
Memang benar, hukuman untuk pelaku pedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Pertanyaannya, bolehkah hakim menjadikan pengebirian sebagai hukuman ta’zir? Jawabannya, tidak boleh (haram). Sebab meski hukuman ta’zir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman ta’zir itu telah disahkan dan tidak dilarang oleh nash-nash syariah, baik Al Qur`an maupun As Sunnah.
Jika dilarang oleh nash syariah, haram dilaksanakan. Misalnya, hukuman membakar dengan api. Ini haram hukumnya, karena terdapat hadits sahih yang melarangnya (HR Bukhari) (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 81). Maka demikian pula, menjatuhkan ta’zir berupa pengebirian diharamkan, karena telah terdapat hadits-hadits sahih yang melarang pengebirian.
Maka, hukuman kebiri secara nash syar’i di dalam Islam diharamkan, juga secara realita pun tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]